PORNOGRAFI
oleh: P. William P. Saunders *
Katekismus Gereja Katolik memberikan tiga alasan mengapa pornografi adalah salah dan dosa. PERTAMA, pornografi melanggar keutamaan kemurnian. Setiap umat Kristiani dipanggil untuk hidup murni, sebab itu ia wajib menghormati kekudusan seksualitas kemanusiaannya sendiri, yang meliputi integrasi jasmani dan rohani dari keberadaannya. Ia juga wajib menghormati kekudusan perkawinan. Dalam menanggapi pertanyaan kaum Farisi mengenai perceraian, Tuhan kita mengajarkan, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19:4-6). Sebab itu, cinta kasih suami isteri yang mencerminkan ikatan sakramental antara mereka, dan pengucapan janji perkawinan juga sakral. Ungkapan cinta kasih suami isteri haruslah mencerminkan cinta kasih yang setia, permanen, eksklusif, saling memberi diri dan saling menghidupi antara suami dan isteri.
Namun demikian, hormat terhadap perkawinan dan cinta kasih suami isteri tidak hanya terbatas pada ungkapan secara jasmani. Rasa hormat itu juga meliputi dimensi rohani. Yesus mengajarkan, “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28). Sebab itu patutlah, “kemurnian menjamin sekaligus keutuhan pribadi dan kesempurnaan penyerahan diri” (Katekismus Gereja Katolik, No 2337). Sebaliknya, pornografi merupakan tindak perzinahan batin yang menghantar pada ketidakutuhan rohani orang dan dapat menghantar pada perzinahan fisik atau tindak seksual yang tidak sah lainnya.
KEDUA, pornografi sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang dan penonton). Masing-masing dari mereka mengeksploitasi diri atau mengeksploitasi yang lain dengan suatu cara demi kenikmatan atau keuntungan pribadi. Secara keseluruhan, martabat manusia - baik ia yang berpose, ia yang memproduksi, ia yang memperdagangkan, ataupun ia yang menikmatinya - direndahkan.
KETIGA, mereka yang terlibat dalam pornografi membenamkan diri dalam suatu dunia semu, dunia khayalan, lepas dari dunia nyata. Cinta kasih sejati senantiasa menyangkut memberikan diri demi kebaikan yang lain, sedangkan pornografi menarik orang untuk masuk ke dalam suatu dunia semu yang menyesatkan dan egois, yang kemudian dapat dilakukan dalam dunia nyata hingga mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Masalah pornografi telah meningkat drastis sejak internet menyajikan hubungan seksual “virtual reality”.
Dosa pornografi tidak sekedar menyangkut “suatu tindakan pada suatu saat”, melainkan dapat menjadi semacam kanker rohani yang merusak manusia.
Dr Victor Cline (1996) mengemukakan empat dampak progresif dari pornografi:
(1) kecanduan, di mana hasrat untuk menikmati tayangan-tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri;
(2) meningkatnya nafsu liar, di mana orang menjadi kurang puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk ke dalam pornografi yang semakin dan semakin brutal, biasanya guna memperoleh tingkat sensasi dan gairah yang sama;
(3) hilangnya kepekaan moral, di mana ia tidak lagi memiliki kepekaan moral terhadap tayangan-tayangan yang tidak wajar, yang tidak sah, yang menjijikkan, yang menyesatkan, yang amoral, melainkan menikmatinya sebagai tayangan yang dapat diterima dan mulai memandang orang lain sebagai obyek;
(4) pelampiasan, di mana khayalan diwujudkan dalam tindakan nyata yang jahat.
Jelas dan nyata, pornografi menimbulkan dampak buruk yang merusak segenap masyarakat, teristimewa perempuan dan anak-anak. Pornografi mengajarkan bahwa perempuan menikmati “dipaksa” dan menikmati aktivitas seksual yang brutal; pornografi mendukung pelacuran, mendukung orang mempertontonkan aurat, mendukung voyeurism ( perilaku di mana orang mendapatkan kenikmatan dengan melihat secara tersembunyi orang lain menanggalkan busana atau melakukan hubungan seksual), dan menganggap semua itu sebagai perilaku yang wajar; pornografi menganggap perempuan sebagai obyek seks belaka yang dipakai guna mendatangkan kenikmatan diri. Pada sebagian pria, secara rutin menikmati tayangan pornografi membuat mereka menganggap normal serangan terhadap perempuan dalam hal seksual maupun dalam interaksi lainnya; pornografi meningkatkan toleransi atas serangan yang demikian terhadap perempuan dalam budaya yang lebih luas (Surrette, 1992). Yang sangat menyedihkan, dampak terburuk pornografi mungkin terjadi atas diri anak-anak, khususnya anak-anak lelaki berusia antara 12 hingga 17 tahun, oleh sebab pornografi menggambarkan aktivitas seksual di luar pernikahan sebagai hal yang wajar dan dapat diterima, tanpa menghiraukan ancaman AIDS atau penyakit-penyakit kelamin lainnya yang mengerikan, dan tanpa menghiraukan beban tanggung jawab terhadap kemungkinan hadirnya kehidupan manusia baru.
Sementara sebagian orang berusaha membenarkan penggunaan pornografi demi meningkatkan keintiman dalam hidup perkawinan mereka, sebagian besar dari orang-orang ini lebih mengkhayalkan aktor-aktor dan adegan-adegan dalam tayangan-tayangan pornografi tersebut daripada pasangan mereka. Keadaan yang demikian memerosotkan kesakralan cinta kasih suami isteri menjadi suatu tindak perzinahan - yang satu mempergunakan tubuh yang lain sebagai sumber kenikmatan seksual sementara “bersetubuh” dengan suatu figur khayalan. Dr Cline melaporkan, “Pasangan mereka hampir selalu mengeluh merasa dikhianati, dilecehkan, ditipu, diacuhkan, dianiaya dan tak mampu bersaing dengan khayalan.” Tak heran Asosiasi Psikiater Amerika mendapati bahwa 20% dari pecandu pornografi bercerai atau berpisah karena kecanduan mereka.
Pernyataan mengenai dampak buruk pornografi didukung pula oleh bukti-bukti kriminal. Terdapat bukti akan adanya hubungan langsung antara kasus-kasus pemerkosaan, pelacuran, penganiayaan anak dan penyiksaan fisik terhadap pasangan, dengan maraknya sajian / tayangan pornografi dan gaya hidup mesum dan bisnis yang berorientasi pada seksualitas dalam suatu komunitas (Uniform Crime Report, 1990). Beberapa contoh: Pada tahun 1991, Departemen Kepolisian Los Angeles mendapati bahwa dalam periode sepuluh tahun, pornografi terlibat dalam duapertiga dari seluruh kasus pelecehan terhadap anak-anak. Satu dari enam orang di penjara-penjara negara adalah pelaku kejahatan seks; kejahatan seks berada di urutan kedua setelah kejahatan obat-obatan terlarang. Pada tahun 1988, Federal Bureau of Investigation melaporkan bahwa 81 persen dari para pelaku kekerasan seksual secara rutin membaca atau menyaksikan tayangan kekerasan pornografi.
Sebagai umat Kristiani, haruslah kita waspada terhadap pornografi, bukan hanya menghindari penggunaannya saja, melainkan juga menolak gambar, bayangan atau pemikiran apapun yang muncul secara tak sengaja, seperti misalnya ketika secara kebetulan menyaksikannya saat menonton film. Haruslah kita bertindak amat bijaksana dalam memilah-milah apa yang hendak kita saksikan ataupun apa yang hendak kita dengarkan. Kita patut menentang segala sumber pornografi yang mencemarkan serta merendahkan masyarakat kita. Di samping itu, dalam doa-doa kita, patutlah kita mohon keutamaan kemurnian, mohon pada Tuhan rahmat agar kita senantiasa murni dan menghormati martabat setiap pribadi, teristimewa dari kalangan lawan jenis. Apabila kita jatuh, dan dengan sengaja kita ikut ambil bagian dalam suatu bentuk pornografi atau menerima suatu gambar, bayangan atau pemikiran pornografi yang tidak dengan sengaja dicari, namun demikian kita terima, kita patut bertobat, mengaku dosa dan menerima absolusi. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa pornografi merupakan “satu pelanggaran berat,” artinya secara obyektif merupakan dosa berat. Jangan pernah kita menganggap remeh dosa ini dan membiarkannya berakar dalam hidup kita.
sumber : “Straight Answers: Dealing with Addictions to Pornography” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; wwwcatholicheraldcom. “diterjemahkan oleh YESAYA: wwwindocellnet/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
#groupAgamaKatholik#. By Wara Cypriano
oleh: P. William P. Saunders *
Katekismus Gereja Katolik memberikan tiga alasan mengapa pornografi adalah salah dan dosa. PERTAMA, pornografi melanggar keutamaan kemurnian. Setiap umat Kristiani dipanggil untuk hidup murni, sebab itu ia wajib menghormati kekudusan seksualitas kemanusiaannya sendiri, yang meliputi integrasi jasmani dan rohani dari keberadaannya. Ia juga wajib menghormati kekudusan perkawinan. Dalam menanggapi pertanyaan kaum Farisi mengenai perceraian, Tuhan kita mengajarkan, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19:4-6). Sebab itu, cinta kasih suami isteri yang mencerminkan ikatan sakramental antara mereka, dan pengucapan janji perkawinan juga sakral. Ungkapan cinta kasih suami isteri haruslah mencerminkan cinta kasih yang setia, permanen, eksklusif, saling memberi diri dan saling menghidupi antara suami dan isteri.
Namun demikian, hormat terhadap perkawinan dan cinta kasih suami isteri tidak hanya terbatas pada ungkapan secara jasmani. Rasa hormat itu juga meliputi dimensi rohani. Yesus mengajarkan, “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28). Sebab itu patutlah, “kemurnian menjamin sekaligus keutuhan pribadi dan kesempurnaan penyerahan diri” (Katekismus Gereja Katolik, No 2337). Sebaliknya, pornografi merupakan tindak perzinahan batin yang menghantar pada ketidakutuhan rohani orang dan dapat menghantar pada perzinahan fisik atau tindak seksual yang tidak sah lainnya.
KEDUA, pornografi sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang dan penonton). Masing-masing dari mereka mengeksploitasi diri atau mengeksploitasi yang lain dengan suatu cara demi kenikmatan atau keuntungan pribadi. Secara keseluruhan, martabat manusia - baik ia yang berpose, ia yang memproduksi, ia yang memperdagangkan, ataupun ia yang menikmatinya - direndahkan.
KETIGA, mereka yang terlibat dalam pornografi membenamkan diri dalam suatu dunia semu, dunia khayalan, lepas dari dunia nyata. Cinta kasih sejati senantiasa menyangkut memberikan diri demi kebaikan yang lain, sedangkan pornografi menarik orang untuk masuk ke dalam suatu dunia semu yang menyesatkan dan egois, yang kemudian dapat dilakukan dalam dunia nyata hingga mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Masalah pornografi telah meningkat drastis sejak internet menyajikan hubungan seksual “virtual reality”.
Dosa pornografi tidak sekedar menyangkut “suatu tindakan pada suatu saat”, melainkan dapat menjadi semacam kanker rohani yang merusak manusia.
Dr Victor Cline (1996) mengemukakan empat dampak progresif dari pornografi:
(1) kecanduan, di mana hasrat untuk menikmati tayangan-tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri;
(2) meningkatnya nafsu liar, di mana orang menjadi kurang puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk ke dalam pornografi yang semakin dan semakin brutal, biasanya guna memperoleh tingkat sensasi dan gairah yang sama;
(3) hilangnya kepekaan moral, di mana ia tidak lagi memiliki kepekaan moral terhadap tayangan-tayangan yang tidak wajar, yang tidak sah, yang menjijikkan, yang menyesatkan, yang amoral, melainkan menikmatinya sebagai tayangan yang dapat diterima dan mulai memandang orang lain sebagai obyek;
(4) pelampiasan, di mana khayalan diwujudkan dalam tindakan nyata yang jahat.
Jelas dan nyata, pornografi menimbulkan dampak buruk yang merusak segenap masyarakat, teristimewa perempuan dan anak-anak. Pornografi mengajarkan bahwa perempuan menikmati “dipaksa” dan menikmati aktivitas seksual yang brutal; pornografi mendukung pelacuran, mendukung orang mempertontonkan aurat, mendukung voyeurism ( perilaku di mana orang mendapatkan kenikmatan dengan melihat secara tersembunyi orang lain menanggalkan busana atau melakukan hubungan seksual), dan menganggap semua itu sebagai perilaku yang wajar; pornografi menganggap perempuan sebagai obyek seks belaka yang dipakai guna mendatangkan kenikmatan diri. Pada sebagian pria, secara rutin menikmati tayangan pornografi membuat mereka menganggap normal serangan terhadap perempuan dalam hal seksual maupun dalam interaksi lainnya; pornografi meningkatkan toleransi atas serangan yang demikian terhadap perempuan dalam budaya yang lebih luas (Surrette, 1992). Yang sangat menyedihkan, dampak terburuk pornografi mungkin terjadi atas diri anak-anak, khususnya anak-anak lelaki berusia antara 12 hingga 17 tahun, oleh sebab pornografi menggambarkan aktivitas seksual di luar pernikahan sebagai hal yang wajar dan dapat diterima, tanpa menghiraukan ancaman AIDS atau penyakit-penyakit kelamin lainnya yang mengerikan, dan tanpa menghiraukan beban tanggung jawab terhadap kemungkinan hadirnya kehidupan manusia baru.
Sementara sebagian orang berusaha membenarkan penggunaan pornografi demi meningkatkan keintiman dalam hidup perkawinan mereka, sebagian besar dari orang-orang ini lebih mengkhayalkan aktor-aktor dan adegan-adegan dalam tayangan-tayangan pornografi tersebut daripada pasangan mereka. Keadaan yang demikian memerosotkan kesakralan cinta kasih suami isteri menjadi suatu tindak perzinahan - yang satu mempergunakan tubuh yang lain sebagai sumber kenikmatan seksual sementara “bersetubuh” dengan suatu figur khayalan. Dr Cline melaporkan, “Pasangan mereka hampir selalu mengeluh merasa dikhianati, dilecehkan, ditipu, diacuhkan, dianiaya dan tak mampu bersaing dengan khayalan.” Tak heran Asosiasi Psikiater Amerika mendapati bahwa 20% dari pecandu pornografi bercerai atau berpisah karena kecanduan mereka.
Pernyataan mengenai dampak buruk pornografi didukung pula oleh bukti-bukti kriminal. Terdapat bukti akan adanya hubungan langsung antara kasus-kasus pemerkosaan, pelacuran, penganiayaan anak dan penyiksaan fisik terhadap pasangan, dengan maraknya sajian / tayangan pornografi dan gaya hidup mesum dan bisnis yang berorientasi pada seksualitas dalam suatu komunitas (Uniform Crime Report, 1990). Beberapa contoh: Pada tahun 1991, Departemen Kepolisian Los Angeles mendapati bahwa dalam periode sepuluh tahun, pornografi terlibat dalam duapertiga dari seluruh kasus pelecehan terhadap anak-anak. Satu dari enam orang di penjara-penjara negara adalah pelaku kejahatan seks; kejahatan seks berada di urutan kedua setelah kejahatan obat-obatan terlarang. Pada tahun 1988, Federal Bureau of Investigation melaporkan bahwa 81 persen dari para pelaku kekerasan seksual secara rutin membaca atau menyaksikan tayangan kekerasan pornografi.
Sebagai umat Kristiani, haruslah kita waspada terhadap pornografi, bukan hanya menghindari penggunaannya saja, melainkan juga menolak gambar, bayangan atau pemikiran apapun yang muncul secara tak sengaja, seperti misalnya ketika secara kebetulan menyaksikannya saat menonton film. Haruslah kita bertindak amat bijaksana dalam memilah-milah apa yang hendak kita saksikan ataupun apa yang hendak kita dengarkan. Kita patut menentang segala sumber pornografi yang mencemarkan serta merendahkan masyarakat kita. Di samping itu, dalam doa-doa kita, patutlah kita mohon keutamaan kemurnian, mohon pada Tuhan rahmat agar kita senantiasa murni dan menghormati martabat setiap pribadi, teristimewa dari kalangan lawan jenis. Apabila kita jatuh, dan dengan sengaja kita ikut ambil bagian dalam suatu bentuk pornografi atau menerima suatu gambar, bayangan atau pemikiran pornografi yang tidak dengan sengaja dicari, namun demikian kita terima, kita patut bertobat, mengaku dosa dan menerima absolusi. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa pornografi merupakan “satu pelanggaran berat,” artinya secara obyektif merupakan dosa berat. Jangan pernah kita menganggap remeh dosa ini dan membiarkannya berakar dalam hidup kita.
sumber : “Straight Answers: Dealing with Addictions to Pornography” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2004 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; wwwcatholicheraldcom. “diterjemahkan oleh YESAYA: wwwindocellnet/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
#groupAgamaKatholik#. By Wara Cypriano