10.10.25

Mendidik Generasi "Ampibi"


Repost dari akun Aya Bain laman NTT Pride


Kita hidup di zaman di mana banyak anak tumbuh dengan konsep “instan” dalam pikirannya. Sekali gagal, langsung menyerah. Sekali sulit, langsung minta bantuan. Padahal, penelitian dari University of Pennsylvania menunjukkan bahwa ketangguhan mental anak, atau grit, lebih berpengaruh terhadap kesuksesan jangka panjang daripada kecerdasan IQ. Artinya, anak yang tidak mudah menyerah justru memiliki peluang lebih besar untuk berhasil dalam hidupnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat ini dengan jelas. Anak yang belajar bersepeda akan berhenti mencoba setelah jatuh satu kali, sementara anak lain yang gigih akan terus mencoba sampai seimbang. Bukan karena yang pertama bodoh, tetapi karena tidak terbiasa menghadapi kesulitan tanpa diselamatkan. Banyak orang tua tanpa sadar membuat anak “rapuh” dengan terlalu cepat menolong. Padahal, di balik setiap kesulitan kecil, tersimpan peluang besar untuk menumbuhkan karakter tangguh.

Melatih anak agar tidak mudah menyerah bukan soal memberi motivasi atau ceramah tentang “harus kuat.” Ini tentang membangun sistem berpikir, pola emosi, dan lingkungan yang mendukung ketekunan. Tujuh prinsip berikut menjelaskan bagaimana caranya.

1. Ajari bahwa kegagalan bukan musuh, tapi guru terbaik

Banyak anak takut gagal karena orang tuanya terlalu reaktif terhadap kegagalan. Ketika nilai ujian turun, reaksi pertama yang muncul adalah marah, bukan diskusi. Anak akhirnya belajar bahwa gagal berarti buruk, bukan kesempatan untuk belajar. Padahal, psikologi pendidikan menegaskan bahwa anak yang terbiasa gagal dan merefleksikan penyebabnya akan jauh lebih kuat secara emosional.

Misalnya, anak yang kalah dalam lomba menggambar cenderung ingin berhenti menggambar sama sekali. Tetapi jika orang tua menekankan proses daripada hasil—dengan menanyakan “apa yang kamu pelajari dari lomba itu?”—maka anak belajar bahwa gagal bukan akhir, tapi bagian dari perjalanan.

Kegagalan adalah bahasa kehidupan yang mengajarkan realitas. Anak yang mampu berbicara dalam bahasa ini akan lebih siap menghadapi dunia yang tidak selalu ramah. Di sinilah pentingnya melatih nalar emosional, salah satu tema yang dibahas mendalam dalam konten eksklusif LogikaFilsuf untuk orang tua yang ingin mendidik dengan kesadaran logis dan penuh refleksi.

2. Biarkan anak menyelesaikan masalahnya sendiri terlebih dahulu

Kebiasaan paling umum yang membuat anak cepat menyerah adalah intervensi orang tua yang terlalu dini. Setiap kali anak kesulitan, orang tua langsung turun tangan. Akibatnya, anak tidak belajar bagaimana mencari solusi. Ia terbiasa berpikir bahwa ketika sesuatu sulit, seseorang akan datang menyelamatkan.

Contohnya sederhana. Anak tidak bisa memasang tali sepatunya, lalu orang tua segera membantu. Padahal, dengan membiarkannya mencoba sedikit lebih lama, anak belajar mengatur emosi, fokus, dan mencari strategi baru. Inilah proses yang membangun mental endurance.

Memberi ruang untuk gagal dalam hal kecil adalah latihan menghadapi tekanan dalam hal besar. Dunia tidak akan selalu menyiapkan jalan yang mudah, maka rumah sebaiknya menjadi tempat pertama di mana anak belajar bertahan menghadapi kesulitan tanpa menyerah.

3. Tumbuhkan rasa ingin tahu, bukan rasa takut salah

Anak yang terlalu takut salah akan cenderung cepat menyerah. Rasa ingin tahu memudar ketika yang ia khawatirkan hanya penilaian dari orang lain. Maka tugas orang tua bukan hanya menuntut hasil, tetapi menumbuhkan keingintahuan.

Ketika anak bertanya hal-hal sederhana seperti “kenapa langit biru?” atau “kenapa aku harus belajar matematika?”, jangan buru-buru menjawab atau memotong dengan kalimat “nanti juga tahu sendiri.” Diskusi kecil seperti ini membuat anak merasa dihargai, dan merasa bahwa berpikir adalah sesuatu yang menyenangkan.

Rasa ingin tahu adalah bahan bakar untuk ketekunan. Anak yang penasaran tidak akan berhenti hanya karena kesulitan; ia akan terus mencari tahu. Maka, pendidikan sejati dimulai bukan dari buku teks, melainkan dari keinginan untuk memahami dunia dengan caranya sendiri.

4. Latih kemampuan menunda kepuasan

Anak yang terbiasa mendapatkan apa pun dengan cepat cenderung tidak tahan menghadapi proses. Dalam eksperimen terkenal Marshmallow Test oleh Walter Mischel, anak-anak yang mampu menunda makan permen demi hadiah lebih besar di kemudian hari terbukti lebih sukses secara akademik dan sosial ketika dewasa.

Latihan kecil seperti ini bisa diterapkan di rumah. Misalnya, minta anak menyelesaikan tugas sebelum menonton video kesukaannya. Atau ajarkan menabung untuk membeli mainan sendiri daripada langsung dibelikan.

Dari latihan sederhana itu, anak belajar satu hal penting: tidak semua hal bisa didapat sekarang juga. Kesabaran dan konsistensi adalah bagian dari keberhasilan. Anak yang memahami hal ini akan lebih tahan menghadapi kegagalan dan tidak cepat menyerah di tengah jalan.

5. Jadilah contoh dalam menghadapi kesulitan

Anak belajar ketekunan bukan dari nasihat, tapi dari apa yang ia lihat setiap hari. Jika orang tua mudah stres, sering mengeluh, atau cepat menyerah ketika masalah datang, anak akan meniru pola yang sama.

Sebaliknya, ketika ia melihat orang tuanya tetap tenang dan berpikir jernih di tengah tekanan, ia belajar cara menghadapi kesulitan dengan kepala dingin. Anda tidak perlu menyembunyikan perjuangan di depan anak; justru bicarakan prosesnya. Katakan misalnya, “Mama lagi pusing kerjaan, tapi Mama pelan-pelan cari solusinya.”

Ketika anak melihat bahwa orang dewasa pun berjuang, tapi tidak menyerah, itu menjadi pelajaran hidup yang jauh lebih kuat daripada seribu nasihat.

6. Ajarkan pentingnya proses dibanding hasil

Banyak anak tumbuh dalam lingkungan yang hanya menghargai hasil akhir: nilai, piala, ranking. Padahal, yang membuat anak bertahan bukanlah hasil, melainkan keyakinan bahwa setiap proses punya makna.

Saat anak berusaha belajar menggambar tapi belum rapi, puji usahanya, bukan hasilnya. Katakan, “Kamu serius banget ya ngerjain ini.” Kalimat itu sederhana tapi berdampak besar bagi pembentukan growth mindset. Anak jadi belajar bahwa kerja keras lebih penting daripada kesempurnaan.

Dengan menghargai proses, anak merasa setiap usaha layak dilakukan, bahkan kalau belum menghasilkan apa-apa. Inilah cara halus menanamkan filosofi ketekunan: bahwa hasil hanyalah efek samping dari proses panjang yang dijalani dengan sabar.

7. Dorong anak mengenali emosinya ketika gagal

Saat anak gagal, jangan langsung menasihati. Biarkan ia merasakan kecewa, marah, atau sedih. Emosi adalah bagian dari proses belajar. Anak yang terbiasa memproses emosinya akan lebih kuat menghadapi situasi sulit tanpa meledak atau menyerah.

Setelah emosi mereda, baru ajak berbicara: “Kamu kecewa ya karena kalah?” Dari situ anak belajar mengenali perasaannya dan menyalurkannya secara sehat. Ia belajar bahwa tidak apa-apa merasa sedih, tapi yang penting adalah bagaimana bangkit setelahnya.

Anak yang mampu mengelola emosi tidak akan takut menghadapi kegagalan, karena ia tahu cara menenangkan diri. Di titik ini, Anda tidak hanya membentuk anak yang kuat secara mental, tetapi juga bijak secara emosional.

Menumbuhkan ketekunan pada anak bukan proses cepat, tapi investasi jangka panjang. Dunia yang mudah membuat kita lupa bahwa daya tahan justru lahir dari ketidaknyamanan. Maka, biarkan anak berjuang, biarkan ia mencoba, biarkan ia gagal—karena dari sanalah ia akan belajar menjadi manusia yang tidak mudah patah oleh kesulitan.

Kalau tulisan ini terasa membuka cara pandang baru, bagikan agar lebih banyak orang tua memahami bahwa daya juang bukan bakat, tapi hasil dari pola asuh yang sadar dan penuh kesabaran. Tulis pandanganmu di kolom komentar, karena setiap sudut pandang bisa memperkaya cara kita mendidik generasi yang tangguh.

23.6.25

Fase Usia Pernikahan

VOXRATEWATI.Com. By Siprianus Wara



   Foto insert: Dokumen pribadi



Repost dari akun FB karsig chanel

Fase usia pernikahan menggambarkan tahap-tahap yang umum dilalui pasangan suami istri seiring bertambahnya waktu dan usia pernikahan. Berikut pembagian umum fase usia pernikahan:
🌱 1. Fase Bulan Madu (0–2 Tahun)
Ciri-ciri:
Fokus pada romantisme dan penyesuaian awal.
Belajar hidup bersama, mengenal kebiasaan masing-masing.
Konflik masih minim, tapi bisa muncul karena adaptasi.
Tantangan:
Penyesuaian karakter, gaya komunikasi, dan ekspektasi.
Kemandirian finansial dan peran keluarga besar.
🏠 2. Fase Stabil dan Produktif (3–7 Tahun)
Ciri-ciri:
Mulai membangun rumah tangga secara serius.
Kehadiran anak-anak, fokus ke parenting dan karier.
Dinamika mulai kompleks, romantisme mulai berkurang.
Tantangan:
Menjaga komunikasi dan keintiman.
Stres karena pekerjaan, anak, atau ekonomi.
🔥 3. Fase Krisis Tengah Pernikahan (8–15 Tahun)
Ciri-ciri:
Masa rentan konflik atau kejenuhan (terutama 7–10 tahun).
Kadang muncul pertanyaan "Apakah saya bahagia?"
Anak mulai tumbuh besar, kebutuhan berubah.
Tantangan:
Perceraian banyak terjadi jika ego perasaan diutamakan difase ini.
Perlu usaha menjaga kedekatan emosional.
Risiko perselingkuhan atau keinginan “pelarian”.
🌳 4. Fase Matang (16–25 Tahun)
Ciri-ciri:
Hubungan lebih dewasa dan tenang.
Anak mulai remaja atau dewasa.
Lebih banyak fokus pada nilai hidup dan kebersamaan.
Tantangan:
Menyesuaikan diri saat peran sebagai orang tua berubah.
Menjaga cinta di tengah rutinitas panjang.
🌅 5. Fase Teman Hidup (25 Tahun ke atas)
Ciri-ciri:
Hubungan sangat erat, seperti sahabat sejati.
Anak-anak dewasa atau sudah keluar rumah.
Fokus ke kebersamaan dan menikmati masa tua.
Tantangan:
Menghadapi masa pensiun, perubahan kesehatan.
Menemukan makna baru dalam hubungan setelah anak mandiri.
---
#fasepernikahan #kehidupan 

2.6.25

Kekosongan Jiwa Oleh Prof. Vincent Gasperz

VOXRATEWATI.Com. 

Catatan: 
Tulisan ini diposting kembali dalam blog Voxratewati.com  sebagai bahan bacaan pribadi. Semua isi tulisan diposting secara utuh tanpa adanya editan atau penambahan hal lain. Semua isi bacaan berasal dari tulisan seseorang sesuai keterangan dalam postingannya.


 Gambar ilustrasi: oleh Prof Vincent         Gasperz

Kekosongan Jiwa di Balik Korupsi, Kejahatan, dan Bunuh Diri: Saat Spiritualitas Ditinggalkan, Kesadaran Kolektif Manusia Runtuh

Oleh Vincent Gaspersz, Lean Six Sigma Master Black Belt & Certified Management Systems Lead Specialist

Pengantar:

Dalam dunia yang semakin maju secara teknologi namun semakin rapuh secara batin, kita menyaksikan ironi besar: di tengah berlimpahnya tempat ibadah, lantunan khotbah, dan menjamurnya lembaga-lembaga keagamaan, justru angka korupsi, kejahatan moral, kebohongan publik, kekerasan domestik, dan kasus bunuh diri terus meningkat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah manusia kini tidak lagi takut kepada Tuhan? Ataukah sesungguhnya yang terjadi adalah manusia telah kehilangan koneksi batiniah terdalam—yakni spiritualitasnya sendiri?

Kita melihat banyak pejabat publik yang berbicara lantang tentang moral dan integritas di depan kamera, tetapi dalam kenyataannya bersikap manipulatif, tidak empatik, bahkan mencederai keadilan. Mereka mungkin mengutip ayat-ayat suci di forum resmi, namun tetap tega mengabaikan penderitaan rakyat yang tak terdengar suaranya. Inilah wajah rapuh dari masyarakat yang kehilangan fondasi kesadaran spiritual: ketika agama hanya menjadi formalitas politik, dan nilai-nilai Ilahi tidak lagi hidup dalam kesadaran batin.

Spiritualitas yang sejati tidak sekadar diucapkan, tetapi dihidupi. Dan ketika kesadaran spiritual itu mati—baik karena kesibukan duniawi, kerakusan akan kuasa, atau kehilangan makna hidup—maka manusia menjadi mesin tanpa jiwa: pandai berargumen, tetapi tak mampu mencintai; aktif berkegiatan, tetapi hampa dari belas kasih. Maka, yang kita saksikan hari ini bukanlah kekurangan agama secara institusional, tetapi kehampaan spiritual yang makin mendalam, bahkan di tengah simbol-simbol religius yang melimpah.

Seringkali kita menyederhanakan akar masalah rapuhnya moralitas publik hanya pada kurangnya pendidikan agama, seolah-olah agama adalah satu-satunya benteng pertahanan terhadap perilaku menyimpang. Namun kenyataannya, situasinya jauh lebih kompleks. Banyak pelaku korupsi, kekerasan struktural, atau tindakan amoral lainnya justru berasal dari kalangan yang secara lahiriah terlihat religius: mereka rajin beribadah, fasih mengutip kitab suci, mengenakan simbol keagamaan, dan bahkan dihormati sebagai tokoh spiritual atau pejabat publik yang katanya menjunjung nilai-nilai moral. Tetapi di balik semua penampilan itu, tersembunyi jurang batin yang sangat dalam—jurang yang disebut kekosongan spiritualitas.

Ini adalah kekosongan yang membuat seseorang mampu tersenyum di depan publik sambil menyusun kebijakan yang menyengsarakan, menyembunyikan fakta demi citra, memanipulasi data demi keuntungan kelompok, dan berdiri di mimbar moralitas sambil mempraktikkan ketidakjujuran. Mereka tidak lagi merasa bersalah karena hati nuraninya telah terputus dari pusat kesadaran spiritual. Ritual dilakukan, namun hanya sebagai rutinitas simbolik; doa diucapkan, tetapi tidak membangkitkan kasih. Akibatnya, tidak ada empati yang lahir, tidak ada rasa tanggung jawab terhadap penderitaan orang lain, dan yang tersisa hanyalah topeng-topeng moralitas yang retak dari dalam. Inilah bukti nyata bahwa tanpa spiritualitas yang hidup, agama bisa berubah menjadi kostum etis semu—indah dilihat, tetapi kosong dirasa.

Dalam banyak tragedi bunuh diri, kita juga menemukan hal yang serupa. Banyak dari mereka bukan tak tahu agama, tapi tak lagi merasakan makna hidup. Mereka merasa kosong, kehilangan pegangan batin, dan tak mampu lagi merasakan kehadiran kasih Tuhan dalam hidup mereka. Ini bukan sekadar krisis iman formal, tapi krisis spiritual yang lebih mendalam—yang tak bisa disembuhkan hanya dengan anjuran, tetapi butuh pemulihan kesadaran dari dalam diri.

Itulah sebabnya kini muncul disiplin ilmu baru bernama Neurotheology atau Spiritual Neuroscience—sebuah bidang yang menjembatani antara pengalaman spiritual dan sistem kerja otak manusia. Neurotheology membuktikan bahwa pengalaman religius atau spiritual bukan sekadar ilusi atau doktrin, melainkan pengalaman nyata yang bisa direkam dalam aktivitas saraf otak, terutama di area-area yang berhubungan dengan empati, kesadaran diri, dan koneksi terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Ketika bagian otak ini mati karena tidak dilatih atau dihidupkan, maka bukan hanya rasa damai yang lenyap, tetapi juga kompas moral manusia ikut runtuh.

Neurotheology bukanlah agama baru, melainkan sebuah pendekatan transdisipliner yang menawarkan pemahaman baru tentang bagaimana manusia mengalami Tuhan: melalui aktivitas otak, struktur kesadaran, dan mekanisme batiniah. Ia memberikan kerangka ilmiah bagi spiritualitas, tanpa mengurangi kedalaman nilai-nilai rohaniah yang dialami individu secara personal. Karena itu, tidak mengherankan bila pengikut atau peminat Neurotheology berasal dari beragam latar belakang agama maupun non-agama.

Spiritualitas tidak harus dibatasi oleh formalitas agama. Ia adalah kesadaran yang hidup dan dinamis—kesadaran bahwa ada makna, ada tujuan hidup, ada kasih Ilahi yang menyertai, ada rasa tanggung jawab terhadap sesama dan alam semesta. Inilah fondasi terdalam dari moralitas manusia. Tanpa spiritualitas, agama pun bisa menjadi kosong: sekadar simbol, rutinitas, dan bahkan alat kekuasaan. Dan tanpa kesadaran ini, tak heran jika seseorang bisa mencuri tanpa rasa bersalah, menipu tanpa rasa malu, atau bahkan mengakhiri hidupnya sendiri karena merasa tak berarti.

Namun penting dicatat, bahwa agama sebagai institusi tetap memiliki peran penting—yakni sebagai wadah dan penuntun nilai-nilai luhur. Yang menjadi krusial bukanlah menyalahkan agama, melainkan menyadari bahwa agama tanpa kesadaran spiritual akan menjadi kosong, dan spiritualitas tanpa nilai etika bisa menjadi liar.

Neurotheology hadir sebagai jembatan yang ilmiah dan spiritual sekaligus. Ia menunjukkan bahwa pengalaman ketuhanan bukanlah monopoli satu sistem keyakinan tertentu, melainkan bagian dari mekanisme kesadaran manusia yang universal, yang bisa diakses melalui berbagai jalan—baik ritual agama maupun perenungan batiniah.

Oleh karena itu, pemahaman dan penerapan konsep Neurotheology dalam konteks agama maupun spiritualitas dapat memperkuat ketaatan kita terhadap firman Tuhan, karena ia menanamkan kesadaran bahwa Tuhan tidak hanya ingin disembah, tetapi juga dihayati dan dialami secara utuh. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya menjadi pengikut yang taat secara lahiriah, tetapi juga pribadi yang terhubung secara mendalam dengan nilai-nilai Ilahi dalam setiap aspek kehidupan. Neurotheology mendorong kita untuk menjalani iman bukan hanya sebagai sistem, tetapi sebagai kesadaran hidup yang transformatif, sehingga pengamalan agama menjadi lebih bermakna, menyatu antara akal, hati, dan tindakan nyata.

Mengapa Spiritualitas adalah Inti Moralitas Manusia?

Karena spiritualitas menyentuh dimensi terdalam manusia yang tidak bisa dijangkau oleh hukum, otoritas, atau ketakutan terhadap hukuman. Ia membentuk kompas moral dari dalam. Ketika seseorang memiliki kesadaran spiritual, ia tidak mencuri karena takut masuk neraka—tetapi karena ia sadar bahwa menyakiti orang lain adalah menyakiti bagian dari Tuhan yang ada dalam dirinya sendiri. Ia tidak berbohong bukan karena takut dikutuk, tetapi karena ia tahu bahwa kebenaran adalah bagian dari jati dirinya yang paling hakiki.

Sebaliknya, ketika spiritualitas mati, maka seseorang bisa melakukan kejahatan bahkan sambil berdoa. Ia bisa menyalahgunakan simbol agama demi kekuasaan atau kekayaan, dan merasa benar karena telah memenuhi syarat formal.

Mengapa Neurotheology Menjadi Kunci untuk Memahami Ini?

Karena Neurotheology mengungkapkan bahwa otak manusia memang dirancang untuk merasakan kehadiran Tuhan, dan ketika bagian-bagian otak ini aktif, manusia merasa damai, penuh kasih, dan bertanggung jawab terhadap sesama. Namun ketika bagian-bagian ini tidak aktif (karena tidak pernah dipakai dalam refleksi, kontemplasi, atau pengalaman spiritual), maka manusia menjadi dangkal, impulsif, rakus, dan bahkan depresi.

Studi dengan fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) telah menunjukkan bahwa aktivitas spiritual yang otentik—seperti meditasi, doa reflektif, dialog dengan Tuhan atau perenungan makna hidup secara mendalam—meningkatkan konektivitas otak yang berhubungan dengan kebahagiaan, kendali emosi, dan empati sosial.

Lingkaran Transformasi Spiritual: Menyelami Akar Moralitas Manusia

Definisi Umum:

Lingkaran Transformasi Spiritual adalah suatu model kesadaran integral yang menggambarkan bagaimana dimensi batin manusia (spiritualitas) berinteraksi dengan arsitektur lingkungan, aktivitas otak (neurosains), tingkat kesadaran, dan kesehatan mental dalam satu siklus saling memengaruhi. Siklus ini terdiri atas lima elemen utama: Spirituality → Architecture → Neuroscience → Consciousness Status → Mental Health.

Model ini menjelaskan bahwa akar dari berbagai tindakan menyimpang seperti korupsi, ketidakjujuran, kekerasan, bahkan bunuh diri, seringkali bukan sekadar karena lemahnya pendidikan agama, tetapi karena terputusnya kesadaran spiritual yang seharusnya menopang kehidupan batin manusia.

No. 1. Spirituality (Spiritualitas sebagai Sumber Kesadaran Moral)

Spiritualitas adalah kesadaran batin yang meyakini bahwa kehidupan bukan semata soal pencapaian materi, tetapi tentang makna hidup, cinta kasih, dan hubungan langsung dengan Tuhan atau Kesadaran Tertinggi. Dalam spiritualitas, manusia bertindak baik bukan karena takut dihukum atau ingin pahala, tetapi karena merasa satu dengan sesama dan semesta.

Contoh konkret:

• Seorang pejabat mungkin rajin salat atau ke gereja tiap minggu, tetapi tetap menyelewengkan dana publik karena ritualnya tidak disertai dengan kesadaran batin akan tanggung jawab Ilahi.

• Seorang guru agama bisa mengajarkan kasih, tapi menyimpan kebencian dan memecah belah, karena kehilangan koneksi spiritual sejati dengan nilai Ilahi yang diajarkannya.

No. 2. Architecture (Arsitektur sebagai Cermin Kesadaran Ilahi).

Lingkungan fisik membentuk suasana batin dan memengaruhi cara berpikir. Arsitektur spiritual—baik dalam bentuk rumah ibadah, ruang kontemplasi, maupun tata ruang kota—seharusnya dirancang untuk membangkitkan keheningan, kedamaian, dan keterhubungan batin. Ketika arsitektur menjadi simbol kekuasaan dan kemewahan, bukan perenungan, maka ruang kehilangan fungsinya sebagai pemancar kesadaran spiritual.

Contoh konkret:

• Gereja yang megah atau masjid yang megah, tetapi dibangun dari praktik suap atau eksploitasi buruh, justru kehilangan fungsi spiritualnya.

• Kantor-kantor pemerintah yang dirancang secara otoriter menciptakan budaya birokrasi yang kaku dan mematikan empati.

No. 3. Neuroscience (Otak sebagai Instrumen Moral dan Spiritualitas).

Neurotheology dan ilmu neurosains telah menunjukkan bahwa spiritualitas memengaruhi aktivitas otak, khususnya pada bagian prefrontal cortex (kendali moral, refleksi) dan lobus parietal (kesadaran diri dan kesatuan dengan semesta). Ketika seseorang rutin melakukan refleksi spiritual seperti dialog, meditasi, empati dan kendali moral meningkat. Ketika tidak, otak justru memberi ruang pada impuls egoistik.

Contoh konkret:

• Studi pemindaian otak (fMRI) menunjukkan bahwa mereka yang terbiasa dengan praktik spiritual menunjukkan aktivitas lebih tinggi di pusat moral otaknya.

• Sementara itu, pelaku kejahatan berulang seperti penggelapan dana, pemerkosa anak, hingga pembunuh, menunjukkan melemahnya respons empatik akibat kegagalan pengembangan dimensi spiritual yang mendalam.

No. 4. Consciousness Status (Tingkat Kesadaran akan Realitas Ilahi).

Kesadaran spiritual yang tinggi (higher consciousness) menciptakan manusia yang welas asih, tidak egoistik, dan hidup dengan rasa tanggung jawab yang tinggi. Sebaliknya, kesadaran yang rendah (lower consciousness) membuat seseorang terjebak pada kepentingan diri sendiri dan mudah menjustifikasi kejahatan sebagai strategi bertahan.

Contoh konkret:

• Seorang pemuka agama yang memanipulasi jemaah untuk tujuan politik pribadi menunjukkan kesadaran rendah, meski secara simbolis terlihat religius.

• Seorang tokoh yang hidup sederhana, jujur, dan melayani orang lain tanpa pamrih, meskipun tanpa jabatan agama formal, mencerminkan kesadaran tinggi.

No. 5. Mental Health (Kesehatan Mental sebagai Refleksi Spiritualitas yang Sehat).

Gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan keinginan bunuh diri sering bukan karena lemah dalam ritual keagamaan, tetapi karena hilangnya makna hidup, keterasingan batin, dan kehampaan eksistensial. Spiritualitas memberikan arah, penerimaan, dan rasa koneksi dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Contoh konkret:

• Banyak orang muda yang bunuh diri meskipun aktif dalam kegiatan keagamaan, karena ritual tersebut tidak mampu menjawab kegelisahan eksistensial dan hilangnya makna personal.

• Sebaliknya, seorang lansia yang sederhana namun hidup dengan penuh perasaan bersyukur dan melayani sesama bisa memiliki kesehatan mental yang luar biasa karena spiritualitasnya menyatu dalam keseharian.

Kembali ke Spiritualitas: Penutup Lingkaran

Akhir dari transformasi ini kembali pada spiritualitas—kesadaran tertinggi bahwa hidup adalah persembahan. Tanpa spiritualitas, manusia hanya menjadi mesin biologis yang haus kekuasaan dan pujian. Dengan spiritualitas, manusia menjadi makhluk sadar yang hidup dengan integritas, kasih, dan kehadiran IIahi yang otentik dalam keseharian. Catatan VG: KASIH = Kehendak Allah selalu Isi Hati; Hati = Harmonisasi antara tindakan dan iman; IMAN = Ikhlas Menjadikan Allah Nakhoda.

Contoh konkret:

• Seorang pemimpin yang jujur bukan hanya mengandalkan hukum atau simbol agama, tetapi juga mendasarkan keputusan pada suara batin dan tanggung jawab suci di hadapan Tuhan dan rakyat.

Rangkuman dan Refleksi:

Dalam kehidupan yang semakin cepat, bising, dan penuh tekanan, manusia tampak semakin jauh dari dirinya sendiri—dari makna hidup, dari suara hati, dan dari kesadaran Ilahi. Dua gambar otak yang ditampilkan membuka ruang refleksi mendalam tentang apa sesungguhnya yang hilang dari peradaban manusia saat ini. 

Gambar pertama memetakan nilai-nilai spiritual seperti God, Prayer, Peace, Faith, Love, Joy, Kindness, dan Understanding ke dalam bagian-bagian otak, seolah mengisyaratkan bahwa kesadaran spiritual adalah bagian dari sistem kesadaran biologis kita. Sementara gambar kedua menawarkan sudut pandang ilmiah dari Neurotheology—menandai lokasi-lokasi otak yang terlibat dalam pengalaman spiritual, pengalaman menjelang kematian (Near-Death Experience), aktivasi ‘God Spot’, dan pelepasan ‘God Chemical’.

Makna dari dua gambar ini menjadi semakin penting jika kita melihat kenyataan hari ini: angka bunuh diri meningkat, korupsi menyebar seperti epidemi, krisis kepercayaan memburuk, dan banyak orang merasa hidup ini hampa, meskipun secara lahiriah tampak SUCCESS. Kenapa ini terjadi? Karena otak manusia bukan hanya tempat logika bekerja, tetapi juga tempat nilai-nilai spiritual berakar. Ketika nilai-nilai seperti kasih, kesabaran, doa, dan damai tidak dihidupkan, maka bagian spiritual otak kita perlahan mati secara fungsional.

Gambar pertama membawa kita pada kesadaran bahwa spiritualitas bukan sekadar urusan agama atau ibadah formal, tetapi lebih dalam lagi: ia adalah peta kesadaran manusia. Setiap nilai yang disebut—seperti "Teamwork," "Patience," "Peace," dan "Understanding"—adalah fondasi moral kehidupan sosial dan batiniah kita. Jika bagian-bagian ini tidak distimulasi oleh pengalaman yang bermakna, maka manusia mudah terjerumus pada kesepian, kecemasan, amarah, bahkan kekerasan.

Sebaliknya, gambar kedua memberikan validasi ilmiah bahwa pengalaman spiritual bukanlah ilusi, tetapi kenyataan neurobiologis. Ketika seseorang mengalami perasaan menyatu dengan Tuhan, atau mengalami kedamaian luar biasa saat nyaris mati, bagian otaknya menunjukkan aktivitas yang khas dan dapat diukur. Istilah seperti "The God Spot" merujuk pada area lobus parietal dan prefrontal yang aktif dalam pengalaman transendental. “The God Chemical," seperti serotonin, oksitosin, dan DMT (Dimethyltryptamine), adalah senyawa yang secara alami dihasilkan tubuh untuk menciptakan kondisi batin yang damai dan penuh makna.

Yang menarik, di antara kedua gambar ini terdapat benang merah yang sangat kuat: tanpa kesadaran spiritual, moralitas dan kesehatan mental ikut runtuh. Seseorang bisa rajin ke tempat ibadah, tapi tetap korup. Ia bisa hafal kitab suci, tapi tetap kejam terhadap sesama. Ini terjadi ketika spiritualitas hanya hidup dalam simbol, tapi mati dalam sistem kesadaran. Sebaliknya, ada orang yang sederhana, tanpa gelar religius, namun hidup penuh kasih, sabar, dan jujur. Otaknya, dalam perspektif neurotheology, telah terlatih untuk menyatu dengan nilai-nilai Ilahi, meskipun tanpa dogma.

Kita juga belajar dari gambar kedua bahwa pengalaman spiritual bisa dialami oleh siapa saja—terlepas dari agama atau latar budaya. Mereka yang mengalami Near-Death Experience seringkali menceritakan hal yang serupa: cahaya terang, kedamaian mendalam, perasaan dicintai tanpa syarat. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas adalah bahasa universal dari sistem kesadaran manusia, bukan monopoli satu sistem keimanan.

Kesehatan mental pun sangat ditentukan oleh seberapa aktif dan seimbang pusat spiritual otak kita. Ketika seseorang kehilangan rasa makna hidup, ia kehilangan aktivasi neurokimia yang membangun harapan dan kedamaian. Sebaliknya, ketika seseorang terbiasa berdoa dan berdialog secara tulus, memaafkan, bersyukur, dan merenungkan hidup, ia membangun jalur saraf baru yang membuatnya lebih tahan terhadap stres, lebih damai dalam tekanan, dan lebih kuat menghadapi kehilangan.

Oleh karena itu, gambar pertama bisa dipahami sebagai proyeksi ideal dari otak yang sehat secara spiritual. Ini adalah peta otak seorang manusia utuh: ia berkomunikasi dengan kasih, berpikir dengan pengertian, hidup dalam pengampunan, dan menyatu dengan Tuhan dalam doa dan perasaan bersyukur. Sedangkan gambar kedua adalah peta ilmiah dari fenomena spiritualitas yang diamati melalui neurosains—menjelaskan secara mekanistik bahwa memang manusia memiliki desain biologis untuk mengalami Tuhan.

Jika kedua pendekatan ini—yakni pendekatan simbolik-spiritual dan pendekatan ilmiah-neurobiologis—disatukan, maka kita memperoleh pemahaman yang utuh: bahwa iman bukan sekadar kumpulan ajaran atau doktrin, melainkan sebuah pengalaman saraf yang nyata; dan bahwa cinta, doa, serta kedamaian bukan hanya nilai-nilai etika abstrak, melainkan pola biologis yang terstruktur dalam sistem otak manusia. Temuan ini menegaskan bahwa kita tidak bisa lagi memisahkan perkembangan spiritual dari pendidikan, kesehatan mental, dan pembentukan karakter manusia modern.

Itulah sebabnya mengapa kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan emosional (EQ) harus menyatu dan saling melengkapi—karena hanya melalui integrasi ketiganya, manusia mampu berpikir tajam, merasa empatik, dan hidup dengan kesadaran transendental. Tanpa integrasi ini, maka kita hanya akan menghasilkan individu yang cerdas secara kognitif (intelektual), tetapi rapuh secara moral dan spiritual—yang pada akhirnya akan gagal membangun peradaban yang berkeadilan, berbelas kasih,  bermakna dan berdampak luas.

Dalam konteks ini, pemulihan masyarakat dari krisis moral dan eksistensial tidak cukup hanya melalui pendidikan agama normatif, tetapi harus dilengkapi dengan pendidikan kesadaran spiritual berbasis pengalaman batin dan refleksi personal. Kita harus melatih manusia untuk menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, bukan hanya di luar dirinya. Kita harus membangkitkan rasa kasih, sabar, syukur, dan pengampunan bukan hanya sebagai norma, tapi sebagai realitas kesadaran.

Akhirnya, kedua gambar otak ini bukan sekadar ilustrasi, tapi peta kesadaran kolektif umat manusia. Mereka menegaskan bahwa Tuhan bukan hanya hadir di langit, tapi dalam arsitektur kesadaran kita sendiri. Bahwa surga dan neraka bukan hanya soal nanti, tapi tentang apa yang aktif dan apa yang mati dalam pikiran kita hari ini. Jika kita merawat pusat spiritual ini—baik melalui ibadah, meditasi, dialog dan kontemplasi, atau cinta kasih sejati—maka kita bukan hanya menjadi manusia religius, tapi manusia utuh yang mampu membawa terang di dunia yang gelap.

Dan mungkin inilah panggilan zaman kita: bukan hanya menciptakan generasi cerdas dan berprestasi, tapi generasi sadar, yang mengalami Tuhan bukan karena diajarkan, tetapi karena dialami di dalam struktur terdalam kesadarannya. Sebab spiritualitas bukan sekadar pilihan gaya hidup, tetapi mekanisme sadar untuk menyelamatkan jiwa manusia dari kehancuran dirinya sendiri.

Salam SUCCESS 6K!

30.5.25

Era Baru Pendidikan Dasar 9 Tahun "gratis"

VOXRATEWATI.Com. By Siprianus Wara

               Foto insert: Www.Google.Com


Kebijakan dalam dunia pendidikan menjadi perhatian serius dari pemerintah. Dalam upaya pemerataan pendidikan bagi semua lapisan masyarakat dari waktu ke waktu terus digalakan agar mencapai amanat undang-undang yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Akhir Mei 2025 menjadi pemberitaan yang memicu pro dan kontra dari berbagai pihak dimana Mahkamah Kontitusi (MK) telah menetapkan terkait sebuah keputusan besar bahwa pendidikan dasar 9 tahun gratis.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). MK memvonis bahwa pendidikan dasar 9 tahun baik negeri maupun swasta, harus digratiskan. 

Merujuk situs Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Pendidikan Dasar yang dimaksud terdiri dari Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk pendidikan lain yang sederajat. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Gedung MK, Jakarta pada Selasa, 27 Mei 2025.  

Keputusan MK menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat cara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.” 

Menurut MK, frasa “tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas harus dimaknai sebagai kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar tanpa diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta, selama dalam kerangka wajib belajar.

Berita selengkapnya www.metrotvnews.com

24.5.25

Divisi Konseling Keluarga KAE Gelar Konseling Pastoral Praktis di Paroki Salib Suci Soa


Konseling Keluarga
Kenyataan Dan Harapan
Paroki Salib Suci Soa

Narasumber: 
Rm Dr. Nobert Labu Ketua Divisi Konseling Keluarga Keuskupan Agung Ende)
Rm. Benediktus Lalo Ketua Konseling Keluarga Kevikepan Bajawa
Tim Konseling Keluarga kevikepan. Bajawa

                               Foto kegiatan oleh panitia

Tim Konseling Keluarga Keuskupan Agung Ende bekerjasama Konseling Keluarga Kevikepan Bajawa melaksanakan kegiatan pendampingan konseling keluarga praktis bagi para pasangan suami istri  (pasutri) perwakilan dari ke 17 stasi di wilayah paroki Salib Suci Soa (PS3) pada 23-24 Mei 2025. Kegiatan ini dihadiri lebih dari 27 pasutri dalam upaya mengoptimalkan peran saksi nikah bagi pasutri muda di wilayah Paroki Salib Suci Soa.

Kegiatan ini diinisiasi oleh Pastor Paroki Salib Suci Soa Rm. Siprianus Wona dengan mengusung tema "Konseling Keluarga Antara Kenyataan dan Harapan".  Kegiatan ini sebagai tindak lanjut dan didasari atas hasil musyawarah pastoral ke VIII keuskupan Agung Ende sebagai bagian dari keberpihakan gereja lokal yang menitikberatkan perhatiannya bagi para pasutri muda, kaum muda serta anak-anak. Maka dari itu, sangat dipandang perlu bahwa para pasutri di Paroki Soa mendapatkan pendampingan dalam rangka mengoptimalkan peran saksi nikah dalam memposisikan dirinya sebagai pendamping yang membantu para pasutri muda pasca penerimaan sakramen perkawinan. 

Konseling keluarga keuskupan merupakan sebuah divisi yakni di bawah naungan komisi pastoral keluarga keuskupan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan komisi pastoral keluarga (paskel) yang terbentuk di paroki. Ini menyadarkan kembali para pasutri akan hakekat perkawinan Katolik yang dapat dipahami sebagai ikatan perjanjian antara seorang pria dan wanita untuk membangun kebersamaan hidup.

Sekali lagi dipahami bahwa perkawinan Katolik bercirikan unitas-kesatuan dan indissolubilitas (tak dapat  terceraikan) serta sakramental (band. Kan.1055 ayat 1; Kan. 1056). Selain kesatuan atau monogami dan sifat tak terceraikan maka perkawinan Katolik mengandung makna yakni sebuah perjanjian (feodus) yang merupakan unsur penting yang perlu mendapatkan perhatian. Gagasan ini merupakan gagasan biblis dan spiritual yang melukiskan relasi antara Yahwe dan Israel atau menurut St.Paulus, relasi antara Kristus dan gereja (Materi  oleh Rm. Norbertus Labu).

Perkawinan katolik merupakan ikatan cinta suami istri adalah seumur hidup dimana dalam perkawinan Katolik merupakan ekspresi dan simbol "kesetiaan Allah dan umat-Nya atau ikatan antara Kristus terhadap gereja-Nya. Oleh karena itu, perkawinan Katolik perlu dipahami secara mendalam yang merupakan perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita bukan persekutuan 2 pribadi (misalnya  pria dan pria atau wanita dan wanita atau sesama sejenis) dalam hal ini gereja Katolik sangat tidak mengakui ini. Lebih lanjut dalam Kanon 1055 ayat 1 menyebutkan ada 2 tujuan atau keterarahan pokok perkawinan katolik yaitu kesejahteraan suami dan istri dan juga keterbukaan pada kelahiran dan pendidikan anak. Kesejahteraan suami isteri (bonum coniugum) merupakan wujud dan buah dari cinta kasih suami istri dimana adanya kemauan dan kemampuan untuk hidup dan tinggal bersama yang layak dan perlu untuk mencapai tujuan perkawinan secara efektif. Selain itu, adanya kemampuan dan kemauan untuk mencakupi kebutuhan hidup pasangan Serta kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan dalam perkawinan dan keluarganya.

Dari landasan biblis di atas maka adanya kenyataan yang memprihatinkan dimana data tribunal Keuskupan Agung Ende (KAE) per 26 Mei 2020 memperlihatkan bahwa selama tahun 2015-2020 ada 70 kasus permohonan anulasi perkawinan atau pembatalan perkawinan belum terhitung data 5 tahun terakhir yakni keadaan tahun 2020-2025. Maka Uskup Agung Ende Mgr. Vincet Sensi (Alm) membentuk divisi konseling yang merupakan bagian dari komisi pastoral keluarga (paskel). Mula-mula dikembangkan oleh Romo Lukas dengan melakukan kegiatan sosialisasi bagi keluarga di paroki-paroki hingga saat ini diketuai oleh Rm.Dr. Norbertus Labu dan di kevikepan Bajawa konseling keluarga diketuai oleh Romo Beni Lalo.

Kenyataan lainnya di lapangan dan kemudian menjadi kesadaran bersama dalam sidang lintas dan MUSPAS VIII bahwa saksi nikah memiliki peran strategis dalam pendampingan keluarga pasca pernikahan. Peran ini sudah lama dikembangan di KAE dan hingga saat ini terus dilakukan optimalisasi agar perannya semakin kuat dan berkelanjutan. Hal ini disadari bahwa untuk menjadi saksi nikah tidak ada sekolah atau pelatihan khusus menjadi namun hanya keterpanggilan dan kepercayaan dari pasutri muda untuk menjadikan pasutri lain untuk mendampingi kehidupan keluarganya pasca penerimaan sakramen perkawinan.

Maka dari itu, pelatihan konseling keluarga merupakan cara untuk meningkatkan kapasitas para saksi nikah dalam menjalankan pastoral keluarga. Konseling pastoral keluarga  merupakan kegiatan pelayanan atau bimbingan yang diberikan oleh seorang konselor yang dapat membantu para pasutri untuk mendampingi para pasutri muda pasca menerima sakramen perkawinan. Semoga kegiatan pendampingan ini dapat memberikan kebermanfaatan bagi para saksi nikah di wilayah paroki Salib Soa sebingga kebidupan perkawinan keluarga-keluarga Katolik mencapai keharmonisan dan mewartakan kasih Kristus dalam setiap hidup dan karyanya.
 
Kegiatan bimbingan konseling keluarga praktis ini para peserta tidak hanya dibekali dengan gagasan-gagasan namun juga ada sesi melakukan praktik menggali permasalahan yang terjadi dan bagaimana mencari solusi dengan berbagai teknik. Beberapa teknik diperkenalkan dan disesuaikan dengan kebutuhan pasutri dalam mendampingi pasutri muda. Selain itu, para peserta diberikan kesempatan untuk melakukan simulasi dimana para saksi nikah sebagai konselor dan pasutri muda sebagai konseli hal ini bertujuan agar para pasutri bisa saling belajar satu sama lain sebagai saksi nikah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bersama pasutri dampingannya mulai dari mendefenisikan permasalahan, mencari tahu akar permasalahan serta solusi yang ditempuh dan juga bagaimana menghadapi kendala-kendala pasca upaya penyelesaian masalah. Selamat mmenjalani tugas perutusan para konselor terlatih para pasutri wilayah Paroki Salib Suci Soa***

Oleh Sipri Wara

19.1.25

Astera 2C# "Melangkah Dengan Pasti"

VOXRATEWATI.Com. By Siprianus Wara


                    Foto insert: koleksi pribadi

Kegiatan "me time" bagi setiap pribadi dewasa ini sangatlah urgen untuk kebutuhan manajemen diri dalam tumbuh kembang kepribadian ke arah yang lebih baik. Hal ini tidak saja bagi kaum muda, pelajar atau mahasiswa namun juga bagi orang dewasa atau siapa saja dengan berbagai latar belakang profesi untuk memberi waktu baginya untuk menemukenali dirinya baik relasinya dengan diri, sosial atau relasi dengan Sang Pencipta. Momen "me time" yang umum dikenal yaitu kegiatan retret.

Sekedar untuk diingat kata retret berasal dari bahasa Perancis "la retraire", bahasa Inggris dari kata "retreat" dan bahasa Latin "retirare" serta dalam bahasa Indonesia kata retret yang berarti mundur, menyendiri, menyepi dari setiap kesibukan atau rutinitas diri untuk mencapai ketenangan batin baik secara individu atau kelompok (Dari berbagai sumber).

Dalam perkembangannya dewasa ini, kegiatan retret tidak hanya berkaitan dengan kegiatan rohani namun sebagai momen yang dimanfaatkan oleh setiap individu atau kelompok untuk relaksasi dan pemulihan diri agar seseorang lebih memaknai keberadaan diri dan masa depan serta bagaimana peran dirinya di tengah kehidupan sosial lainnya.

Dalam konteks retret bagi para pelajar biasa dilakukan pada penghujung masa formasi pada satu jenjang pendidikan yakni di kelas 6, 9 atau kelas 12. Maka pada tanggal 14 -22 Januari 2025, para siswa kelas 12 SMAS Regina Pacis Bajawa angkatan Astera 43 " Per aspera ad astra, mencapai bintang melalui perjuangan,. Sebanyak 373 siswa kelas 12 dibagi dalam 4 gelombang mengadakan kegiatan retret di rumah doa di komunitas biara Carmel St. Yoseph OCD Bogenga Bajawa. Tema  kegiatan retret kali ini "Melangkah dengan Pasti". Para siswa diberi waktu untuk melihat kedalaman dirinya untuk menata hidup ke jenjang pendidikan selanjutnya dan juga memantapkan cita-cita hidupnya masing-masing.

Kegiatan siswa meliputi perayaan ekaristi, doa dan refleksi dari berbagai perikop dalam injil agar menghayati secara mendalam tentang diri, kehidupan pribadi serta masa depannya.  Melalui sesi berbagi terkait pengalaman hidup sebagai siswa sejak awal masuk SMA Regina Pacis Bajawa hingga saat ini. SMA Regina merupakan s lembaga pendidikan Katolik di wilayah keuskupan Agung Ende dimana para siswa merefleksikan kisahnya dalam sharing di penghujung masa formasi di kelas 12 ini. Kegiatan retret dilaksanakan selama 3 hari 2 malam. Berbagai kegiatan pendanpingan dijalani  para siswa dengan penuh antusias dan bermakna dengan silentium magnum pada setiap akhir sesi sehingga para siswa mampu menggali dan memperkuat potensi dirinya melalui berbagai kegiatan baik secara individu maupun kelompok. Setiap sesi kegiatan dipandu oleh Para Imam dan frater OCD, serta Bapak/Ibu guru wali kelas sebagai pendamping baik kegiatan indoor maupun outdoor.  

Semua kegiatan ini dalam upaya pengembangan nilai-nilai diri siswa secara universal dan penguatan karakter para meliputi 5 nilai  utama komunitas SMAS Regina Pacis Bajawa yakni jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, kerja sama dengan visi "Mewujudkan komunitas bemutu dan humanis dalam pelayanan" sehingga nilai-nilai ini menjadi spirit dan fondasi dalam menggapai cita-citanya.

Selamat berproses dalam masa formasi  melalui kegiatan retret, demi mencapai transformasi diri agar menjadi lulusan yang berkompeten, berkarakter, serta berwawasan global dan mampu berdaya guna baik bagi diri dan orang lain serta menjadi pribadi yang mandiri dan dapat mewujudkan pemimpin yang integral holistik di masa mendatang.***



25.10.24

"Nggua Mbera Tana Siga Rembu" Tugasoki Ratewati

VOXRATEWATI.Com. By Wara Cypriano


Tampak para Mosa laki sedang duduk di pelataran "Kuwu"
Foto Insert: Akun FB @Anton Kirie
           

  Gambaran Singkat Ritual Adat 
  "Nggua Mbera"

"Nggua Mbera" merupakan frasa dalam bahasa  Lio. Etnis Lio merupakan salah satu dari dua etnis di kabupaten Ende yakni etnis Lio dan etnis Ende. Frasa "Nggua Mbera" terdiri dari dua kata berbeda yakni kata "Nggua" artinya pesta atau upacara dan "Mbera" artinya  bagian dari bulir padi. Upacara "Nggua Mbera" dimaknai sebagai upacara syukur panen dalam siklus kebidupan masyarakat adat suku Lio yaitu aktivitas bertani dan beternak.  Tradisi ini telah dijalankan dan diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat suku Lio. Dari suku Lio ada sebuah wilayah yang memiliki tanah persekutuannya sendiri yaitu persekutuan adat "tana Siga Rembu". Tanah persekutuan ini mendiami pulau Flores bagian tengah tepatnya di desa Ekoae, dusun Tugasoki, kecamatan Wewaria Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur.

Salah satu ritual adat pada tanah persekutuan "Siga Rembu" yaitu ritual "Nggua Mbera". Ritual "Nggua Mbera" merupakan ritual adat yang erat kaitannya dengan kalender adat dimana kehidupan masyarakat yang bertani dan beternak sebagai mata pencharian hidup pada tanah ulayatnya. Para penggarap mempersembahkan semua hasil karjanya bersama seluruh masyarakat adat. Sebagai ritual tahunan, maka upacara adat "Nggua Mbera"  juga sebagai simbol kefanaan manusia dihadapan Sang Pencipta dan dalam relasi dengan sesamanya. Ritual ini kaya akan makna meliputi makna religius dalam relasi denga Tuhan, makna sosial dalam kaitan kehidupan sosialnya, nilai magis karena diyakini bahwa semua ciptaan Tuhan memiliki roh atau ada mahkluk lain selain manusia. Semua mahkluk ciptaan pada akhirnya membangun sebuah kehidupan yang harmonis baik relasi manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya dan juga dengan lingkungan sekitarnya. 

Maka dari gambaran di atas bahwa ritual "Nggua Mbera" dilaksanakan oleh masyarakat adat "Tana Siga Watu Rembu"  yaitu nama salah satu tanah persekutuan adat di wilayah Lio. Masyarakat adat setempat memaknainya sebagai upacara syukur panen (thanksgiving day)  dimana segala berkat dan hasil panen selama setahun harus dipersembahan kepada "Ngga'e" atau Tuhan dan juga "Du'a Bapu Ata Mata" yaitu arwah para leluhur.  Syukur panenan dari ladang; baik padi, jagung, kacang-kacangan serta umbi-umbian yang merupakan hasil kerja masyarakat adat semuanya diupacarakan sebagai sumber pangan bagi masyarakat.  Dalam ritual adat "Nggua Mbera" juga ada ritual lain yang di dalamnya disebut "Kebho Jawa atau Mi Jawa". "Jawa" adalah jagung dalam bahsa setempat. Upacara ini dilaksanakan sebelum acara "Nggua Mbera" yang bertujuan agar beras dan jagung bisa dimasak bersama. Jika belum diupacarakan maka hanya dimasak terpisah atau tidak bisa dicampur. Artinya padi dan jagung merupakan pangan utama yang menjadi bahan makanan untuk kelangsungan hidup bagi masyarakat setempat. Padi dan jagung hasil panen yang belum digiling atau ditumbuk tidak diperbolehkan untuk bibawa masuk ke rumah adat atau di sekitar pelataran rumah adat. Jika ada orang yang kedapatan membawa padi masuk ke kampung adat baik sengaja atau tidak sengaja maka ini namanya "sage" artinya ada hal yang salah dan perlu upacara pemulihan. Waega yang mengalami "Sage" dikenai denda adat berupa "wawi sa eko" atau satu ekor babi yang disembelih pada saat "Nggua Mbera".

Ritual "Nggua Mbera"  juga menjadi tanda bahwa masa panenan telah usai dan semua masyarakat adat "Fai Walu Ana Kalo" wajib memberikan sesajen kepada arwah nenek moyangnya. Masyarakat adat mempercayai bahwa adanya Sang Pencipta disebut (Du'a gheta lulu wula, Ngga'e ghale wena tana) yaitu Allah yang bertahta di atas langit yang tinggi, dan kakinya berpijak pada bumi terdalam.  Maka atas keluhuran kasih-Nya bagi kesejahteraan hidup manusia. Persembahan para penggarap diupacarakan oleh para mosa laki. Hal ini dipandang sebagai momen untuk memberikan sesajen dan memohon berkat dari para arwah leluhur atau "Ata Dua Bapu, ata mata, nitu pa'i" atau semua arwah para leluhur, roh halus dan jahat yang mendiami seluruh wilayah tanah persekutuan "Siga Tanah Eo Ria,Rembu Watu Eo Bewa" atau lebih dikenal tanah persekutuan "Tana Siga,Watu Rembu Ratewati"

Dalam ritual "Nggua Mbera" adapun kewajiban para "Fai Walu Ana Kalo" atau masyarakat adat baik para pemangku adat, para generasi "tana Siga" dan juga para penggarap dari luar wilayah tanah persekutuan yang datang menetap dan menggarap lahan. Semua memiliki kewajiban untuk memberikan upeti kepada para leluhur melalui para  tetua adat atau "mosa laki" yang terdiri dari "Mosa Laki eko, Mosa Laki weri, Mosa Laki ria bewa,Mosa Laki boge lo'o geto gene" artinya "Laki Eko tau wenggo, laki weri tau ka, laki ria bewa tau timba tato"  sebagai pemangku adat atau pihak yang menjalani ritual adat. Upeti dari "Fai walu ana kalo" berupa "Moke Boti Are Wati,Manu Eko" yaitu Arak (minuman tradisional), beras, ayam yang dijadikan bahan makanan baik digunakan untuk sesajen dan juga untuk upacara pesta adat atau makan bersama atau "Ka Are Mbera".

Pada saat upacara "Ka Are Mbera" ada beberapa tahapan yang dibahas juga pada artikel lain di blog ini. Salah satu tahapannya adalah "Lo Are Mbera". Ini merupakan ritual pada malam "Ka Are Mbera". Adapun bahan makanan yang harus disiapkan yakni "Are mami, uta kura, uta keba" yaitu nasi, udang, belut yang diberi santan.  Juga disiapkan arak atau "moke" sebagai bahan sesajen dan juga bahan makanan yang dimakan di pelataran rumah adat atau "Kuwu". Pada saat makan bersama adapun pihak yang hadir yakni para "mosa laki" dan juga "Fai Walu Ana Kalo". Hadir pula para penggarap dan para undangan lainnya "Aji ji'e ka'e pawe" yaitu para sahabat kenalan dan juga para tetua adat dari wilayah tanah persekutuan lain, para tokoh agama, juga pihak pemerintah Desa, serta pemerintah kecamatan.

Pada saat makan bersama "Ka Are Mbera" pihak yang diperbolehkan adalah laki-laki dimulai dari remaja hingga dewasa sedangkan anak-anak yang laki-laki belum bisa dilibatkan. Hal ini erat kaitannya dengan sistem perwakinan yang dianut adalah patrilineal. Sedangkan kaum wanita atau para ibu hanya menyiapkan sesajen di rumah adatnya masing-masing yang berasal dari 7 klan atau "Embu Lima Rua". Pada saat makan bersama perlu diperhatikan pantangannya yaitu tidak diperbolehkan untuk batuk, kesedak, atau kentut. Posisi duduk harus bersilat kaki dan tidak mondar mandir. Semua laki-laki yang terlibat wajib mengenakan pakaian adat yakni "ragi mite". Bahan makanan harus disimpan dalam wadah berupa "pane" yakni menyerupai mangkok yang terbuat dari tanah liat serta tidak menggunakan sendok saat makan.

Upacara "Ka Are Mbera" dilanjutkan dengan ritus lainnya yakni "Ghia Mbera".  Ini merupakan sebuah nyanyian adat dalam bahasa Lio yang dipimpin oleh seorang tokoh "Ata Du'a Nua". Tokoh ini telah diwariskan sejak dahulu yang bertugas untuk memimpin nyanyian adat tersebut. Upacara ini pertanda kegiatan tarian adat segera dimulai sebagai bagian dari pesta adat yakni dengan menari "Gawi" atau tandak bersama. "Ghia Mbera" mengisahkan tentang petuah leluhur dan tahapan upacara adat "Ka Mbera" serta susunan keturunan sejak bumi dijadikan hingga saat ini. Orang yang memimpin upacara adat ini bukanlah seorang "mosa laki" tetapi disebut "Ata sodha susu" artinya orang yang dipercayakan untuk memimpin nyayian adat yang diwariskan sejak dulu. "Ata sodha" merupakan seorang "Ata Du'a Nua" atau seorang tokoh kampung. Maka dalam hirarki mosalaki maka tidak ada "laki sodha susu". Orang yang bisa menerima warisan ini adalah para keturunan dari tokoh sebelumnya dan hal ini dilestarikan hingga sekarang.

Setelah upacara "Ghia Mbera" maka dilanjutkan dengan "Gawi Bebu" yaitu sebuah tarian masal atau tandak bersama dari tradisi etnis Lio. Semua yang hadir bisa mengambil bagian baik laki-laki maupun perempuan. "Gawi" biasanya diiringi dengan nyanyian adat yang dipimpin oleh "Ata Sodha" atau orang yang bisa memimpin nyanyian adat. Pada bagian ini  "Ata Sodha" bisa dimpimpin oleh siapa saja baik yang berasal dari 7 klan atau berasal dari masyarakat adat tanah persekutuan yang lain. Berbeda dengan ritual "Ghia Mbera" yaitu "Ata Sodha" harus orang yang memiliki wewenang karena tidak semua orang bisa melakukannya ini. Pada acara gawi" biasanya disertakan dengan menari "wanda pa'u" atau tarian perorangan atau kelompok dengan mengenakan slempang dari tenunan tradisional dengan berbagai motif disebut "peru". Pada saat tarian "gawi" para laki-laki wajib mengenakan sarung motif atau "Ragi Mite" dan bagi perempuan wajib mengenakan "lawo lambu" yaitu pakaian tradisional suku Lio bagi perempuan. Biasanya yang laki-laki diberi minuman tradisional "moke" untuk menambah semangat agar tarian "Gawi" lebih meriah. Kegiatan "Gawi" bersama dilakukan hingga subuh bahkan hingga siang harinya.

Keesokan harinya, adapun upacara lanjutannya dimana para mosalaki melakukan rapat bersama yang dihadiri oleh para tetua kampung, pihak pemerintah, tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh pemuda  di balai pertemuan mosalaki atau "kuwu". Pada pertemuan adapun agenda yang akan dibicarakan yakni mengenai hal-hal terkait persoalan atau rencana untuk upacara tahun depan.  Atau hal lain berkaitan dengan perbaikan rumah adat. Pada momen ini, para mosalaki biasanya melakukan "bo bela" atau pesan adat yang disampaikan oleh kepala suku atau "mosa laki pu'u" serta penentuan upacara tahunan lainnya salah satunya yaitu "Ka are po'o". Upacara ini biasanya dilaksanakan satu minggu setelah upacara "Nggua Mbera". Upacara "Ka Are Po'o" atau nasi yang dimasak dalam bambu merupakan sebuah ritual untuk mengawali musim tanam pada tahun yang akan datang. Hal ini pertanda agar para penggarap yang telah menyiapkan lahan garapannya untuk segera ditanami padi dan jagung. Upacara ini dimaknai "sewu petu pera bera" artinya hawa bara api yang panas harus dipadamkan, dan panas terik matahari akan diturunkan hujan oleh Allah dan leluhur. Dengan demikian tanaman padi dan jagung dapat tumbuh subur dan hasil panenan melimpah. Upacara ini juga sebagai simbol kesuburan bagi segala jenis tanaman yang ada di ladang garapan. Baca juga artikel ini; https://waracyprianoratewati.blogspot.com/2022/11/ritual-poo-bagi-masyarakat-adat-siga.html

Upacara "Nggua Mbera" diakhiri dengan acara makan bersama atau "Ka Nggera". Ini merupakan acara penutup dari semua rangkaian adat "Ka Are Mbera". 

Demikian gambaran singkat terkait upacara "Nggua Mbera" pada masyarakat adat tanah persekutuan "Siga Rembu" di kampung adat Tugasoki-Ekoae, kecamatan Wewaria Kabupaten Ende,Nusa Tenggara Timur. Mohon maaf jika artikel ini belum sempurnah atau ada kekeliruan dalam penjelasannya bisa memberikan catatan sebagai upaya perbaikan narasinya. Semoga bermanfaat khususnya bagi para generasi  "ana mamo Siga Rembu Ratewati***

Noted: Momen Nggua Ria. Ka Are Mbera Nua Tugasoki-Ratewati-Ekoae Ende
18 Oktober 2024








14.9.24

Sekolah Tinggi Flores Bajawa Menyambut Lustrum

VOXRATEWATI.Com. By Wara Cypriano

Sekolah Tinggi Flores Bajawa Menyambut Lustrum


       Foto Insert Fb Bapak Nikolaus Noy Wuli


Perjalanan panjang pendirian Sekolah Tinggi Flores Bajawa (FB) dengan  SK pendirian Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Mendikbud yaitu No. 517/m/2020 tentang Izin Pendirian STIPER-FB. Pada 6 September 2024 mengawali tahun Akademik 2024/2025 sekaligus bersyukur pencapaian di usia ke 5 dengan 5 program studi; Prodi peternakan, Pertanian, Agroteknologi, Biologi Terapan serta Nutrisi Pakan Ternak melalui perayaan Ekaristi oleh Romo Idrus (Vikep Bajawa) selaku imam konselebran utama

Membuka sambutan Ketua Sekolah Tinggi Pertanian Flores Bajawa, Dr. Nikolaus Noy Wuli memberikan gambaran terkait perjalanan panjang STIPER-FB yang berawal dari kolaborasi partisipatif berbagai pihak baik Gereja,Pemerintah dan DPRD Kabupaten Ngada serta masyarakat dan para intelektual yang tergabung dalam pemerhati dan praktisi pendidikan kabupaten Ngada diantaranya almarhum Bapak Rinu Romanus, S.Ag, Romo Silverius Betu S.Fil.,M.Han selaku Ketua Yayasan dan para tokoh lainnya. Kehadiran STIPER Flores Bajawa menciptakan generasi unggul di bidang pertanian, dan peternakan.

Selanjutnya Romo Sil Betu selaku ketua Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada (Yasukda) menegaskan lahirnya STIPER-FB berawal dari sebuah keterbatasan dan para civitas akademika berjuang dan sekali-kali janganlah melupakan sejarah panjang ini.

Di lain pihak, kehadiran STIPER-FB merupakan wujud kolaborasi partisipatif Gereja dan pemerintah daerah kabupaten Ngada guna mendukung peningkatan Indeks Pembangunan Manusia kabupaten Ngada tahun 2023 menduduki urutan 3 setelah Kota Kupang dan Kabupaten Ende, tegas Romi Juji selaku ketua (sementara) DPRD Kab.Ngada.

Selanjutlah Romo Idrus selaku Romo Vikep kevikepan Bajawa menuturkan bahwa keuskupan Agung Ende memiliki peran dalam hal ini melalui kevikepan Bajawa turut mendukung dalam setiap perjalanan STIPER-FB sebagai  lembaga pendidikan milik umat. Marilah kita bersama-sama membesarkan lembaga ini sebagai buah dari perjuangan Almarhum Bapak Uskup kita (+) Mgr. Vinsensius Sensi Poto Kota,Pr sehingga kehadirannya berdaya guna pagi pembangunan manusia Ngada di masa mendatang.







1.6.24

Pancasila Jiwa Pemersatu Bangsa Menuju Indonesia Emas Tahun 2045"

VOXRATEWATI.Com. By Wara Cypriano

"Pancasila Jiwa Pemersatu Bangsa Menuju Indonesia Emas Tahun 2045"



Foto: Para siawa Recis bersama Bupati Ngada
          Bapak Andreas Paru,SH.,MH

Upacara bendera dalam memperingati hari lahir pancasila pada 1 Juni 2024 tingkat kabupaten Ngada berjalan meriah dan kidmat. Bupati Ngada, Andreas Paru,SH.MH selaku inspektur upacara. Hadir segenap perangkat daerah dan forkopimda dan segenap ASN serta para pelajar. Upacara dilaksanakan di lapangan Kartini Bajawa. 

Bapak Andreas Paru dalam aambutannya menekankan bahwa pancasila sebagai ideologi bangsa menjadi filosofi kehidupan bangsa. Pengamalan nilai-nilai pancasila pada era globalisasi menghadapi tantangan yang sangat besar. Peringatan hari lahir pancasila menjadi momentum untuk merefleksikan perjalanan bangsa ini menuju Indonesia emas pada tahun 2024.

Para generasi muda dalam hal ini para siswa SMAS Regina Pacis Bajawa melalui pasukan marching band, terompet dan paduan suara turut mengambil bagian dalam upacara bendera. Para siswa ditegaskan agar menjadi generasi tangguh dan siap untuk menghadapi arus globalisasi dan teknologi yang membawa perubahan dan peluang hidup yang lebih sejahtera.

Ideologi pancasila menjadi pilar utama bagi setiap generasi bangsa ini terutama generasi Z sebagai tonggak perjalanan bangsa inj menuju Indonesia maju dan berintgritas menjadi bangsa unggul di kancah dunia. Generasi Indonesia adalah generasi yang penuh dinamika dan harus mampu menghadapi setiap tantangan demi mewujudkan  cita-cita hidupnya agar bangsa menjadi tangguh dan kokoh.

Dalam memaknai  hari lahir pancasila hendaklah para generasi muda mampu menghayati dan menjalani perannya sebagai generasi bangsa yang cerdas, luhur serta berdaya saing secara global.

Marilah sebagai generasi muda untuk terus melestarikan setiap nilai-nilai kebajikan yang terkandung dalam pancasila sebagai landasan kehidupan bangsa dan bernegara.

Selamat Merayakan Hari Lahir Pancasila  1 Juni 2024. 









27.12.23

"Life Starts At Forty"

VOXRATEWATI.Com. By Wara Cypriano

Foto insert: Koleksi Pribadi
  

"Life Begins At Forty" oleh Walter B. Pitkin dalam bukunya Self-help. Ungkapan tua ini menggambarkan bahwa kehidupan sesungguhnya dimulai pada usia 40 tahun. Dalam nada syukur dan harapan melalui perayaan natal tahun 2023 tentu hidup ini merupakan sebuah perjalanan. Hari ini, 26 Desember 2023 bersamaan dengan pesta St. Stefanus menyadarkan saya bahwa hidup harus dimaknai sebagai perjuangan dan perziarahan. Dalam momen penuh berkat sesunghuhnya hidup yang tengah dijalani memiliki beraneka warna hidup dimana ada suka, ada duka, ada juga putus asa namun juga ada harapan. Amatlah tepat ada ungkapan manusia adalah mahkluk peziarah (Homo Viator).

Bagi saya sebagai pribadi peziarah tentu mengalami jatuh bangun dalam hidup baik kehidupan keluarga, di lingkungan kerja (sekolah) kehidupan beragama dan bermasyarakat. Ada begitu banyak kisah hidup yang tak dapat dikisahkan namun semuanya dapar menjadi pembelajaran yang harus dijalani dalam hidup baik secara pribadi maupun dalam keluarga serta komunitas. Perziarahan hidup akan bermakna jika mampu melewati setiap  tantangan bukan sebaliknya atau menjauh dari kenyataan atau getirnya hidup.

Momen mengenang hari kelahiran yang selalu dialami di penghujung tahun ini dapat saya jadikan sebagai momentum untuk merefleksikan perziarahan hidup yang tengah saya jalani. Banyak orang memandang bahwa usia hanyalah angka belaka namun hal ini menjadi dorongan agar bisa berkomitmen untuk menjadi baik dan bijak. Usia bertambah merupakan kodrat yang harus dijalani namun kebajikan dan kebaikan adalah sebuah pilihan. Maka hidup selain sebuah perziarahan namun juga sebagai pilihan.***


25.9.23

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1.a.8 PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN OLEH SIPRIANUS WARA, M.Pd CGP A8 SMAS REGINA PACIS BAJAWA


KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1.a.8 
PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN
OLEH SIPRIANUS WARA, M.Pd CGP A8
SMAS REGINA PACIS BAJAWA

Dalam proses pembelajaran Modul 3.1 berkaitan dengan Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai Kebajikan Bagi Seorang Pemimpin Pembelajaran mengelaborasi dari 10 pertanyaan penuntun yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam merumuskan relevansi antar modul yang satu dengan modul yang lainnya dalam bentuk sistesi sehingga menjadi sebuah artikel yang padu dan utuh. 

Bagian Pertama,memepertegas pandangan Ki Hadjar Dewantara dengan filosofi pendidikan yang di kenal dengan Pratap Triloka; Ing Ngarsa Sung tulada, Ing Madya Mangukarsa, Tutu Wuri Handayani bahwa sesungguhnya seorang pemimpin pembelajaran harus menganut Triloka ini di mana di depan memberikan teladan, di tengah memberikan motivasi dan di belakang memberikan dukungan sehingga terwujudnya tujuan pendidikan yang berpihak pada murid. Pendidikan adalah sebuah tuntunan di mana murid tumbuh dengan segala potensi dirinya yang telah memiliki garis-garis samar sehingga guru sebagai pendidik menebalkan garis samar tersebut sesuai dengan kodrat murid baik kodrat alam dan juga kodrat zaman. Dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran hendaknya pembelajaran yang memenuhi kebutuhan belajar murid yang berbasis pada nilai-nilai kebajikan universal. Oleh karena itu keputusan yang diambil harus dilandasi atas kesadaran penuh dari seorang pemimpin pembelajaran sungguh memerdekakan murid sebagai pribadi yang merdeka dan bertanggungjawab atas diri dan masa depannya. 

Bagian kedua, Setiap nilai yang ada dalam setiap pribadi  guru sebagai pemimpin pembelajaran sangat berpengaruh pada prinsip-prinsip pada setiap keputusan yang kita ambil. Pada dasarnya adalah setiap keputusan yang diambil sebagai seorang pemimpim pembelajaran tentu didasari pada keberpihakan pada murid. Keputusan yang diambil harus senantiasa mempertimbangkan prinsip dan nilai kebajikan universal. Guru sebagai pemimpin pembelajaran sangat berperan dan berdampak pada setiap keputusan yang diambilnya. Maka dari itu nilai dan prinsip yang dianut oleh seorang pemimpin pembelajaran sangat berpengaruh pada setiap keputusan yang diambilnya. Seorang pemimpin pembelajaran hendaknya selalu kreatif, inovatif dan mendorong terciptanya budaya posited daalam dirinya shingga setiap keputusan yang diambil sungguh berpihak pada murid dan lingkungan belajarnya. . Nilai-nilai tersebut merupakan prinsip yang dipegang teguh ketika kita berada dalam posisi yang menuntut kita untuk mengambil keputusan dari dua pilihan yang secara logika dan rasa keduanya benar, berada situasi dilema etika (benar vs benar) atau berada dalam dua pilihan antara benar melawan salah (bujukan moral) yang menuntut kita berpikir secara seksama untuk mengambil keputusan yang benar.

Bagian ketiga, Kegiatan terbimbing yang dilakukan dalam kaitannya dengan modul coaching dan pengambilan keputusan berbasis nilai seorang pemimpin pembelajaran baik berkaitan dengan pendamping pengajar praktik dan juga fasilitator dalam berproses dalam memahami modul dan bagaiman dapat menguji setiap keputusan yang diambil. Pengambilan keputusan yang telah dibuat dapat dianggap efektif atau kerap kali masih ada pertanyaan dalam diri namun hal ini dapat dialami dalam kegiatan coaching pada modul 2.3 berkaitan dengan praktif coaching. Pendasaran coaching merupakan keterampilan untuk memaksimalkan potensi seorang coachee dan searang coach tentu memiliki kreativitas agar tujuan yang akan dicapai dalam kegiatan coaching dapat tercapai. Proses coaching yang dilakukan mengikuti tahapan alur TIRTA yakni menetapkan Tujuan, Indentifikasi, Rencana Aksi, Tanggungjawab. Alur TIRTA sangat relevan dengan 9 langkah pengambilan keputusan karena di dalamnya berkaitan dengan pengambilan keputusan dan menguji keputusan yang telah diambil. Dalam kegiatan pendampingan bersama Pendamping Praktik dan juga Fasilitator mendorong saya untuk melakukan praktik pengambilan keputusan dalam menghadapi persoalan dalam pembelajaran dan juga dalam persoalan yang dialami dalam komunitas. Alur TIRTA dikenal juga dengan GROW dimana Goal, (tujuan) merupakan hal yang ingin dicapai oleh coachee, Reality (hal-hal nyata) merupakan hal yang dapat dilakukan dengan menggali segala yang dimiliki oleh coachee. option,(pilihan) merupakan coachee bisa memilih hal-hal yang dapat dijadikanpedoman dalam kaitan rencana aksi. Will (keinginan untuk maju) merupakan komitmen coachee untuk menjalankan rencana aksinya.

Bagian keempat, berkaitan dengan kesadaran akan keadaan sosial emosionalnya yang sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Maka proses coaching dan pengambilan keputusan sangat erat kaitannya dengan kompetensi pembelajaran sosial emosional (PSE) seorang pemimpin pembelajaran.Seorang pemimpin pembelajaran senantiasa memahami dan dapat menggali peotensi yang dimiliki oleh setiap murid. Maka dari itu kompetensi sosial dan emosional sangat berperan dalam pengambilan keputusan baik dalam kaitannya dengan pembelajaran di kelas atau kegiatan pembinaan lainnya di luar kelas. 

Bagian kelima, berkaitan dengan pembahasan studi kasus yang berkaitan dengan masalah dilemma etika atau bujukan moral yang dilandasi pada setiap nilai yang kita anut dalam pengambilan keputusan.  Dalam menghadapi berbagai persoalan atau kasus yang dihadapi baik berkaitan dengan dilemma etika dan bujukan moral maka sebagai pemimpin pembelajaran harus mampu memaknai dan mampu menganalisis setiap persoalan yang dihadapi.  Maka dari itu setiap keputusan sangatlah berpengaruhi oleh kompetensi sosial dan emosional yang dimilikinya.  Dalam kaitannya dengan nilai-nilai dan peran seorang guru penggerak tentu memampukan guru sebagai seorang pemimpin pembelajaran untuk mengambil keputusan yang bertanggungjawab dan sunggh berpihak pada murid. 

Bagian keenam, terkait pengambilan keputusan yang tepat terkait dengan keputusan yang berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman. Tentu dalam pengambilan keputusan sangat mempertimbangkan 9 langkah pengambilan keputusan dan tentu mempertimbangkan 4 paradigma dan 3 prinsip pengambilan keputusan. Dengan demikian segala keputusan berpihak pada lingkungan yang dapat bertumbuh kea rah positif, kondusif, aman dan nyaman. Sehingga terciptalah lingkungan yang positif dan bertanggungjawab. 

Bagian ketujuh, kesulitan atau tantangan di lingkungan dimana saya menjalani tugas dan peran sebagai pemimpin pembelajaran terkait pengambilan keputusan dalam kasus dilemma etika, dan apakan ini berkaitan dengan perubahan paradigm di lingungan atau komunitas saya? Bagi saya sebagai pemimpin pembelajaran tentu segala persoalan sering ditemui dan ini membutuhkan komitmen dan gerakan bersama agar segala keputusan yang diambil berlandaskan pada prinsip keberpihakan pada murid. Dalam kaitannya perubahan paradigm tentu harus memiliki perluasan lingkungan pengaruh agar dalam menjalani keputusan bersama dapat dilaksanakan secara komitmen dan berkelanjutan. 

Bagian depalan, pengaruh pengambilan keputusan yang diambil dengan kaitannya dengan memerdekakan murid – murid sungguh sangat dialami. Dalam praktiknya bahwa setiap keputusan sesungguhnya agar berpihak pada murid dan meminimalisir keputusan yang kurang berpihak pada murid sehingga filosofi pendidikan, proses coaching serta pengambilan keputusan yang berbasis pada murid sunggug dialami oleh murid dan lingkungannya dengan demikian budaya positif dapat terwujud.

Bagian kesembilan, seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid. Guru sebagai pemimpin pembelajaran memiliki peran sentral atas segala keputusan yang diambilnya. Setiap keputusan yang diambil harus didasari atas nilai kebajikan universal sebagai seorang pemimpin pembelajaran. Guru harus mampu menumbuhkan motivasi internal dalam diri siswa agar dengan merdeka dan bertanggungjawab untuk belajar demi diri dan masa depannya. Maka sebagai pemimpin pembelajaran harus mampu menerapkan pembelajaran berdiferensiasi agar kebutuhan belajar murid sungguh dapat terpenuhi baik konten, proses serta produk. 

Bagian kesepuluh berkaitan dengan  rumusan kesimpulan yang dapat dirumuskan berkaitan dengan uraian di atas.  Filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara sebagai pendidikan yang menuntun kemerdekaan belajar murid agar dapat mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidupnya. Murid adalah pribadi yang memiliki potensi dan sebagai agen perubahan. Pola pendidikan yang dijalani harus sungguh sesuai kodrat alam dan kodrat zamannya.  Guru seorang pemimpin pembelajaran harus memiliki komitmen dan peran yang kuat sesuai dengan nilai dan perannya sebagai guru. Dalam pengambilan keputusan seorang guru harus mampu melakukan praktik coaching dan memiliki kesadaran penuh dengan segala kematangan dan kompetensi sosial dan emosional sehingga keputusan yang diambil sungguh berpihak pada murid.  Dalam pengambilan keputusan harus berlandaskan pada 4 paradigma dan 3 prinsip serta 9 langkah pengambilan keputusan. Oleh karena itu segala keputusan yang dijalankan oleh seorang guru sebagai pengambilan keputusan harus didasarkan pada kebajikan universal sebagai landasan sebagai seorang pemimpin dalam mengambil keputusan yang bertanggungjawab dan sungguh berpihak pada murid. 

.

14.8.23

Rekoleksi Bagi Para Guru Pegawai Paguyuban Regina Pacis Bajawa

VOXRATEWATI.Com. By Wara Cypriano

"Ya Bunda,Padamu Kucari Perlindungan"
Tema kegiatan rekoleksi bagi para suster FMM, Bapak/Ibu guru dan pegawai dari Tingkat TKK, SD, SMP, SMA Regina Pacis Bajawa di bawah naungan Bunda Maria Regina Pacis melaksanakan kegitan rekoleksi menyongsong Pesta pelindung sekolah yakni Bunda Maria Ratu Damai pada Pesta Maria diangkat ke surga yang dirayakan pada 15 Agustus 2023 dan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Pancawindu (40) tahun SMAS Regina Pacis Bajawa.

Kegiatan rekoleksi yang dipimpin oleh Ketua Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada Romo Silverius Betu, Pr. M.Han yang membuka kegiatan rekoleksi dengan merenungkan perikop yang diambil dari injil Lukas 1:39-56 tentang Maria Mengunjungi Elisabet saudaranya. Maria menunjukan keterbukaan dirinya untuk bersukacita dalam iman dan berbagi kasih bersama Elisabet saudaranya. Demikian juga kita hendaklah berbagi kasih dengan sesama saudara, siswa/i atau dalam keluarga dan juga komunitas kita yaitu komunitas Regina Pacis.

Dalam permenungan rekoleksi para para Suster, para guru dan pegawai berkesempatan untuk mendalami perikop dan secara spontan berbagi pengalaman iman dalam kaitannya dengan perikop yang direnunginya. Semua peserta secara sadar dan terbuka untuk berbagi pengalaman imannya dalam konteks ke kehidupan kesehariannya. 

Pada kesempatan ini RD Sil selaku pemberi rekoleksi mengajukan pertanyaan reflektif mengapa paguyuban kita memilih Bunda Maria Regina Pacis? Hal yang menjadi keutamaan gelar Maria Regina Pacis adalah kegembiraan dan sukacita dalam iman. Bersukacitalah dan bergembiralah menjadi guru dan pegawai pada pagyuban ini atau dalam komunitas kita. 

"Kita sebagai bagian dari paguyuban Regina Pacis sungguh meneladani teladan hidup Maria yang diliputi dengan kesederhanaan dan kerendahan hati" Lanjut RD Sil. Kita harus menghayati cara hidup Maria dalam diri kita, keluarga serta di komunitas kita. Maria adalah pribadi yang memasrahkan hidupnya pada penyelenggaraan Tuhan. Maka kesederhaan inilah maka sejak Yesus putranya yang lahir di kandang hina memberikan pesan bahwa keselamatan merupakan milik semua orang tanpa adanya batasan status sosial, kaya dan miskin atau orang biasa dan terpandang. 

Memaknai ketaatan Maria dalam konteks kita dalam komunitas bahwa ketaatan dan kepatuhan kita dalam menjalani kedisiplinan diri dan mendisiplinkan komunitas kita. "Kepala sekolah,para guru dan pegawai hendaknya memaknai sungguh terkait disiplin di sekolah. Jika kepala sekolah,guru/pegawai mempermainkan dengan disiplin di sekolah maka siswa/i akan mempermainkan disiplin".Maka keteladanan dan tuntunan bagi siswa/i kita" Tandas RD Sil. Jadikanlah pembawa damai bagi semua orang walaupun dalam keterbatasan kita.