VOXRATEWATI.Com. By Wara Cypriano
"Uta Buju" Olahan Tradisional dari Flores Selera Kaum Millenial
-------------------------------------------------------------------
Mengenal " Uta Buju atau uta roto"
-------------------------------------------------------------------
Komposisi "Uta Buju"
Foto insert: Proses pengolahan "Uta Buju" |
Keanekaragaman masyarakat Nusantara tidak hanya suku, ras, bahasa, agama, kesenian serta adat istiadat dan budaya namun juga memiliki keunikan dalam olahan makanan. Olahan makanan antara daerah yang satu dengan yang lainnya tentu memiliki kekhasannya masing-masing.Keanekaragaman ini menambah cita rasa persaudaraan bahwa masyarakat Nusantara walau pun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Keberagaman yang dimiliki ini, tentu dapat mempengaruhi relasi antar warga masyarakat. Ada keingintahuan masyarakat dari daerah lain untuk mencoba, mengalami dan mengenal lebih jauh tradisi dan warisan budaya lokal pada suatu daerah. Ada pepatah yang berbunyi " When in Rome do as the Roman's do" atau di mana bumi dipijak di situ langit di junjung". Maka tidaklah salah jika kita berkunjung ke suatu daerah sangatlah perlu bila kita turut mendukung keberlangsungan akan pelestarian warisan budaya setempat. Hal ini dapat kita lakukan bagaimana kita kali ini sedikit mengenal olahan sayur tradisional ala masyarakat adat Soa di wilayah kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dalam bahasa setempat dinamakan "Uta Buju atau uts roto".
-------------------------------------------------------------------
Mengenal " Uta Buju atau uta roto"
Secara etimologis frase "Uta Buju" berasal dari bahasa setempat ( bahasa Soa) yakni dari kata " uta" (sayur) dan "buju" (sejenis pisang hutan) maka, secara harafiah "uta buju" merupakan sayur yang diolah secara tradisional yang terdiri dari beberapa macam bahan yang dicampur secara bersama-bersama, seperti daging celeng ( babi) atau daging sapi serta pisang (muku) atau "buju". Olahan sayur ini hanya dilakukan pada momen ritual adat misalnya ritual "woe sada" atau sunat adat, "Kiki ngi'i" atau Bu'e Muzi" atau upacara pendewasaan bagi anak gadis, "Sapu" atau upacara pendewasaan dalam adat bagi pria dewasa atau juga upacara lamaran atau peminangan dalam hidup berkeluarga. Tradisi olahan "uta buju" selain memiliki makna historis sebagai warisan para leluhur yang telah diwariskan secara turun temurun (local wisdom) juga mengandung makna sosial yakni terkandung nilai kebersamaan, gotong royong yang ditandai dalam pengumpulan dan pengolahan bahan sayuran secara bersama-sama. Sehingga nilai kebersamaan sungguh terasa yang tetap dilestarikan hingga saat ini.
Menariknya "uta buju" diolah secara tradisional memiliki cita rasa yang khas dan siapa pun yang mencicipinya dapat memberikan kenangan tersendiri sehingga selalu ingin untuk mencicipinya lagi. Mengapa dikatakan memiliki cita rasa tersendiri? Bahwa nyatanya, sayur olahan tradisional ini dengan bumbu ala kadarnya sangat disenangi oleh kaum millenial Soa-Ngada. Hal ini ditunjukan bahwa walau pun mereka bersekolah atau sedang berada di perantauan namun mereka senantiasa merindukan untuk mengkonsumsi olahan tradisional ini. Olahan sayur seperti ini ternyata menambah selera makan bagi orang yang mengkonsumsinya di mana lemak daging telah menyatu dengan sayuran yang dimasak secara bersama-sama dengan tidak menghilangkan cita rasa khas sebagai sayur adat yang diolah secara sederhana dan higienis serta bernutrisi tinggi sebagai sumber energi bagi tubuh.
-------------------------------------------------------------------
Komposisi "Uta Buju"
Komposisi (ingredients) "uta buju" terdiri dari potongan daging babi atau sapi yang dicampur dengan irisan pisang muda atau sayur nangka (seperti bahan olahan sayur lode bagi orang Jawa) bisa juga dicampur dengan "buju" yaitu sejenis pisang hutan yang diambil bagian dalam batangnnya ( bagian yang muda) lalu ditaburi dengan kelapa parut yang digoreng setengah matang, dicampuri darah segar ( darah sapi atau babi). Dan untuk menambah cita rasa ditambahkan dengan bumbu dapur berupa bawang merah, bawang putih, sere, dan juga cabai merah serta tentunya garam dapur. Biasanya kelapa parut dicampur secukupnya setelah sayur dan daging yang sudah direbus menjdi matang agar aroma kelapa gorengnya tetap berasa.
Itulah cita rasa olahan sayur tradisional "uta buju" tradisi masyarakat adat Soa, kecamatan Soa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur sebagai referensi kuliner bagi para pencinta wisata kuliner Nusantara, Semoga bermanfaat.
Oleh Siprianus Wara
No comments:
Post a Comment