Tampak para Mosa laki sedang duduk di pelataran "Kuwu" Foto Insert: Akun FB @Anton Kirie |
Gambaran Singkat Ritual Adat
"Nggua Mbera"
"Nggua Mbera" merupakan frasa dalam bahasa Lio. Etnis Lio merupakan salah satu dari dua etnis di kabupaten Ende yakni etnis Lio dan etnis Ende. Frasa "Nggua Mbera" terdiri dari dua kata berbeda yakni kata "Nggua" artinya pesta atau upacara dan "Mbera" artinya bagian dari bulir padi. Upacara "Nggua Mbera" dimaknai sebagai upacara syukur panen dalam siklus kebidupan masyarakat adat suku Lio yaitu aktivitas bertani dan beternak. Tradisi ini telah dijalankan dan diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat suku Lio. Dari suku Lio ada sebuah wilayah yang memiliki tanah persekutuannya sendiri yaitu persekutuan adat "tana Siga Rembu". Tanah persekutuan ini mendiami pulau Flores bagian tengah tepatnya di desa Ekoae, dusun Tugasoki, kecamatan Wewaria Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur.
Salah satu ritual adat pada tanah persekutuan "Siga Rembu" yaitu ritual "Nggua Mbera". Ritual "Nggua Mbera" merupakan ritual adat yang erat kaitannya dengan kalender adat dimana kehidupan masyarakat yang bertani dan beternak sebagai mata pencharian hidup pada tanah ulayatnya. Para penggarap mempersembahkan semua hasil karjanya bersama seluruh masyarakat adat. Sebagai ritual tahunan, maka upacara adat "Nggua Mbera" juga sebagai simbol kefanaan manusia dihadapan Sang Pencipta dan dalam relasi dengan sesamanya. Ritual ini kaya akan makna meliputi makna religius dalam relasi denga Tuhan, makna sosial dalam kaitan kehidupan sosialnya, nilai magis karena diyakini bahwa semua ciptaan Tuhan memiliki roh atau ada mahkluk lain selain manusia. Semua mahkluk ciptaan pada akhirnya membangun sebuah kehidupan yang harmonis baik relasi manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya dan juga dengan lingkungan sekitarnya.
Maka dari gambaran di atas bahwa ritual "Nggua Mbera" dilaksanakan oleh masyarakat adat "Tana Siga Watu Rembu" yaitu nama salah satu tanah persekutuan adat di wilayah Lio. Masyarakat adat setempat memaknainya sebagai upacara syukur panen (thanksgiving day) dimana segala berkat dan hasil panen selama setahun harus dipersembahan kepada "Ngga'e" atau Tuhan dan juga "Du'a Bapu Ata Mata" yaitu arwah para leluhur. Syukur panenan dari ladang; baik padi, jagung, kacang-kacangan serta umbi-umbian yang merupakan hasil kerja masyarakat adat semuanya diupacarakan sebagai sumber pangan bagi masyarakat. Dalam ritual adat "Nggua Mbera" juga ada ritual lain yang di dalamnya disebut "Kebho Jawa atau Mi Jawa". "Jawa" adalah jagung dalam bahsa setempat. Upacara ini dilaksanakan sebelum acara "Nggua Mbera" yang bertujuan agar beras dan jagung bisa dimasak bersama. Jika belum diupacarakan maka hanya dimasak terpisah atau tidak bisa dicampur. Artinya padi dan jagung merupakan pangan utama yang menjadi bahan makanan untuk kelangsungan hidup bagi masyarakat setempat. Padi dan jagung hasil panen yang belum digiling atau ditumbuk tidak diperbolehkan untuk bibawa masuk ke rumah adat atau di sekitar pelataran rumah adat. Jika ada orang yang kedapatan membawa padi masuk ke kampung adat baik sengaja atau tidak sengaja maka ini namanya "sage" artinya ada hal yang salah dan perlu upacara pemulihan. Waega yang mengalami "Sage" dikenai denda adat berupa "wawi sa eko" atau satu ekor babi yang disembelih pada saat "Nggua Mbera".
Ritual "Nggua Mbera" juga menjadi tanda bahwa masa panenan telah usai dan semua masyarakat adat "Fai Walu Ana Kalo" wajib memberikan sesajen kepada arwah nenek moyangnya. Masyarakat adat mempercayai bahwa adanya Sang Pencipta disebut (Du'a gheta lulu wula, Ngga'e ghale wena tana) yaitu Allah yang bertahta di atas langit yang tinggi, dan kakinya berpijak pada bumi terdalam. Maka atas keluhuran kasih-Nya bagi kesejahteraan hidup manusia. Persembahan para penggarap diupacarakan oleh para mosa laki. Hal ini dipandang sebagai momen untuk memberikan sesajen dan memohon berkat dari para arwah leluhur atau "Ata Dua Bapu, ata mata, nitu pa'i" atau semua arwah para leluhur, roh halus dan jahat yang mendiami seluruh wilayah tanah persekutuan "Siga Tanah Eo Ria,Rembu Watu Eo Bewa" atau lebih dikenal tanah persekutuan "Tana Siga,Watu Rembu Ratewati"
Dalam ritual "Nggua Mbera" adapun kewajiban para "Fai Walu Ana Kalo" atau masyarakat adat baik para pemangku adat, para generasi "tana Siga" dan juga para penggarap dari luar wilayah tanah persekutuan yang datang menetap dan menggarap lahan. Semua memiliki kewajiban untuk memberikan upeti kepada para leluhur melalui para tetua adat atau "mosa laki" yang terdiri dari "Mosa Laki eko, Mosa Laki weri, Mosa Laki ria bewa,Mosa Laki boge lo'o geto gene" artinya "Laki Eko tau wenggo, laki weri tau ka, laki ria bewa tau timba tato" sebagai pemangku adat atau pihak yang menjalani ritual adat. Upeti dari "Fai walu ana kalo" berupa "Moke Boti Are Wati,Manu Eko" yaitu Arak (minuman tradisional), beras, ayam yang dijadikan bahan makanan baik digunakan untuk sesajen dan juga untuk upacara pesta adat atau makan bersama atau "Ka Are Mbera".
Pada saat upacara "Ka Are Mbera" ada beberapa tahapan yang dibahas juga pada artikel lain di blog ini. Salah satu tahapannya adalah "Lo Are Mbera". Ini merupakan ritual pada malam "Ka Are Mbera". Adapun bahan makanan yang harus disiapkan yakni "Are mami, uta kura, uta keba" yaitu nasi, udang, belut yang diberi santan. Juga disiapkan arak atau "moke" sebagai bahan sesajen dan juga bahan makanan yang dimakan di pelataran rumah adat atau "Kuwu". Pada saat makan bersama adapun pihak yang hadir yakni para "mosa laki" dan juga "Fai Walu Ana Kalo". Hadir pula para penggarap dan para undangan lainnya "Aji ji'e ka'e pawe" yaitu para sahabat kenalan dan juga para tetua adat dari wilayah tanah persekutuan lain, para tokoh agama, juga pihak pemerintah Desa, serta pemerintah kecamatan.
Pada saat makan bersama "Ka Are Mbera" pihak yang diperbolehkan adalah laki-laki dimulai dari remaja hingga dewasa sedangkan anak-anak yang laki-laki belum bisa dilibatkan. Hal ini erat kaitannya dengan sistem perwakinan yang dianut adalah patrilineal. Sedangkan kaum wanita atau para ibu hanya menyiapkan sesajen di rumah adatnya masing-masing yang berasal dari 7 klan atau "Embu Lima Rua". Pada saat makan bersama perlu diperhatikan pantangannya yaitu tidak diperbolehkan untuk batuk, kesedak, atau kentut. Posisi duduk harus bersilat kaki dan tidak mondar mandir. Semua laki-laki yang terlibat wajib mengenakan pakaian adat yakni "ragi mite". Bahan makanan harus disimpan dalam wadah berupa "pane" yakni menyerupai mangkok yang terbuat dari tanah liat serta tidak menggunakan sendok saat makan.
Upacara "Ka Are Mbera" dilanjutkan dengan ritus lainnya yakni "Ghia Mbera". Ini merupakan sebuah nyanyian adat dalam bahasa Lio yang dipimpin oleh seorang tokoh "Ata Du'a Nua". Tokoh ini telah diwariskan sejak dahulu yang bertugas untuk memimpin nyanyian adat tersebut. Upacara ini pertanda kegiatan tarian adat segera dimulai sebagai bagian dari pesta adat yakni dengan menari "Gawi" atau tandak bersama. "Ghia Mbera" mengisahkan tentang petuah leluhur dan tahapan upacara adat "Ka Mbera" serta susunan keturunan sejak bumi dijadikan hingga saat ini. Orang yang memimpin upacara adat ini bukanlah seorang "mosa laki" tetapi disebut "Ata sodha susu" artinya orang yang dipercayakan untuk memimpin nyayian adat yang diwariskan sejak dulu. "Ata sodha" merupakan seorang "Ata Du'a Nua" atau seorang tokoh kampung. Maka dalam hirarki mosalaki maka tidak ada "laki sodha susu". Orang yang bisa menerima warisan ini adalah para keturunan dari tokoh sebelumnya dan hal ini dilestarikan hingga sekarang.
Setelah upacara "Ghia Mbera" maka dilanjutkan dengan "Gawi Bebu" yaitu sebuah tarian masal atau tandak bersama dari tradisi etnis Lio. Semua yang hadir bisa mengambil bagian baik laki-laki maupun perempuan. "Gawi" biasanya diiringi dengan nyanyian adat yang dipimpin oleh "Ata Sodha" atau orang yang bisa memimpin nyanyian adat. Pada bagian ini "Ata Sodha" bisa dimpimpin oleh siapa saja baik yang berasal dari 7 klan atau berasal dari masyarakat adat tanah persekutuan yang lain. Berbeda dengan ritual "Ghia Mbera" yaitu "Ata Sodha" harus orang yang memiliki wewenang karena tidak semua orang bisa melakukannya ini. Pada acara gawi" biasanya disertakan dengan menari "wanda pa'u" atau tarian perorangan atau kelompok dengan mengenakan slempang dari tenunan tradisional dengan berbagai motif disebut "peru". Pada saat tarian "gawi" para laki-laki wajib mengenakan sarung motif atau "Ragi Mite" dan bagi perempuan wajib mengenakan "lawo lambu" yaitu pakaian tradisional suku Lio bagi perempuan. Biasanya yang laki-laki diberi minuman tradisional "moke" untuk menambah semangat agar tarian "Gawi" lebih meriah. Kegiatan "Gawi" bersama dilakukan hingga subuh bahkan hingga siang harinya.
Keesokan harinya, adapun upacara lanjutannya dimana para mosalaki melakukan rapat bersama yang dihadiri oleh para tetua kampung, pihak pemerintah, tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh pemuda di balai pertemuan mosalaki atau "kuwu". Pada pertemuan adapun agenda yang akan dibicarakan yakni mengenai hal-hal terkait persoalan atau rencana untuk upacara tahun depan. Atau hal lain berkaitan dengan perbaikan rumah adat. Pada momen ini, para mosalaki biasanya melakukan "bo bela" atau pesan adat yang disampaikan oleh kepala suku atau "mosa laki pu'u" serta penentuan upacara tahunan lainnya salah satunya yaitu "Ka are po'o". Upacara ini biasanya dilaksanakan satu minggu setelah upacara "Nggua Mbera". Upacara "Ka Are Po'o" atau nasi yang dimasak dalam bambu merupakan sebuah ritual untuk mengawali musim tanam pada tahun yang akan datang. Hal ini pertanda agar para penggarap yang telah menyiapkan lahan garapannya untuk segera ditanami padi dan jagung. Upacara ini dimaknai "sewu petu pera bera" artinya hawa bara api yang panas harus dipadamkan, dan panas terik matahari akan diturunkan hujan oleh Allah dan leluhur. Dengan demikian tanaman padi dan jagung dapat tumbuh subur dan hasil panenan melimpah. Upacara ini juga sebagai simbol kesuburan bagi segala jenis tanaman yang ada di ladang garapan. Baca juga artikel ini; https://waracyprianoratewati.blogspot.com/2022/11/ritual-poo-bagi-masyarakat-adat-siga.html
Upacara "Nggua Mbera" diakhiri dengan acara makan bersama atau "Ka Nggera". Ini merupakan acara penutup dari semua rangkaian adat "Ka Are Mbera".
Demikian gambaran singkat terkait upacara "Nggua Mbera" pada masyarakat adat tanah persekutuan "Siga Rembu" di kampung adat Tugasoki-Ekoae, kecamatan Wewaria Kabupaten Ende,Nusa Tenggara Timur. Mohon maaf jika artikel ini belum sempurnah atau ada kekeliruan dalam penjelasannya bisa memberikan catatan sebagai upaya perbaikan narasinya. Semoga bermanfaat khususnya bagi para generasi "ana mamo Siga Rembu Ratewati***
Noted: Momen Nggua Ria. Ka Are Mbera Nua Tugasoki-Ratewati-Ekoae Ende
18 Oktober 2024