VOICE of the VOICELESS...
SUMPAH PEMUDA ALA PEMUDA RATEWATI
Sumpah kalau Tugasoki teraliri listrik!
Sumpah kalau Tugasoki dibangun jembatan Sungai Ratemangu!
Sumpah kalau Ende bisa!
Sebuah Refleksi Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2016.
Seseorang yang tidak berada di daerahnya atau sedang berada di tempat lain dengan memiliki seribu alasan tertentu tidak menjadikan dirinya bisa memungkiri bahwa dia tidak dilahirkan, dibesarkan, dibentuk oleh adat, tradisi, lingkungan sosial budaya dimana dia bearsal. Namun dari sanalah menjadikan dirinya sebagai pribadi yg menjadi pertanda bahwa orang itu berasal dari tradisi, adat budaya tertentu dan dapat dg mudah dikenali oleh orang lain dimanapun dia berada. Sama halnya jg bahwa seorang yg dilahirkan dibesarkan di tanah Ratewati dan berdomisili di tempat bahkan di kabupaten lain tidaklah menjadikan dirinya melupakan tanah kelahiran, adat budaya namun jg menjadikan semuanya itu sbg fondasi yg terus dipertahankan sampai akhir hayat dan berani mengatakan bahwa saya orang Ratewati. "Berpikirlah dalam skala global dan bertindaklah dlm kelokalanmu". Benar jg ungkapan ini. Kita tdk hanya memikirkan kemajuan daerah lain namun jg harus berorientasi pd dukungan kemajuan tanah leluhur kita sendiri sejauh tdk mengabaikan satu dg yg lainnya. Apa pun yg dilakukan di luar sana pasti selalu memikirkan apa, dan bagaimana; daerah, adat budaya, masyarakat, generasi muda kita sendiri walaupun tanpa dirasakan,dialami dan dihargai oleh mereka yg kita pikirkan.
Dalam relevansinya dg momen ini, sebagai seorang tokoh muda yg terbentuk dlm kesederhanaan,jauh dari hiruk pikuk kemajuan, menapaki lorong ruang dan waktu di dusun kecil Tugasoki Ratewati, desa Ekoae, Kec.Wewaria Kab.Ende Flores NTT, terngiang dlm benak dan hati kecil bahwa persoalan penerangan dan infrastruktur jalan yg belum teratasi di dusun kecilku itu. Warga dusun Tugasoki dg jumlah KK kurang dari 80 menjadikan kami masih terisolir oleh akses penerangan dan jalan. Ada begitu banyak hasil bumi yg digerus dari daerah ini seperti material lokal(pasir, batu) kekayaan hutan. Dusun kecil ini merupakan pusat pelestarian dan pelaksanaan ritual adat tanah persekutuan TANAH SIGA WATU REMBU, TANAH EO RIA WATU EO BEWA yg hanya dikenal dan dikenang di saat para kontraktor atau pimpro datang menyampaikan ijin kepada tokoh adat untuk pengambilan kekayaan material yg terkandung dalam rahim tanah ulayat ini namun sesudah itu hilang bak ditelan bumi. Semuanya tak sejalan dg pembangunan infrastruktur strategis seperti dialami oleh daerah2 lain sampai zaman semodern ini, sungguh rasa menyayat hati. Mungkin saja salah satu faktor utamanya yakni Sumber Daya Manusia (SDM) putra/i ratewati yg belum memadai, alias Ya Baik Tuan.,Tei ro baru tau..terima apa adanya dan menikmati apa yg ada. Itulah kenyataan yg dialami hingga saat ini.
Tidak terlepas dari kenyataan di atas maka perlu disadari bahwa salah satu faktor kemajuan suatu daerah adalah kemampuan menajemen tata kelolah pemerintahan yg transparan, akuntabel, dan memiliki etos kerja yg tinggi. Kerangka pengelolaan yg mumpuni jg tdk terlepas dr peran seorang kepala daerah dan semua SKPDnya. Kemampuan pemerintahan daerah harus dibuktikan dg kemajuan, pemerataan, kesejahteraan dan pembangunan pada semua sisi kehidupan daerah jika tidak mau dinilai gagal. Alasan klasik bahwa keterbatasan dana, rendahnya PAD, skala prioritas pembangunan semua itu semestinya perlu ditinjau kembali. Kab. ENDE memiliki potensi daerah yg cukup menjanjikan baik pertanian, perkebunan, perikanan dan jg hasil hutan. Sangat ironis jika daerah yg memiliki kekayaan alam yg luar biasa menjadi isolasi ditengah ketakterjangkauan akses jalan dan penerangan. Berbenahlah maka akan berdampak pada pemerataan dan kesejahteraan daerah agar kategori tetinggal bisa kita tinggalkan.
Bentuk keprihatinan inilah tidaklah heran jika Kab. ENDE masih tergolong daerah tertinggal.Sangat miris namun terus dinikmati. Wah wah sudah masuk dlm kategori tertinggal tapi ngotot memperebutkan agar Ende sebagai ibu kota propinsi Flores. Lucu dan menggelikan. Tapi apapun semuanya itu Ende tetaplah My Mother Land. Rasa keakuan akan Ende terus mengusik ketika ada begitu banyak tulisan atau artikel yg memuat sisi kesenjangan dlm tataran pengelolaan pemerintahan daerah baik dlm skala regional maupun nasional.
Maka bolehlah kita membaca komentar di bawah ini...
Walaupun Ngada tidak termasuk dalam zona ini, tapi masih terpendam rasa prihatin "My Mother Land" Ende Sare Lio Pawe" ada dlm kategori ini..Reformasi mental dan transparansi pengelolaan roda pemerintahan pada tataran birokrasi di Kab. Ende harus segera dilakukan. Dari tahun ke tahun masih stagnan alias "saya masih seperti yg dulu".Pemerataan pembangunan, peningkatan infrastruktur jalan, dan penerangan masih jauh dari harapan.
Kiranya pemerintah daerah Ende perlu belajar dari mekanisme kerja kabupaten tetangga yakni Ngada. Sangat tdk logis kalau melakukan studi banding ke kab yg ada di Jawa atau Bali yg ujung2nya menghabiskan budget daerah. Bersahabatlah dan belajarlah pd sesama saudara kita karena Ngada adalah salah satu Kabupaten di Pulau Flores yg tidak termasuk dlm kategori daerah tertinggal.Ini bukan menggurui namun suatu prestasi yg musti dicontohi oleh kabupaten2 lain termasuk kab.Ende.Pembangunan dari desa telah terwujud dalam memasuki 1 dekade ini. Ya, adaptasi program bahkan adopsi pun bolehlah sejauh masih sejalan dg amanat undang2 dan kemampuan PAD kita. Itu aja ko repot kata tokoh pluralisme Indonesia. Seringkali merasa gengsi namun tak berdaya. semunya itu bukan karena sentimen atau mengkritisi tanpa dasar akan tetapi ada satu tekad agar Bonum commune bisa tercapai.
Bacalah artikel di bawah ini walaupun #latepost..By Wara Cypriano