Repost by VOXRATEWATI.Com. By Wara Cypriano
Prof. Dr. W.Z. Yohannes
Sambil berbaring di tempat tidur, asyik membaca buku dan mendalami masalah rontgen (sinar tembus).
Prof. Dr. W.Z. Yohannes
Seorang Putera Indonesia kelahiran Termanu, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, telah menjadi ahli rontgen pertama Indonesia. Dalam tahun 1941 berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul “Rontegen diagnostiek der maliga langtumoren”. dan untuk itu berhak memakai gelar doktor. Prestasi itu dicapainya berkat ketekunan bekerja dan dibantu oleh kecerdasan otaknya.Ia adalah Wilhelmus Zakarias Yohannes, lahir tahun 1895, putera dari seorang guru bantu Sekolah Dasar yang sekaligus merangkap menjadi pengurus gereja. Sebagai anak seorang guru bantu Yohannes tidak berhak menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Tetapi kecerdasan otaknya telah menolongnya. Kepala Sekolah Dasar di desa kelahirannya bersama dengan adik iparnya, C. Frans, menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda memohon agar Yohannes diizinkan memasuki Europese Lagere School (ELS).
Permohonan itu dikabulkan.Yohannes menamatkan ELS di Kupang dalam waktu yang lebih singkat dari yang seharusnya. Sesudah itu berangkat ke Jakarta dan memasuki STOVIA (School Tot Opleiding voor Inlandsche Arsten = Sekolah Dokter Bumiputera). Masa pendidikan yang seharusnya sembilan tahun dapat diselesaikannya dalam waktu delapan tahun. Pada tahun 1920 sudah menggondol gelar dokter.Mula-mula bekerja sebagai dosen pada NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School = Sekolah Dokter Hindia Belanda) di Surabaya. Tidak lama kemudian, dalam tahun 1921, diangkat sebagai dokter di rumah sakit Bengkulu. Sesudah itu berturut-turut sampai tahun 1930 bertugas di rumah-rumah sakit di Muara Aman, Mana, Kayu Agung dan Palembang.Dalam tahun 1930, ketika bertugas di Palembang, Yohannes mengalami musibah, diserang penyakit lumpuh. Ia segera dibawa ke Jakarta dan diberikan perawatan khusus di CBZ (sekarang Rumah Sakit Umum Pusat dr. Cipto Mangunkusumo). Satu tahun lamanya Ia dirawat dan setelah sembuh, kaki kanannya pincang untuk selama-lamanya.Masa perawatan di CBZ tidak disia-siakannya. Semangat belajarnya tidak pernah padam.
Sambil berbaring di tempat tidur, asyik membaca buku dan mendalami masalah rontgen (sinar tembus).
Pada waktu itu pengobatan dengan rontgen belum maju seperti sekarang. Yohannes yakin, bahwa penyakit lumpuh seperti yang dideritanya dapat disembuhkan dengan pengobatan rontgen. Hal itu menyebabkan keahliannya bertambah, sehingga kemudian berhasil meraih gelar doktor.Setelah kesehatannya pulih, walaupun dengan kaki kanan tetap pincang, ia diangkat sebagai Asisten Ahli dalam bidang rontgen dan radiologi di CBZ Jakarta. Bulan Juni 1935 ia dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Pusat di Semarang (sekarang Rumah Sakit Dr. Karyadi). Di tempat yang baru ini ia mengembangkan ilmu rontgen. Untuk memperingati jasanya di bidang pengembangan ilmu rontgen itu, namanya diabadikan pada ruangan Rontgen Rumah Sakit dr. Karyadi. Setahun kemudian ia dipindahkan kembali ke Jakarta dan diangkat sebagai Kepala Bagian Rontgen CBZ.Kegiatan Yohannes tidak hanya terbatas pada bidang kedokteran. Ia juga mengikuti perkembangan yang terjadi di tanah airnya. Seperti kebanyakan lulusan STOVIA. Ia pun terjun kedalam kegiatan pergerakan nasional. Sebagai seorang penganut agama Kristen Protestan, maka melalui organisasi agama inilah berjuang.Dalam tahun 1929 golongan Kristen. Protestan mendirikan organisasi yang disebut ”Perserikatan Kaum Kristen” (PKK), walaupun organisasi ini mengutamakan dasar kekristenan, tetapi Ia juga bekerjasama dengan organisasi-organisasi lain.
Keanggotaan Yohannes dalam PKK menyebabkan kegiatannya bertambah. Serentak dengan itu namanya semakin dikenal oleh masyarakat. Cacat tubuh tidak menjadi halangan baginya untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat dan kemanusiaan. Dalam tahun 1939 masyarakat Karesidenan Timor (Timor, Flores, Sumba dan Sumbawa) mencalonkan Yohannes sebagai wakil mereka dalam Volksraad (Dewan Rakyat), namun pencalonannya itu ditolak oleh pemerintah. Tiga tahun kemudian Ia terpilih sebagai anggota Badan Pengurus ”Organisasi Penolong Ambon-Timur” bersama dr. Kayadu dan Mr. Latuharhary.Sementara itu karirnya dalam bidang kedokteran terus meningkat. Dalam tahun 1939 Ia diangkat menjadi pimpinan bagian radiologi di CBZ, Jakarta, karena dialah satu-satunya dokter Indonesia yang memiliki keahlian di bidang ini.Di zaman Jepang meneruskan kegiatannya dalam organisasi di samping tugasnya sebagai dokter. Bersama dengan dr. Sitanala, Dr. Sam Ratulangi, Mr. Amir Syarifuddin, Mr. Rufinus Tobing, Ds. B. Probowinoto, Asa, dan lain-lain Ia turut mendirikan ”Badan Persiapan Persatuan Kristen” (BPPK). Badan inilah yang kelak menjelma menjadi ”Partai Kristen Indonesia” (Parkindo). Parkindo lahir pada tanggal 6 November 1945 setelah diadakan rapat umat Kristen di Balai Pertemuan /Kristen di Jakarta. Rapat itu membicarakan kemungkinan didirikannya sebuah partai, dan dua belas hari kemudian berdirilah ”Partai Kristen Nasional” (PKN). Yohannes diangkat menjadi ketuanya. Dalam kongresnya yang pertama pada tanggal 6-7 Desember 1945 di Surabaya, nama partai itu diubah menjadi Partai Kristen Indonesia. Ketuanya yang baru ialah Ds. B. Probowinoto sedangkan Yohannes menduduki jabatan wakil ketua.Pengaruh Yohannes dalam Parkindo cukup besar.
Ia seringkali bertindak mengadakan pergantian pengurus cabang. Selain Parkindo, dibentuk pula sebuah organisasi perjuangan, yakni ”Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil” (GRISK). Tujuan GRISK ialah menggalang persatuan penduduk Sunda Kecil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Rumah Dr. Yohannes di Jalan Kramat Raya 51 Jakarta menjadi kantor pusat GRISK dan sekaligus menjadi markas persembunyian para pemuda pejuang daerah Kramat Pulo. Tindakan itu mengandung resiko. Rumah itu dan Dr. Yohannes pribadi tidak luput dari incaran musuh. Beberapa kali terpaksa berhadapan dengan serdadu Belanda dan Gurkha.Hari Natal 1945 sepasukan serdadu Gurkha datang ke rumahnya dalam keadaan siap tempur. Mereka mencari pemuda-pemuda yang sering mengganggu patroli Gurkha. Yohannes diperintah keluar dari rumah, tetapi perintah itu tidak diindahkannya. Komandan pasukan Gurkha mengambil tindakan kekerasan. Dr. Yohannes digiring ke pos Gurkha. Selama empat jam dihukum jongkok. Hukuman itu cukup berat bagi seorang yang kakinya pincang. Tetapi Yohannes tidak mengeluh dan setelah hukuman itu berakhir, langsung berangkat ke rumah sakit melaksanakan tugasnya.
Pada waktu yang lain harus pula berhadapan dengan pasukan Belanda. Waktu itu seluruh daerah Kramat sudah dikuasai NICA (Belanda), kecuali rumah Yohannes. Rumah itu tetap mengibarkan bendera Merah Putih. Beberapa kali serdadu Belanda datang dan memerintahkan agar bendera itu diturunkan, tetapi Dr. Yohannes berhasil mempertahankannya. Suatu kali sepasukan KNIL datang dan seorang anggotanya langsung merobek bendera Merah Putih sehingga koyak dua. Bagian merahnya diambil oleh serdadu yang merobeknya dijadikan ikat kepala, sedangkan bagian putihnya dibuang di tanah. Sesudah pasukan itu pergi, Yohannes berkata seorang diri, ”Karena bukan saya yang menurunkan, nanti saya naikkan kembali”. Beberapa saat kemudian bendera Merah Putih berkibar kembali di halaman rumahnya.Sebagai seorang republikan tetap setia kepada perjuangan. Pemerintah mengangkatnya menjadi anggota BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai wakil gabungan Kristen. Rumah Sakit CBZ dijadikan tempat penampungan orang-orang Republik ketika seluruh Jakarta sudah dikuasai Belanda. Usahanya itu berhasil sampai terjadinya Agresi Militer II Belanda 19 Desember 1948. Ketika CBZ diambil alih oleh Belanda dan diserahkan kepada pimpinan dr. J.E. Karamoy, kurang lebih 50 orang pegawai rumah sakit yang tetap setia kepada RI ditampung dirumah Yohannes. Dokter Karamoy adalah teman baik Yohannes. Ia tidak menyetujui tindakan Karamoy yang memihak Belanda. Kepada Karamoy dikatakannya,
”Kami sebagai dokter-dokter bangsa Indonesia menganggap hal ini sebagai tikaman dari belakang terhadap kawan-kawan sendiri. Kami tidak akan melupakannya”.Belanda cukup memahami kamampuan Yohannes sebagai dokter yang pengaruhnya amat besar terhadap karyawan-karyawan di CBZ. Karena itu Belanda berusaha menarik Yohannes ke pihak mereka. Untuk itu Belanda mendatangkan Prof, van der Plaats, bekas guru besar Yohannes. Ia mengatakan, bahwa Pemerintah Belanda akan memberi pangkat yang tinggi dan gaji yang besar jika Yohannes bersedia bekerjasama dengan Belanda. Yohannes menolak, malahan secara terang-terangan mengajak rekan-rekannya agar mereka berjuang untuk kepentingan RI.Bersama-sama rekan-rekannya membentuk ”Yayasan Bhakti Mulia” yang melayani dan merawat rakyat. Yayasan ini sekaligus mengumpulkan dana untuk perjuangan.Sejak tahun 1936 membina karir dibidang pendidikan, khususnya pendidikan kedokteran. Ia ikut memberi kuliah pada Fakultas Kedokteran. Karir itu dipeliharanya sampai Indonesia merdeka. Dalam tahun 1946 diangkat menjadi Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Balai Perguruan Tinggi Indonesia (sekarang Universitas Indonesia). Sesudah itu diangkat menjadi Dekan Fakultas tersebut.Ketika Jakarta sudah sepenuhnya dikuasai oleh Belanda, Balai Perguruan Tinggi diungsikan ke Yogyakarta dan Sala. Tetapi beberapa orang Guru Besar tetap bertahan dan tetap memberikan kuliah di Jakarta. Salah seorang diantaranya ialah Prof. Dr. W.Z.Yohannes. Kuliah tidak dapat diberikan diruangan kuliah, tetapi dirumah dosen. Mahasiswanya juga tidak banyak, sebab sebagian ikut mengungsi dan sebagian lagi berjuang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.Sesudah pengakuan kedaulatan,
Universitas Indonesia diaktifkan kembali. Selangkah demi selangkah diadakan perbaikan. Tenaga pengajar dicari yang berpengalaman. Pada bulan Maret 1952 Prof. Dr. Yohannes diangkat menjadi pejabat Presiden (sekarang Rektor) Universitas Indonesia menggantikan Ir. Surakhman. Beberapa orang dosen dikirim ke luar negeri untuk menambah pengalaman dan pengetahuan mereka.
Yohannes sendiri berangkat pula ke luar negeri dalam bulan April 1952. la mendapat tugas selama lima bulan, untuk mempelajari perkembangan rontgen dan organisasi Rumah Sakit di Negeri Belanda, Swiss, Perancis, Jerman Barat, Inggris dan negara-negara Skandinavia serta Timur Tengah dan Asia Tenggara. Sebetulnya pada saat itu kurang sehat. Selain pincang, juga menderita penyakit jantung.Di Negeri Belanda bertugas di Rumah Sakit Bronovo di Den Haag. Belum lama melaksanakan tugas, mendapat serangan jantung dengan mendadak. Dalam perjalanan dari rumah menuju ke Rumah Sakit, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Musibah itu terjadi pada tanggal 4 September 1952. Jenazahnya di istirahatkan selama satu bulan di Den Haag dan kemudian diangkut dengan kapal Mojokerto dari Rotterdam ke Jakarta. Jenazahnya lalu dikebumikan di pekuburan Jati Petamburan, Jakarta.Hingga wafatnya Prof. Dr. W.Z.Yohannes tidak pernah menikah. Ia pernah menjalin cinta dengan Roos van Tjaarden, seorang wanita Belanda, namun ibunya tidak menyetujui perkawinan anaknya dengan wanita asing. Demi kasih dan bakti kepada ibunya, Dr. Yohannes memutuskan hubungan dengan kekasihnya tersebut. Dalam suratnya terakhir kepada Nona Roos van Tjaarden, beliau menyatakan tidak mungkin menjadi warga Negara Belanda.
Pemerintah RI menghargai jasa-jasa yang telah disumbangkan Prof. Dr. W.Z. Yohannes kepada bangsa dan negaranya. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.06/TK/1968, tanggal 27 Maret 1968 Pemerintah RI menganugerahi Prof. Dr. W.Z. Yohannes gelar Pahlawan Kemerdekaan. Penghargaan lain yang diterimanya dari Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (sekarang P dan K) pada tahun 1969 adalah penetapan Prof. Dr. W.Z. Yohannes sebagai “Karyawan Anumerta dibidang Pendidikan dan Pengetahuan”. Namanya diabadikan pula pada nama Rumah Sakit Umum di Kupang.