Tradisi berburu adat (traditional hunting) dalam budaya lokal di Kabupaten Ngada khususnya di wilayah kecamatan Soa tetap diwariskan hingga saat ini. Kegiatan berburu adat biasanya ditempatkan dalam siklus kalender berbasis budaya pertanian lokal setempat. Tradisi ini erat kaitannya dengan ritual keyakinan masyarakat akan keberadaan makhluk pengganggu tanaman padi, jagung, kacang-kacangan atau tanaman lainnya seperti babi hutan, atau rusa yang dapat merusak bagi semua tanaman yang menjadi usaha masyakat lokal sebagai bahan pangan dalam pemenuhan kebituhan hidup sehari - hari. Maka upacara ini dilaksanakan setiap tahun sebagai upacara tahunan (annual ritual). Tradisi berburu adat di Soa meliputi beberapa kampung yakni Kampung Mengeruda (Witu Menge), Kampung Lo'a (Witu Loa), Kampung Seso (Witu Welu) serta kampung Libunio (Witu Nio). Berburu adat dilaksanakan sesuai dengan kalender lokal berbasis peredaran bulan. Upacara berburu biasanya dilaksanakan dari bulan Juni sampai Oktober dalam tahun.
Pelaksanaan upacara adat berburu pada masing - masing kampung memiliki waktu yang berbeda - beda. Sehingga tidak ada kampung yang melaksanakan kegiatan berburu secara bersamaan . Kegiatan Rori Witu dilaksanakan berdasarkan penetapan kalender adat yakni para tokoh adat (Mori Raghu/Rawu Witu) sesuai dengan peredaran bulan. Perlengkapan berburu yakni tombak (tuba), tombak berkait (Bhou) bentuknya seperti mata kail. Para pemburu biasanya berasal dari semua masyarakat Soa tidak dibatasi baik anak - anak maupun orang dewasa. Mereka biasanya berburu dengan menggunakan kuda (zara) atau dengan berjalan kaki. Para berburu biasanya membentuk kelompok berburu sesuai daerah seasal atau gabungan anggota dari kampung lain yang disebut loka. Setiap loka secara bersama- sama memperebutkan buruan atau pun mempertahankan hasil buruan dari aksi penjarahan yang dilakukan oleh kelompok atau loka yang lain. Dalam usahanya untuk mendapat binatang buruan, para pemburu menyertainya dengan anjing dalam jumlah yang besar. Semua anjing yang dibawa dikerahkan untuk mencari babi hutan (hui) dan juga rusa (kogha). Binatang buruan yang diperoleh biasanya saling berebutan sehingga tidak seorang pun yang mendapatkan satu bagian tubuh secara utuh dari binatang buruan tersebut namun hanya sebagian misalnya ada yang mendapatkan bagian kepala, kaki, atau tangan dan juga bagian yang lainnya.Perebutan ini menunjukan kegigihan dan jiwa kesatria seorang laki-laki. Bagi yang lebih kuat akan mendapatkan bagian binatang buruan sedangkan yang lemah dan putus asa tidak mendapatkan apa - apa.Namun perebutan hanya terjadi pada saat berburu tidak menimbulkan dendam atau permusuhan antara satu dengan yang lain dan semangat persaudaraan tetap terjaga.
Tahapan berburu adat di setiap kampung secara umum memiliki kesamaan. Hal yang berbeda hanyalah terdapat pada tahapan ritual pada malam hari di mana keesokan harinya akan melakukan kegiatan berburu. Salah satu kampung yang melaksanakan upacara berburu adat (Rori Witu/Rori Lako) yakni kampung Libunio. Kampung ini selain melaksanakan ritual berburu adat juga melaksanakan upacara tinju adat (Sagi Adha) atau (traditional boxing). Ada beberapa tahapan yang menjadi rangkaian ritual utama yang harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan berburu adat.
Pelaksanaan berburu adat (Rori Witu Nio) di kampung Libunio dimulai dengan masak nasi kacang (Ka Nika Lebha). Lebha adalah sejenis kacang yang dimasak sebagai nasi yang dicampur dengan beras sebagai makanan pembuka sebelum upacara berburu. Keesokan harinya dilanjutkan dengan ritual Pau. Upacara Pau merupakan suatu upacara di mana masyarakat atau komunitas adat suku Nio dilarang untuk melaksanakan kegiatan pertanian apa pun seperti menebang pohon atau membakar ladang. Apabila ada yang melanggar maka akan dikenakan sanksi adat dari para dari tokoh adat atau mendapat musibah.Beberapa hari kemudian, Semua lelaki dewasa pergi mencari udang atau (Heza/Ko Kuza).Setelah itu, dilanjutkan dengan upacara bato yaitu mengkonsumsi udang. Upacara lanjutannya adalah ritual Sina Oro. Upacara ini yakni para tokoh adat mempersiapkan seruas bambu yang sudah dibersihkan sebgai persiapan untuk dicelupkan di sungai. Sesudah semuanya dipersiapkan, maka dilanjutkan dengan ritual Bhore Tua.Pada malam harinya di mana keesokan harinya akan dilaksanakan kegiatan berburu maka diadakan upacara Pepu. Upacara ini dilakukan sebagai persiapan di mana Mori Raghu/Rawu (Tokoh adat yang melaksanakan ritual berburu adat) mulai meminta nasi bambu (Mama Toke), halia (Pai Lea) yang dibagikan kepada para gadis yang baru menyelesaikan upacara inisiasi menjadi dewasa secara adat dalam upacara (Kiki Ngi'i/Bu,e Muzi) yang ikut serta dalam berburu.Para gadis ini akan menukarkan dengan daging hasil buruan yang ada pada para pemburu. Pada upacara pepu juga para Mori Raghu/Rawu memanjatkan doa dan memohon kepada leluhur dan penunggu hutan agar mengumpulkan rusa, babi hutan (Pai Nitu Kogha, Hui) di tempat untuk berburu agar para pemburu bisa mendapatkan hasil buruan. Dalam upacara pepu juga diadakan sumpah agar para pemburu dan semua orang yang melakukan kegiatan berburu untuk menaati pantangan atau larangan untuk tidak melakukan basuh muka, meminyaki kepala terutama pada hari pertama berburu.Hal ini tidak hanya orang yang ikut berburu melainkan juga semua masyarakat komunitas suku Nio.
Ketika semua tahapan adat yang menjadi rangkaian ritual sebelum berburu telah dilaksanakan, maka tibalah saatnya pada hari berburu.Pada hari itu semua Mori Raghu dan anggotanya berkumpul di tengah kampung (Kisa Nata/Nua) melakukan upacara dimulainya berburu dengan berarakan menuju tempat pemasangan api (Saka Api) sambil diiringi nyanyian adat. Sesampainya di tempat Saka Api, Mori Raghu/Rawu menyalakan api secara tradisional dengan digesek (Pake Zoze) sebilah bambu kering (Bheto Rogho) dan alang - alang kering (Keri). Api yang sudah dinyalakan ini dijadikan sumber api yang digunakan untuk membakar pada atau hutan yang merupakan tempat untuk berburu. Pelaksanaan kegiatan berburu selama tiga hari berturut - turut. Para pemburu tidak pulang ke kampung selama masa berburu berlangsung dan mereka bertahan di kemah (Loka) masing - masing sebagai tempat peristirahatan sementara selama kegiatan berburu. Sepulang dari arena berburu, para pemburu menyanyikan yel- yel adat sebagai pertanda mereka mendapatkan hasil buruan. Daging binatang buruan dimakan secara bersama - sama dengan anggota keluarga dan masyarakat komunitas suku Nio dan darahnya dioleskan pada tombak atau panah yang disebut Beso atau tempat Mori Raghu/Rawu ( Basa Beso Mori Witu). Demikian gambaran umum tradisi berburu adat pada masyarat adat Soa di kabupaten Ngada propinsi Nusa Tenggara Timur.
Oleh Siprianus Wara
Pelaksanaan upacara adat berburu pada masing - masing kampung memiliki waktu yang berbeda - beda. Sehingga tidak ada kampung yang melaksanakan kegiatan berburu secara bersamaan . Kegiatan Rori Witu dilaksanakan berdasarkan penetapan kalender adat yakni para tokoh adat (Mori Raghu/Rawu Witu) sesuai dengan peredaran bulan. Perlengkapan berburu yakni tombak (tuba), tombak berkait (Bhou) bentuknya seperti mata kail. Para pemburu biasanya berasal dari semua masyarakat Soa tidak dibatasi baik anak - anak maupun orang dewasa. Mereka biasanya berburu dengan menggunakan kuda (zara) atau dengan berjalan kaki. Para berburu biasanya membentuk kelompok berburu sesuai daerah seasal atau gabungan anggota dari kampung lain yang disebut loka. Setiap loka secara bersama- sama memperebutkan buruan atau pun mempertahankan hasil buruan dari aksi penjarahan yang dilakukan oleh kelompok atau loka yang lain. Dalam usahanya untuk mendapat binatang buruan, para pemburu menyertainya dengan anjing dalam jumlah yang besar. Semua anjing yang dibawa dikerahkan untuk mencari babi hutan (hui) dan juga rusa (kogha). Binatang buruan yang diperoleh biasanya saling berebutan sehingga tidak seorang pun yang mendapatkan satu bagian tubuh secara utuh dari binatang buruan tersebut namun hanya sebagian misalnya ada yang mendapatkan bagian kepala, kaki, atau tangan dan juga bagian yang lainnya.Perebutan ini menunjukan kegigihan dan jiwa kesatria seorang laki-laki. Bagi yang lebih kuat akan mendapatkan bagian binatang buruan sedangkan yang lemah dan putus asa tidak mendapatkan apa - apa.Namun perebutan hanya terjadi pada saat berburu tidak menimbulkan dendam atau permusuhan antara satu dengan yang lain dan semangat persaudaraan tetap terjaga.
Tahapan berburu adat di setiap kampung secara umum memiliki kesamaan. Hal yang berbeda hanyalah terdapat pada tahapan ritual pada malam hari di mana keesokan harinya akan melakukan kegiatan berburu. Salah satu kampung yang melaksanakan upacara berburu adat (Rori Witu/Rori Lako) yakni kampung Libunio. Kampung ini selain melaksanakan ritual berburu adat juga melaksanakan upacara tinju adat (Sagi Adha) atau (traditional boxing). Ada beberapa tahapan yang menjadi rangkaian ritual utama yang harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan berburu adat.
Pelaksanaan berburu adat (Rori Witu Nio) di kampung Libunio dimulai dengan masak nasi kacang (Ka Nika Lebha). Lebha adalah sejenis kacang yang dimasak sebagai nasi yang dicampur dengan beras sebagai makanan pembuka sebelum upacara berburu. Keesokan harinya dilanjutkan dengan ritual Pau. Upacara Pau merupakan suatu upacara di mana masyarakat atau komunitas adat suku Nio dilarang untuk melaksanakan kegiatan pertanian apa pun seperti menebang pohon atau membakar ladang. Apabila ada yang melanggar maka akan dikenakan sanksi adat dari para dari tokoh adat atau mendapat musibah.Beberapa hari kemudian, Semua lelaki dewasa pergi mencari udang atau (Heza/Ko Kuza).Setelah itu, dilanjutkan dengan upacara bato yaitu mengkonsumsi udang. Upacara lanjutannya adalah ritual Sina Oro. Upacara ini yakni para tokoh adat mempersiapkan seruas bambu yang sudah dibersihkan sebgai persiapan untuk dicelupkan di sungai. Sesudah semuanya dipersiapkan, maka dilanjutkan dengan ritual Bhore Tua.Pada malam harinya di mana keesokan harinya akan dilaksanakan kegiatan berburu maka diadakan upacara Pepu. Upacara ini dilakukan sebagai persiapan di mana Mori Raghu/Rawu (Tokoh adat yang melaksanakan ritual berburu adat) mulai meminta nasi bambu (Mama Toke), halia (Pai Lea) yang dibagikan kepada para gadis yang baru menyelesaikan upacara inisiasi menjadi dewasa secara adat dalam upacara (Kiki Ngi'i/Bu,e Muzi) yang ikut serta dalam berburu.Para gadis ini akan menukarkan dengan daging hasil buruan yang ada pada para pemburu. Pada upacara pepu juga para Mori Raghu/Rawu memanjatkan doa dan memohon kepada leluhur dan penunggu hutan agar mengumpulkan rusa, babi hutan (Pai Nitu Kogha, Hui) di tempat untuk berburu agar para pemburu bisa mendapatkan hasil buruan. Dalam upacara pepu juga diadakan sumpah agar para pemburu dan semua orang yang melakukan kegiatan berburu untuk menaati pantangan atau larangan untuk tidak melakukan basuh muka, meminyaki kepala terutama pada hari pertama berburu.Hal ini tidak hanya orang yang ikut berburu melainkan juga semua masyarakat komunitas suku Nio.
Ketika semua tahapan adat yang menjadi rangkaian ritual sebelum berburu telah dilaksanakan, maka tibalah saatnya pada hari berburu.Pada hari itu semua Mori Raghu dan anggotanya berkumpul di tengah kampung (Kisa Nata/Nua) melakukan upacara dimulainya berburu dengan berarakan menuju tempat pemasangan api (Saka Api) sambil diiringi nyanyian adat. Sesampainya di tempat Saka Api, Mori Raghu/Rawu menyalakan api secara tradisional dengan digesek (Pake Zoze) sebilah bambu kering (Bheto Rogho) dan alang - alang kering (Keri). Api yang sudah dinyalakan ini dijadikan sumber api yang digunakan untuk membakar pada atau hutan yang merupakan tempat untuk berburu. Pelaksanaan kegiatan berburu selama tiga hari berturut - turut. Para pemburu tidak pulang ke kampung selama masa berburu berlangsung dan mereka bertahan di kemah (Loka) masing - masing sebagai tempat peristirahatan sementara selama kegiatan berburu. Sepulang dari arena berburu, para pemburu menyanyikan yel- yel adat sebagai pertanda mereka mendapatkan hasil buruan. Daging binatang buruan dimakan secara bersama - sama dengan anggota keluarga dan masyarakat komunitas suku Nio dan darahnya dioleskan pada tombak atau panah yang disebut Beso atau tempat Mori Raghu/Rawu ( Basa Beso Mori Witu). Demikian gambaran umum tradisi berburu adat pada masyarat adat Soa di kabupaten Ngada propinsi Nusa Tenggara Timur.
Oleh Siprianus Wara
(Diadaptasi dari hasil wawancara dengan seorang tokoh adat (Mori Raghu/Rawu Witu) dari Suku Nio Kampung Libunio yakni Bapak Adrianus Rato pada tanggal 15 pebruari 2017).
Catatan: Artilel ini belum sempurnah.Mohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam urutan dan bahasa adat yang tertulis.Semua atensi dan masukan dari para pembaca terutama putra/i dari Soa atau Libunio saya menerima dengan lapang hati demi penyempurnaan artikel ini selanjutnya.Semoga tulisan ini bermanfaat. Salam literasi budaya.
No comments:
Post a Comment