1/17/17

Catatan Mahasiswa Semester Akhir



Gambar Ilustrasi:koleksi pribadi.

****Kesuksesan dimulai dari sini...kata orang sih..namun bagi para mahasiswa baik program strata 1 atau pascasarjana hampir memiliki pengalaman yang sama ketika memasuki semester akhir tapi bukan akhir semester ya..heheee..Apa yang menjadi kegalauan bagi para mahasiswa.....Mungkin anda pernah mengalami seperti  pengalaman berikut;

1.Selalu mengejar target..Seringkali apa yang direncanakan    selalu  meleset alias tidak tercapai..Rencana ditempuh 8      jadinya 10 semester atau 4 jadi 6 dan sebgainya.

2. Pertimbangan keadaan finansial yang pas-passan
    Seringkali keuangan sebagai alasan utama sebagai salah     satu faktor penghambat jalannya perkuliahan misalnya       biaya kuliah dan hidup sehari  - hari kian  mahal.

3. Takutnya dibilang mahasiswa tidak mampu secara               akademis.
    Adanya anggapan bahwa kalau seorang mahasiswa itu
    Selesainya tidak tepat waktu maka muncul beragam             anggapan misalnya otak kurang mampu, kuliah tidak           jelas dan sebagainya.

4. Takut diputus pacar dan dicap mahasiswa bertitel
    (MA) alias mahasiswa abadi.
    Bagaimanapun masa dan urusan pacaran merupakan
    kedua urusan yang diprioritaskan.

5.Kalau yang sudah berkeluarga katanya kangen anak            tetapi melalui istri atau suami hehehh atau bagi yang            jomblonya diperpanjang masa aktif sampai 2018 takut          stoknya habis.Itulah beragam alasan klasik yang muncul.

6.Teman-teman baikku atau genk sudah banyak yang              selesai, saya jadinya seperti orang ketinggalan kereta.
   Adanya kegalauan individu disaat ditinggal pergi para          sahabat.

7. Ini yang paling utama, kalau kelamaan jadi  mahasiawa      lowongan pekerjaan sudah habis terisi..Apakah hal ini          pernah terpikirkan atau saat ini sedang anda alami... N N

***Namun oh namun...

      Dari begitu banyak alasan di atas semestinya sebagai mahasiswa perlu  juga menyadari bahwa apa yang diharapkan seringkali berbeda dengan realita yang dihadapi..Mungkin saja alasan utama yang perlu disadari yaitu dari sisi akademisnya;

1.Judul yang diajukan selalu belum diterima dengan               pelbagai alasan, topik ini sudah banyak yang diteliti, atau   kurang luas kajiannya, atau implikasinya tidak ada dan       lain-lain.

2.Kalau sudah di terima judul belumlah cukup, ternyata          kemampuan merumuskan  masalah dan tujuannya yang      pas-passan jadinya stagnan  di proposal.Bisa saja hal ini      diyerjadi berminggu - minggu disesuaikan dengan                kesibukan pembimbinnya masing  - masing.

3.Ketika semuanya beres dalam seminar dan revisi                  proposal penelitian masih ada tahap selanjutnya yang          menanti, dan ini perlu ketelitian dan ketabahan.

4.Ketika Proposal selesai, maka mulailah dengan kesulitan      membuat instrumen penelitian.

5.Disaat penelitian,  sangat menentukan jauh atau                    dekatnya setting penelitian jauh bahkan di luar daerah         harus bolak-balik yang membutuhkan, biaya tenaga dan     waktu yang maksimal.

6. Sesudah penelitian dilanjutkan dengan pengolahan data,     analisis, reduksi dan display data, belum lagi pendekatan     penelitian kualitatif, kuantitatif atau R&D makin ribet..

7.Ketika semuanya selesai saatnya siap untuk sidang dari        pra, utama dan  pasca ujian lumayan puyeng.

8. Finally...Aku diwisuda....hahahha.. khayal dan kenyataan   beda tipis alias 11: 12

***Ternyata oh ternyata...

Mau mendapatkan gelar Sepeda alias S.Pd dan Motorpeda alias M.Pd..atau Dokar alias Doktor tidaklah mudah dan gampang...Yang gampang dan mudah ketika orang bertanya..Sudah selesai kah? dijawab belum...Kok lama ya, ya, ya..Itulah kami mahasiswa..

***Maaf dari ujung ke pangkal kembali ke pucuk                         semuanya bikin bingung...hu..hu..hu..
      Tulisan ini hanya merupakan ungkapan untuk                       melampiaskan kepenatan di waktu mengerjakan Thesis       tanpa bermaksud menyinggung siapapu.

#Resolusi2017hargamati
#AgustusatauNovembermasihtandatanya????
   Kalau stoknya banyak pasti masih bisa ditawar...hahaha..
   Catatan malam ini depan kompor hock 24 sumbu..sampil    goreng tempe & tahu. (Inspirasi dari rasa lapar)***
   Biarlah menjadi momen yang bisa dikenang di hari tua.

   By Wara Cypriano
         



1/15/17

TANAH PERSEKUTUAN "SIGA REMBU RATEWATI"

TANAH PERSEKUTUAN "SIGA REMBU RATEWATI"
Kuwu (Rumah musyawarah bagi pemangku adat atau Mosa Laki sebagai pusat semua kegiatan ritual adat di Kampung adat Tugasoki Ratewati.

A .Gambaran Umum

       Kehidupan masyarakat suku Lio di kabupaten Ende Flores NTT dari generasi ke generasi terus mengalami perubahan.Hal ini seiring kemajuan zaman yang senantiasa mewarnai hampir semua sisi kehidupan masyarakatnya. Tatanan nilai - nilai luhur adat dan tradisi yang dianutnya memiliki makna tersendiri baik secara tersirat maupun tersurat berupa aspek - aspek kearifan lokal yang harus dilestarikan secara bersama - sama. Ada begitu banyak bentuk ritual adat yang dijalani oleh masyarakat suku Lio baik bagi masyarakat Lio utara dan juga selatan yang dalam kenyataannya ada kesamaan baik secara nomen klatur ataupun tahapan ritual adatnya namun pemaknaan serta penyelenggaraan ritualnya tetap berbeda. Sehingga, semua seremonial adat yang dilestarikan pada suku Lio secara faktual sama-sama mendiami satu wilayah besar namun terdiri dari 2 wilayah yakni Lio utara dan juga Lio selatan. Kekayaan ritual adat warisan leluhur ini, memiliki nilai tradisi yang tampak dalam bentuk budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Warisan budaya ini juga memiliki makna mendalam bagi setiap masyarakat yang mendiami di wilayah tanah persekutuan masing  - masing. Tanah ulayat juga memiliki sistem hierarkis dalam adat baik sebagai pemangku adat atau mosalaki dan juga para penggarap atau Fai Walu Ana Kalo. Ini merupakan perwujudan hak dan kewajiban yang harus dijalani oleh masyarakat adat pada tanah persekutuan yang ditempatinya.
 Salah satu tanah persekutuan yang ada di Ende Lio bagian Utara Kab.Ende yakni tanah persekutuan masyarakat adat di "Tana Siga Watu Rembu Ratewati" yang pusat penyelenggaraan ritual adatnya bertempat di Kampung adat Tugasoki Ratewati Desa Ekoae, Kec.Wewaria Kab.Ende. Tanah persekutuan pada masyarakat adat Tugasoki Ratewati memiliki luas wilayah yang cukup besar, yang meliputi Desa Ekoae, Desa Ratewati di Molutangga, Woimite, Oto Rajo, Elokepo, Detu Ete dan beberapa kampung yang ada di sekitarnya. Wilayah tanah persekutuan masyarakat adat "Siga Rembu Ratewati" dikepalai oleh seorang kepala Suku yang secara hierarkis memiliki kekuasaan dan wewenang yang diwariskan secara turun temurun. Seorang kepala Suku tidak bisa diangkat atau "Wake Kepala Suku" dari orang yang bukan ahli waris "iwa dara luru" namun jabatan ini merupakan sebuah jabatan luhur yang diwariskan secara turun - temurun yang memiliki nilai historis dari generasi ke generasi yang bearsal dari keluarga yang sama atau "Mata pi welu pi". Oleh karenanya, seorang kepala suku adalah seorang yang diangkat secara sah berdasarkan hukum adat yang menjadi pedoman  yang telah diwariskan oleh para leluhur sejak jaman dahulu hingga saat ini.Tanah persekutuan ini terdiri dari 7 klan utama atau disebut "Embu Lima Rua" Yakni Embu Kana, Embu Kaki, Embu Mbonggi, Embu Jobhi, Embu Pokekore, Embu Wolo, Embu Kengge dan Embu Karo. (Nama - nama ini masih diklarifikasi mohon maaf jika ada kekeliruan).Maka ke 7 klan inilah sebagai ahli waris tanah persekutuan "Siga Rembu Ratewati".
             
            Dalam sistem hierarkis, selain kepala suku ada pula tokoh adat atau para pemangku adat atau disebut "Ata Mosa Laki". Mosa laki artinya tokoh adat yang memiliki jabatan, fungsi dan kekuasaan atau wewenang serta menguasai atau mengepalai sebuah wilayah atau tanah ulayat sebagai warisan dari nenek moyangnya yang disahkan secara adat dan diakui oleh masyarakat adat, atas dasar jasa-jasa atau pengorbanan leluhur yang telah disahkan secara hukum adat sehingga dinobatkan sebagai Mosa Laki. Para mosa laki terdiri dari 2 yakni "Mosa Laki Ria" dan "Mosa Laki Lo,o". Jabatan mosa laki yang dijabat saat ini merupakan jabatan yang diwariskan oleh para leluhurnya tanpa adanya pertimbangan kepandaian, pendidikan atau persyaratan lainnya seperti jabatan publik kepemerintahan namun Jabatan Mosa Laki adalah mutlak artinya bukan didasarkan atas kepandaian atau kekayaan atau hasil pemilihan suara terbanyak akan tetapi tugas dan amanat yang harus diterima sebagai warisan leluhur. Apabila hal ini tidak dijalankan secara baik, maka musibah atau bahkan nyawa menjadi taruhan karena dibenci oleh arwah leluhur karena tindakan yang melawan hukum adat yang telah diwariskan oleh para leluhur sejak dulu.
     
       Para Mosa Laki juga memiliki aturan adat yang sama, sebagaimana yang menjadi pedoman dan berlaku di tanah persekutuan masyarakat adat "Siga Rembu Ratewati". Para Mosa Laki yang memiliki kekuasaan atas tanah ulayat yang ukuran kecil disebut "Boge Lo,o Geto Gene". Mosa laki yang menguasai tanah ulayat ini memiliki wewenang untuk melaksanakan upacara "Sewu Api" bersama para penggarap tanah di wilayah kekuasaanya yaitu masyarakat adat yang mengolah, dan memiliki tanah sebgai milik pribadi atau keluarga yang disebut "Fai Walu Ana Kalo". Para Fai walu ana kalo atau penggarap, wajib memberikan upeti sebagai bahan persembahan atau sesajen bagi arwah leluhur dan roh halus atau nitu dalam bentuk "Manu eko, moke boti, are wati". artinya membawa 1 ekor ayam, arak 1 botol dan juga beras. Upacara ini di tandai dengan penyembelihan hewan kurban berupa seekor babi atau disebut "Wawi Wela". Seekor babi yang disembelih oleh Mosa Laki atau tuan tanah dalam hukum adat setempat memiliki makna bahwa semua yang kita peroleh baik tanah garapan dan juga tanaman yang ada di atas tanah mendapat berkat dari arwah leluhur serta menjaukannya dari semua hama dan gangguan mahkluk lain yang tidak terlihat. Semua upeti ini sebagai bentuk syukur atas lahan yang digarap dan memohon berkat agar hasil panenan melimpah "Tembu bhondo wesa wela". Oleh karena itu, eksistensi Mosa Laki dan Fai walu ana kalo dalam masyarakat adat di wilayah tanah persekutuan " Siga Rembu" memiliki hubungan timbal balik yang harus dijaga sebagai warisan leluhur. Hal ini ibarat sebuah kerajaan harus memiliki wilayah kekuasaan dan juga warga masyarakat yang mendiami, mengolah serta memelihara apa yang menjadi warisan leluhur atau "Eo Embu Welu Mamo Moi" artinya para leluhur mewariskan semuanya untuk kesejahteraan masyarakat adat sampai masa anak cucu kita.


Foto insert oleh Anton Kirie
Tampak deretan para Mosa Laki mengenakan busaqna kebesaran, Ragi Mitr, lesu tege, peru mbae


B. Sistem Hierarkis Tokoh Adat Atau Mosa Laki di "Tana Siga Watu Rembu".
      
         Dalam wilayah tanah persekutuan masyarakat adat "Tana Siga Watu Rembu" secara hierarkis tokoh adat atau "Mosa Laki" terdiri dari;

  1. Mosa Laki Pu,u atau Mosa Laki Ria

      Mosa Laki Pu,u (Ine Ema) artinya sebagai orang tua dalam hierarkis adat baik bagi para Mosa Laki maupun para masyarakat adat. Mereka memiliki wewenang untuk mengkoordinir semua jalannya pelaksanaan upacara adat yang diselenggarakan baik secara tahunan atau ritual adat khusus yang berpusat di kampung adat atau "Nua Pu,u Ratewati Tugasoki". Upacara itu yakni "upacara Nggua Mbera" atau dikenal Lai Kapi peri Mbera atau upacara syukur panen yang dilaksanakan sesudah masa panen padi ladang. Ada juga upacara "Po,o" atau makan nasi bambu. Upacara ini merupakan ritual makan nasi bambu yang di bakar sebagai upacara memasuki masa untuk pembukaan lahan baru dan musim menanam telah tiba. Upacara ini disebut juga "Sewu Petu Pera Bera". artinya yang masih terbakar dipadamkan, panas terik diturunkan hujan, agar "Tembu bhondo Wesa Wela" artinya semua tanaman yang ditanam dan bibit yang ditaburkan dapat bertumbuh dengan baik dan memberikan hasil panenan melimpah. Mosa Laki pu,u atau Laki Ria ini, memiliki kekuasaan dan tanggung jawab yang besar akan keberlangsungan kesejahteraan para penggarap atau "Ana Kalo Fai Walu We Muri Bheni Tebo no,o Ma,e. Artinya mosa laki sebagai penghubung kepada nenek moyang atau arwah leluhur akan segala suka duka para penggarap atau masyarakat adat memohon berkat agar mereka menganugerahkan kesejahteraan hidup bagi semua masyarakat adat baik secara lahir maupun batin. Para Mosa Laki Pu,u memiliki 3 tokoh Mosa Laki yang dianalogikan dengan seekor babi dimana bagian ekor, kepala dan badan. Ke 3 mosa laki ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut;

 a. Mosa Laki Eko atau bagian ekor (Eko Tau Wenggo/sebagai penunjuk jalan  atau arah)

Mosa Laki Eko yaitu Mosa Laki yang memiliki fungsi untuk melaksanakan upacara Nggua Mbera dan Po,o yang dijalankan secara bersama-sama dengan Laki Weri. Mosa Laki Eko memiliki fungsi sebagai penunjuk, pengatur dalam memberikan arah bagi semua pelaksanaan ritual adat. Mosa laki eko melaksanakan "Pere Nggua" yakni upacara menentukan jadwal hari pelaksanaan upacara "Nggua Mbera". Dalam upacara ini, Mosa Laki Eko didampingi oleh istri atau yang menjadi ahli waris.

  b.Mosa Laki Weri atau bagian kepala untuk makan (weri atau kuba tau  ka/ngaju/Melakukan ritual dan memanjatkan doa dalam bahasa adat baik dengan simbol maupun perkataan)

Mosa Laki Weri memiliki peran sebagai tokoh pemberi sesajen atau "Tau Pati Ka Embu Mamo" saat upacara berlangsung. Laki Weri juga sebagai penyembeli hewan kurban. kalau hewan kurban berupa babi atau kambing disebut "Wela" sedangkan hewan besar seperti kerbau atau sapi disebut "Taga". Laki Weri juga berhak menyembelih hewan kurban saat "Sewu api" di tanah Ria atau tanah suku. Tugas dan tanggungjawab yang diemban oleh Laki Weri tidak bisa dilimpahkan kepada mosa Laki Ria atau Laki Boge Lo,o Geto Gene.Laki Weri selalu dilengkapi dengan pedang atau parang adat untuk menyembelih hewan kurban (Topo Wela atau Taga).

  c. Laki Ria Bewa Yaitu Mosa Laki ("Tau Timba Tato"/ Sebagai Hakim adat).

Mosa Laki Ria Bewa yaitu Mosa Laki yang memiliki fungsi dan wewenang sebagai penengah atau hakim apabila terjadi perselisihan atau sengketa di antara Laki Eko dan Laki Weri atau Laki Pu,u dan Laki Lo,o atau juga Laki Lo,o dengan Laki Lo,o. Laki Ria Bewa bersama Laki Eko dan Laki Weri bersama  - sama memiliki fungsi dan tugas dalam menyelesaikan persoalan di antara para penggarap terkait sengketa lahan atau masalah lainnya jika meminta penyelesaian secara adat. Pada awalnya "Laki Ria Bewa" tidak ada dalam sistem hierarkis Mosa Laki. Namun dalam perkembangannya, ada suatu ketimpangan akan pelaksanaan persoalan terutama peraoalan di tubuh mosa laki pu,u. Maka diangkatlah seorang mosa laki "Ria bewa". Mosa laki Ria bewa diangkat yang didasarkan atas pengorbanan keluarga dan telah diakui bahwa keturunan dari keluarga tersebut untuk menjadi mosa laki Ria bewa. Sehingga, jabatan mosa laki Ria bewa diwariskan hingga saat ini. Dengan demikian dalam tubuh mosa laki pu,u terdiri dari laki eko, laki weri dan laki ria bewa.


2. Laki Lo,o atau Mosa Laki Boge Lo,o Geto Gene

Mosa Laki lo,o dalam sistem hierarkis tokoh adat tanah persekutuan "Siga Rembu" memiliki hak, tugas dan kewajiban yang berbeda beda terhadap pelaksanaan ritual adat. Mosa laki ini, memiliki tanah ulayat yang terbatas atau luas tanahnya kecil. Mosa laki lo,o juga memiliki eksistensi yang sama denga mosa laki pu,u dalam hal ini sebagai warisan leluhur dan dilanjutkan oleh keturunan yang berhak untuk menjabat mosa laki.Ada beberapa tanah ulayat yang menjadi kekuasaan laki lo,o yakni;

  a. Laki tana Detu Wula Lawi Luja

     Mosa laki tanah Detu wula lawi luja memiliki tugas dan fungsi untuk menentukan renovasi rumah adat yakni tempat atau balai pelaksanaan sidang para mosa laki dan pusat kegiatan ritual disebut Kuwu. Kuwu adalah rumah adat yang dijadikan tempat atau balai pertemuan para mosa laki. Kuwu ini secara adat dimana di dalamnya terdapat beduk besar atau "Lamba Ine" dan yang kecil atau "Lamba ana". Masing - masing atribut ini ditandai dengan penyembelihan kerbau yang besar dan kecil serta sepasang gong. atau disebut "Nggo ine no,o ana (gong besar dan kecil)". Maka mosa laki ini memiliki sebutan "Tau je wunu lele ngaki biri ture" artinya ketika rumah adat dalam keadaan kotor atau bocor maka direnovasi dan dibersihkan atau "Tau pake pela pi ata dua" Eo beta tau gebi eo bira tau leki". Tanah kekuasaannya terletak di bagian selatan nua tugasoki atau kampung tugasoki.

   b. Laki Tana Kesu Kaki

Mosa laki tana Kesu kaki memiliki peran dan fungsi sama seperti laki lo,o yang lain yakni mendukung pelaksanaan kegitan ritual adat, bersama-sama dengan laki tana detu wula lawi luja. Tanah ulayatnya meliputi oto rajo, elokepo, detuete.Mosa laki ini juga berhak untuk melakukan "Sewu Api" di tanah ulayatnya.

 c. Laki Tana Lana Bata

Laki tana Lana Bata sama seperti laki lo,o yang lain dan memiliki kewenangan terbatas. tanah ulayatnya meliputi kampung Tugasoki dan Ekoae. Tanah sebelah barat berbatasan dengan kali mati dan sebelah kali mati merupakan wilayah tanah Dio Rango di Jitapanda. Laki Lana tana Bata berhak untuk mengadakan "Sewu api" di tanah ulayatnya atau di saat pembuatan rumah baru atau peletakan batu pertama, sebagai mosa laki "Wela Wawi".Artinya hewan kurban berhak disembelihnya.

 d. Laki tana Loka Reta

Laki tana Loka Reta memiliki tugas dan fungsi dalam sistem hierarkis yakni sebagai hubungan kemasyarakatan (Humas) atau disebut " Si,i To,o Kuni Mbana" artinya apa yang ditugaskan dijalankan, apa yang diperintah dilaksanakan". Laki tana Loka menjadi kaki tangan Laki Ria. Laki tanah Loka tidak bisa diminta oleh Laki boge lo,o geto gene yang lain misalnya memberitahukan upacara sewu api di tanah persekutuan. Laki Tana Loka Reta posisinya di antara para Laki Lo,o adalah sama. Laki tana Loka Reta memiliki tugas, untuk menyampaikan atau mengabarkan akan diadakan upacara adat seperti Nggua Mbera dan Po,o atau pertemuan para Mosa Laki baik kepada Ana Kalo Fai Walu atau antara  para Mosa laki serta para mosa laki tetangga pada tanah persekutuan lain atau disebut "Aji Ji,e Ka,e Pawe". Para mosa laki Aji Ji,e Ka,e Pawe biasanya diundang untuk menghadiri upacara adat terutama acara Nggua Mbera dan Sewu Api (Po,o). Biasanya yang diundang mosa laki aAji Ji,e Ka,e Pawe yakni Mosa laki Kelitembu, Anarepi, Aegana, dan juga dari Aenggaja Sebagai "Bu Tenga Paso Dalo". Laki tana Loka memiliki tanah ulayatnya sendiri yaitu dikenal tanah Loka Reta atau Tana Lowo Mude.

 e. Laki Tana Wolo Sambi

Mosa laki ini memiliki wewenang dan fungsi yaang sama dengan mosa laki lo,o yang lain dan tanah ulayatnya meliputi bukit wolo sambi.Laki tanah ini juga berhak melakukan "Sewu Api".


3. Ata Dua Nua (Para Tetua Kampung)

Ata dua nua dalam tradisi adat di tanah peraekutuan Siga Rembu Ratewati memiliki kewenangan yang diakui oleh masyarakat adat dan juga para mosa laki. Para tetua kampung ini memiliki kewewenang yang terbatas. Para tetua kampung tidak memiliki tanah ulayat atau wilayah kekuasaan. Dalam sistem hierarkis mosa laki maka tetua kampung tidak termasuk dalam tubuh mosa laki. para tetua kampung dalam istilah adat disebut "Tau penu seru, Eo bapa tau tamba, eo kura tau benu". para tetua adat wajib diundang dan hadir disaat upacara adat, karena merupakan tokoh penting. Apabila para mosa laki memberikan mandat menjalankan suatu misi maka tetua adat harus bersedia dengan jujur dan adil menjalani semuanya atau "Ma,e kebe lewe". Ada macam macam fungsi dan tugas tetua adat yakni ada yang menyusun "Tau sodha susu nama bapu". Menjadi "sodha" disaat "Gawi Nggua Mbera" atau pengiring tarian adat di saat "Iya Mbera" yaitu nyanyian adat dilakukan untuk menyampaikan semua warisan leluhur di tanah persekutuan. Iya Mbera berupa nyanyian dan syair gaib yang menujukan kesakralan dalam upacara. Iya mbera dilakukan oleh tetua kampung sesuai denga warisan yang dimiliki. Upacara yang diikuti oleh tetua kampung misalbya pada malam ka are mbera pada upacara "Nggua Mbera". Atau sewu api atau upacara adat lainnya.

C. Busana Adat

   1.Busana Adat Mosa Laki

Para mosa laki baik laki Ria maupun Laki Lo,o wajib       mengenakan Ragi Mite yaitu kain bewarna dasar hitam, Peru atau selempang dan juga Lesu yaitu pengikat kepala sebagai simbol kewibawaan seorang mosa laki. Maka dalam istilah adat dikenal Ragi Pi, Lesu Tege, Peru Mba,e.Di kepala diikat Lesu didada dibalut slempang dan mengenakan sarung Ragi. Perlengkapan utama ini selalu dikenakan oleh mosa laki dalam setiap upacara adat.Maka pakaian adat mosa laki ini sebagai simbol pakaian kebesaran we,e kita nga no,o waka, kita kile we nggenggu.Ketika para mosa laki mengenakan pakaian kebesarannya akan nampak kesakralan, kewibawaan dan representasi para leluhur yang hadir dalam setiap momen ritual adat.

2. Busana Adat Masyarakat Umum atau masyarakat adat Fai Walu Ana Kalo

Para penggarap pada umumnya untuk laki-laki mengenakan Ragi mite pada saat menghadiri upacara adat seperti Gawi Nggua Mbera dan juga upacara adat lainnya.Mereka tidak mengenakan Lesu dan Peru. Bagi para perempuan mereka mengenakan Lawo yaitu sarung beraneka ragam motif dan warna serta Lambu yaitu tenunan sederhana yang dipakai pada saat Gawi Nggua Mbera. Maka ketika upacara adat berlangsung pakaian adat inilah yang membedakan Para Mosa laki dan penggarap atau masyarakat adat biasa.


D. Upacara Adat

Wilayah tanah persekutuan tana Siga Rembu Ratewati memiliki beberapa upacara adat yang diselenggarakan setiap tahun. Semua rangkaian acara ini memiliki hakikat dan makna tersendiri bagi Para Mosa Laki dan juga  "Ana kalo fai walu"  atau para penggarap dan masyarakat yang mendiami tanah persekutuan tersebut.
   
  1. Nggua Mbera

Nggua Mbera adalah upacara syukur Panen dimana semua "Embu lima rua" atau 7 klan masyarakat adat yang mendiami wilayah tanah persekutuan  Siga Rembu yakni rumah adat di kampung adat Tugasoki.Ke 7 klan ini adalah Embu Kaki, Embu Mbonggi, Embu Poke Kore, Embu Jobhi, Embu Wolo, Embu Kengge, dan Embu Kana.Semua anggota klan mengadakan syukur atas panenan dan hasil kerja selama setahun. Para penggarap mempersembahkan hasil kerja mereka kepada Sang Pencipta "Dua Gheta Lulu wula, Ngga,e Ghale Wena Tana"Tuhan yang bertahta di langit yang tertinggi dan Allah yang berpijak pada Bumi terdalam, Embu mamo, atau para leluhur dan juga "Nitu ji,e dan re,e" atau roh jahat dan roh baik serta semua makluk ciptaan Tuhan yang kelihatan dan tak terlihat. Dalam upacara ini hanya kaum laki-laki yang ikut makan atau "Ka are Mbera" baik kaum masyarakat adat di dalam kampung atau tamu undangan yang menghadiri upacara Nggua, sedangkan kaum wanita tinggal di rumah klannya masing-masing.

   2. Po,o ( Makan nasi Bambu)

Upacara po,o merupakan ritual adat yang dilaksanakan sesudah upacara Nggua Mbera. Upacara ini dilaksanakan sebagai tanda memulainya musim tanam yakni merupakan upacara pendinginan atau "Sewu petu pera bera".We tembu bhondo wesa wela atau semua bara panas dipadamkan dan panasnya terik matahari didinginkan, agar Semua tanaman yang ditanam dan bibit yang ditabur dapat tumbuh dengan baik dan mememberikan hasil panenan melimpah. Sesajen atau upeti yang harus dipersembahkan yakni"manu eko, moke boti, are wati" Ayam, arak dan beras. Upacara ini merupakan upacara tahunan yang wajib dilaksanakan sama halnya dengan upacara Nggua Mbera.

  3. Sewu Api

Sewu api ini dilaksanakan oleh mosa laki pada tanah ulayat kecil atau tana ria dan tana boge lo,o geto gene yang dijalankan sesuai jadwal masing-masing. Penggarap yang menggarap lahan di tanah ulayat tersebut wajib memberikan upeti kepada mosa laki sebagai sesajen kepada arwah lelubur dan semua mahkluk yang kelihatan maupun tak kelihatan. Setiap penggarap yang menggarap pada beberapa tanah ulayat misalnya di beberapa tana boge lo,o geto gene maka yang bersangkutan wajib memberikan upeti sesuai dengan ketentuan dalam tanah ulayat masing - masing.

Demikian beberapa gambaran umum, hierarkis mosa laki, upacara adat dan pakaian adat sebagai pelengkap dalam pelaksanaan acara adat yang disampaikan dalam artikel ini.


Foto insert oleh Don Kirie


Note:

Semoga Artikel di atas bermanfaat bagi pelestarian budaya lokal khususnya di tanah persekutuan "Siga Rembu Ratewati". Tulisan ini belumlah sempurna dan mohon maaf jika istilah adat yang digunakan kurang tepat..semua atensi, usul saran serta kritikan yang membangun saya menerimanya dengan senang hati sebagai bahan pelengkap artikel ini.

Oleh: Wara Cypriano.

SUMBER: AYAHANDAKU BAPAK FRANSISKUS KOTA RETA

Mosa Laki Tanah Ulayat "Boge lo,o geto gene" Tana Loka Reta.

Data ini disampaikan secara lisan beberapa tahun yang lalu, maklum masih banyak yang lupa..

Wujud dedikasiku Foto dokumen pribadi : Bapak & Mama serta Kakak laki - lakiku yang sulung.




1/13/17

BENA TRADITIONAL VILLAGE

           Bena is a village that is situated 10 km from Bajawa the capital of Ngada regency. The village consists of two parallel rows of traditional high thatch - roofed houses. Highly visible in the center of the village are "Ngadhu" and "Bhaga" pairs of shrines. One of each clan is of the village representing the clan's ancestors. The " Ngadhu" is an anthropomorphic  umbrella -like pole embodying the male ancestor of a clan. The truck is decorated with carvings and it topped with warriors - like figure.
     
         The "Ngadhu" symbolized fierceness and virility. The "Bhaga" is a female ancestor clan shrine. It is a small hut with a thatch - roofed that resembles a miniatur of a traditional house. It symbolizes the santuary of the house and female body. The "Bhaga" offers enough space for one or two person to hold rituals for female ancestors.

          Bena village offers an awesome of sight are megalithic formation in the center of village.Megaliths are means to connect with the supranatural realm and to communicate with the ancestors, often by animal sacrifices. Bena village give a majectic vista as the cultural tourism spot in Ngada regency.

By Wara Cypriano


Note: The article above is adapted from some sources.It gives a little bit information about Bena traditional village.Thanks for reading.

1/12/17

Dero; Ngadanese (Soa Sub-District) Traditional Dance




Libunio Village in Soa Ngada











Dance is movement of the art, and will become more alive if accomplished by traditional and modern music. One of the Ngadanese traditional dance is Dero. The Dero dance as one comes from Soa sub - district in Ngada regency.  Tne Dero dance aims to honour the ancestors, to give thanks for harvest, and build a strong fraternal bond. Dero dance usually performed on Sagi customary or traditional indigenous boxing. The basic movement of the Dero dance is to join hands to form a circle and then move together -equal right and left bacward and then forward to the music

The dancers can from within village or outside the village. To dance Dero the dancers can use the tradirional costumes for man or woman. Nowadays, every person can dance Dero using the modern music instruments and movements can be varied. The Dero dance can be performed in is a formal or informal event such as on a wedding party or the thanks giving day.The dancers can come from teens, or adult. The Dero dance is as mass dance and popular around the village, or in a regency.The people are very familiar to this dance.


By Wara Cypriano

Mega Proyek Lintas Tugasoki - Molutangga Ende Dalam Mimpi



Mega Proyek Lintas Tugasoki - Molutangga
Ende dalam mimpi...

Maaf ini trial blogspot..


NGADANESE TRADITIONAL COSTUMES


     

       Ngadanese traditional costumes from were a hand woven fabric made cotton. Nganese traditional costume for man Sapu Lue. The Sapu is like  a long sarong and Lu'e is like a scarf as worn on the man shoulder cross the chest. The Sapu Lu'e has some accessories which are used as in complete one. For man there are Boku ( dark brown). It is manner assembling a cone head wounds as a cap. To rope the Boku it is a Mari Ngia (dark red). The Mari Ngia is a kain by a piece of scenery special as the emblem crown and serves as a barrier or the binder of Boku. There is also a Keru. It is used as a bel. It is woven in a special way and patterned horse that serves as the barrier of Sapu. The man also wears a Lega.It is relieved with Lua or goat's hair/fur is a basket woven in a special shape by accessories horsehair on the left spine, right and bottom, and given a rope to be hung on the shoulder. As a symbol of gentleman there is a Sau or parang fitted with accessories in the form of white horse hair on the handle and a tail made from chicken feathers circuit is called Rega Sau.

       Ngadanese traditional coatume for woman is called Lawo Butu. It is the handspun cotton, natural dyes, shells, beads warp, and beadings. On the head is a Medo Lado. It is a head dress made from bamboo sticks ornate of white horse hair. There is also a Maringia as worn by the man. The is also a pair of traditional earings. To rope the Lawo there is a Keru. It is used as a belt. The woman also wears the Kasa Sese. It is a pair of yellow cloth worn crossed on the chest to back. There is also a Butu Bae. It is a necklace made of beads. Ngadanese traditional accessories for woman also a Dhegho. It is like a bracelet made from an elephant ivory and the hand of a woman there is also a the chicken feather is called Lua Manu or the white horse hair is worn while performing a tradktional dance in a formal ceremony.

NOTE: The article above is adapted from some sources. It can give a little bit information about Ngadanese traditional costume.If you have any comments, please some submitted on the colum of comment.Thank you for reading.

By Wara Cypriano

   
   

1/09/17

SAGI IS A TRADITIONAL BOXING IN SUB-DISTRICT SOA NGADA EAST NUSA TENGGARA

                                           SAGI
(TRADITIONAL BOXING IN Sub-DISTRICT SOA NGADA, EAST  NUSA TENGGARA)

Sagi is a traditional boxing ceremony held in sub - district Soa Ngada regency.
Sagi is a part of yearly thanksgiving celebration to the ancestors. In additional, Sagi is a means of communication as well as strenghten the social bonds among villagers. This is a cultural attraction which has been passed on for generation. The event is held periodically on certai dates and move from one village to another. The Sagi or traditional boxing also serves the two men racing each other in the center of of an open field, wearing traditional sarongs, their upper body bare.

The boxer hands are covered with a local kind of glove (kepo). The Kepo is always made from palm fibers glued together with a sticky liquid made out of palm sap. A wild crowd gathers around the arena and cheer for their heroes. A strike is a strike back. The Sagi action is about 2 or 3 minutes. The rounds depend on the readiness of the boxers. 

This event is starting from Mengeruda, Piga, Tarawaja/Wulilade, Libunio, Masu and Loa. This event is usually held from March until June as anually event. The series of ceremony must be done by local leader is called "Mori Raghu Sagi". Tje first step of ceremony is the local leader hangs the Siri and Pinang (areca nut) "Teo Heu" on a menhir made from wood (Peo) continued eating Siri Pinang and get meals ( Nalo).

The ritual contains singing in local language or (Tau Pata). The next part of time conducting the traditional dance (Dero). These rituals are singing and danxing as a mass ritual. Tne location is where the Dero conducting is called (loka) or a field for mass dancing. The Dero runs in one time in the evening. The villagers or families use this moment for engaging the couple which done tne ritual is called (Idi Weti) or offer tne Siri Pinang as a symbol of engaging for the couple. Tne next day Sagi is held in the inner part of village (Kisanata). This area is used for two groups on the east and west part of village (Ulu Eko). In Kisanata the Melo or Ye of tne local boxers. The personal of Sagi ceremony are the boxers (Ata Sagi), Two people as the guards ( Sike/Zo) of the boxers. They have a responsibility of safety boxers. The Sike should be balance and do not have a block of two boxers, they should be fair. The other one is a refree (Dheo Woe) as the leader on the match or Sagi. The closing ceremony is in the afternoon which cut the coconut (Kela Nio) is called Sogo. In the Sogo time the light should not be turned on. Sogo means that villagers want to know the harvest for the next year in a good or bad result.

Adapted from Https:Indahnyaflores.blogspot.co.id.2013

By WARA CYPRYANO
English Education Department
Postgraduate Study Program
Ganesha University of Education