22.2.19

Rm Frans Magnis Suseno

VOXRATEWATI.Com. By Wara Cypriano

Repost dari akun Fb Gregorius Triyogo Prabowo

Nama lahirnya Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis.

Ia mendapat status warga negara Indonesia pada 1977, setelah 16 tahun tinggal di Indonesia. Lahir di di Eckersdorf, Silesia, Jerman bagian timur (kini wilayah Polandia), keluarga Magnis pernah sengsara karena perang. Ayahnya, Dr Ferdinand Graf von Magnis sempat bertahun-tahun ditahan tentara Uni Sovyet. Keluarganya, harus terusir dari tanah kelahirannya.

Magnis kecil adalah keturunan bangsawan. Sulung dari enam bersaudara ini lahir pada 26 Mei 1936 dari rahim Maria Anna Grafin von Magnis. Mereka tinggal di kastil Eckersdorf. "Kami memiliki tanah 10 ribu hektar," ujar Magnis.

Pada 1945, mereka mengungsi ke Cekoslowakia barat, di tempat neneknya. Tapi, mereka lalu harus pindah ke kamp pengungsian. Hingga pindah ke Jerman barat. Keluarganya bisa kumpul lagi pada 1948 di Jerman barat,setelah ayahnya dilepaskan dari tahanan perang.

Dengan keluarga yang kental dengan Katolik, mendorong Magnis muda untuk bergabung dengan Jesuit. Saat bergabung ke dalam Jesuit, artinya ia harus keluar dari keluarga. "Saya juga membuat pernyataan, bahwa saya tak akan mengklaim apapun dari keluarga," kata Magnis. Orang tuanya sangat menerima pilihan Magnis.

Ada tiga negara yang sebenarnya bisa menjadi lahan pengabdiannya saat itu. Indonesia, Jepang, atau Zimbabwe. "Tapi saya tertarik dengan Indonesia," ujar Magnis.

Berawal dari surat-surat yang dikirimkan ke pendahulunya, Magnis mengetahui cerita tentang Indonesia. Pada Januari 1961, Magnis mendarat di bandara Kemayoran, Jakarta. Di matanya, Jakarta saat itu laiknya desa besar. Jalanan masih lengang. Seturut ingatannya, hanya ada satu gedung tinggi di Jakarta. "Gedung PLN setinggi dua lantai di timur lapangan Gambir," ujarnya mengenang.

Empat purnama kemudian, ia menuju Kulon Progo, Yogyakarta.

Di komunitas Jesuit mengharuskan ia belajar bahasa Jawa dulu sebelum bahasa Indonesia. Walau sempat kesusahan belajar bahasa Jawa, tapi Magnis muda merasakan keramahan di desa Boro, Kalibawang. Dalam tiga belas bulan, ia bisa menguasai bahasa Jawa. Dalam sehari, ia bersosialisasi tiap sore dengan warga sekitar. "Dalam bahasa Jawa, semua pertanyaan bisa dijawab dengan inggih (iya)," ujarnya sambil tersenyum.

Lewat sosialisasi itu, ia mulai mengenal budaya orang-orang biasa. "Saya sangat senang," ujarnya.

Tak diduga, ia menemui Katolik di Jawa yang berpadu dengan budaya lokal. Misalnya shalawatan Katolik, orang-orang menyanyikan soal Abraham, soal penciptaan dalam bahasa Jawa.

Kebiasaannya jalan-jalan dan bersosialisasi ini seturut hobinya mendaki gunung. Gunung Gede, Jawa Barat sudah ia daki 20 kali. Suatu malam, ia pernah mendaki gunung Gede sendirian. Di depannya, ada rombongan pendaki. Magnis lalu menyalip rombongan itu. Mereka kaget dan megap-megap susah napas. Dengan postur tinggi dan putih, Magnis menjadi makhluk asing di gunung. "Saya dikira hantu. Tapi tetap saya salami mereka," kata Magnis.

Pada 1977, Magnis muda mengantongi status Warga Negara Indonesia, Magnis ingin mengganti nama agar menjadi Indonesia. Ia buang 'von'. Karena ia masuk lewat Jawa, ia ingin nama yang terdengar Jawa. Magnis ingin mengambil nama dengan awalan Su (berarti Baik).

Lewat rekannya, Romo Kuntara Wiryamartana, Magnis minta dicarikan nama. Salah satunya Suseno. "Kok enak didengar," kata Magnis. Mulai saat itu, namanya berubah menjadi Franz Magnis-Suseno.

Belakangan, setelah bertemu dengan dalang Ki Manteb Sudarsono, Magnis mendapat cerita, jika nama itu merujuk nama wayang Karna Basuseno, tokoh kurawa. "Itu nama wayang kesukaan saya," ujar Magnis.

Magnis tak hanya berkutat dengan kehidupan Katolik dan Jawa. Ia dekat juga dengan kalangan pemikir Islam seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur) atau Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

"Gus Dur adalah salah satu manusia yang paling penting dalam hidup saya," kata Magnis. Magnis bertemu Gus Dur di sebuah seminar pada 1983, di Semarang, Jawa Tengah. Kebetulan mereka mendapat satu kamar. Selama dua jam, Gus Dur menjelaskan kepada Magnis, harusnya Konferensi Wali Geraja Indonesia menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Mereka bahkan sempat tergabung bersama dalam Forum Demokrasi, saat iklim intelektual Orde Baru didominasi oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Kedekatan Islam dan Katolik menurut Magnis terjalin sudah lama. Pada masa genting 1965, Islam dan Katolik cukup dekat melawan komunis. Menurut Magnis, komunis tak pernah bersedia berkoalisi memajukan bangsa. Magnis, yang menulis disertasi tentang ideologi Marxisme yang mendasari komunisme melihat, sejak dari ideologi dan praktik, komunis hendak merebut kekuasaan dan mendirikan diktator partai.

"Saya gembira saat komunis jatuh," ujarnya.

Tapi, Magnis tak sependapat dengan penilaian Marxisme yang berdasar stigma. Marxisme menurutnya adalah salah satu pemikiran filosofis yang paling berpengaruh dalam abad 20. Komunisme juga pernah menjadi kenyataan di Indonesia. Menurutnya, penilaian komunis harus berdasar informasi. Maka, Magnis menulis tiga buku tentang Marxisme.

Walau sudah lebih 80 tahun usianya, Magnis tak ketinggalan zaman. Ia tetap akrab dengan teknologi. Isu di media massa ia ikuti dengan tiga gawai; ponsel, ponsel pintar dan tablet. Juga satu komputer meja untuk menulis. "Semuanya sumbangan dari umat," kata dia.

Sebagai seorang pastor Jesuit, Magnis tak punya harta pribadi. Seumur hidupnya, bahkan ia belum pernah memiliki rekening bank.

Tak heran, ia tak tergiur dengan hadiah dan harta. Saat diganjar Bakrie Award 2007, Magnis menolak. Hadiah sebesar Rp250 juta tak ia terima karena solidaritasnya kepada warga Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Hidup tanpa memiliki harta, justru membuatnya dilimpahi semacam kebebasan di komunitas Jesuit. "Kami hidup bersama, sama sekali tak kekurangan, juga tak berlebihan," kata dia.

Kini,di usia lewat 80tahun,Magnis tetap bugar badannya. Ia tetap kuat naik tangga.Dalam sepekan,ia beroleh raga 4-5 kali naik sepeda statis. Urusan santapan, ia tak punya pantangan. "Kuncinya, jangan banyak makan," ujar penyuka bakso dan nasi goreng ini.

Tapi ia tetap waspada dengan penyakit. Di usia senja, pendengaran telinga kanannya mulai butuh bantuan. Jika berbincang, lawan bicara kerap ia ajak duduk di sebelah kiri.

Usia, mungkin juga akan menuntaskannya dari jabatan struktural sebagai dosen dan Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta.

Walau hayatnya panjang, Romo Magnis tetap merasa kekurangan waktu. Ia ingin tetap menulis buku dan berbicara di berbagai forum. Ia ingin melanjutkan bukunya Menalar Tuhan. Selain menulis, kesibukan Magnis adalah berbicara dalam forum-forum. Dalam setahun, diundang dalam 90-100 acara. Artinya, dalam dua pekan sekali, ada saja undangan untuk berceramah. Tak heran jika dari tangannya lahir ratusan artikel, dan 30-an buku.

Enam puluh enam tahun tinggal di Indonesia, Magnis tak pernah terpikir melepas status warga negara Indonesia.

“Saya bangga dan senang sebagai orang Indonesia," kata dia.

Re Share dr WAG
Foto dr sesawi.net

18.2.19

Sang Motivator Sejati, Jeremy Emanuell Udjan Menyapa Ribuan Siswa/i Kelas XII Di Kota Bajawa

VOXRATEWATI.Com. By Wara Cypriano

GET THE FUTURE (Railah Masa Depan Anda)
 with Jeremy Imanuell Udjan

Powered by STKIP CITRA BAKTI NGADA
Foto insert: sumber Fan Page STKIP CItra Bakti Ngada

Di tengah kesibukan dan kepenatan menjalani segudang rutunitas dalam menghadapi UASBN dan UNBK pada bulan Maret dan April mendatang, siswa/i kelas XII SMA/SMK di daerah Bajawa dan sekitarnya mendapatkan sentuhan motivasi dan spirit serta berjuang bersama untuk melewati serangkaian tahapan ujian akhir mendatang.

Pada momen langka ini, STKIP CITRA BAKTI NGADA yang merupakan satu-satunya pendidikan tinggi di Kabupaten Ngada menyapa putra putri generasi Ndaga dengan mengusung sang motivator nasional Jeremy Emanuell Udjan, yang juga selaku pendiri J-SMART Public Speaking and Motivation. Antusiasme  ribuan siswa/i memadati aula SMANSA Bajawa pada minggu 17/02/2019. Pada kesempatan ini hadir pula Para guru pendamping dari berbagai sekolah.Para guru dan siswa pun larut dalam kegiatan penguatan dan motivasi tersebut.

Penguatan dan motivasi bagi siswa/i kelas XII SMA dan SMK " Get the Future" atau Raihlah Masa Depan Anda, memiliki satu tujuan yakni memenangkan Ujian Nasional 2019. Tegas Pak Jeremy, bahwa mulai hari ini berhentilah belajar untuk menjadi kaya karena apalah artinya jika anda kaya namun tidak bahagia. Sentuhan motivasi ini lebih menekankan agar siswa/i selalu fokus akan apa yang menjadi cita-cita hidup mereka masing-masing.


Suatu hal yang perlu disadari bahwa kodrat manusia sejak usia 0 - 25 adalah kerja. Gelombang kehidupan atau the wave of life  manusia selalu berubah. Rentangan usia 25-60 adalah kerja dan usia 60  ke atas menikmati sisa hidup. Perlu disadari bahwa hidup hanyalah sekali atau "Life is one way ticket" jadi kualitas hidup harus diperjuangkan dan terus menerus diperjuangan agar mencapai pada apa yang menjadi tujuan hidup kita.



Dalam kaitannya dengan ujian akhir baik UASBN maupun UNBK 2019, siswa/i diteguhkan dengan menanamkan sebuah anggapan bahwa itu semua hanyalah sebuah "ulangan" bukan ujian. Hal ini agar para siswa tidak terbebani dengan kata "Ujian" yang pada esensinya hanyalah sebuah "ulangan". Maka harus yakin bahwa kita harus maju, just move on, keep moving. Hadapilah segala persoalan belajar dengan senyum walau senyum tak pernah menyelesaikan masalah hidup kita. Tapi perlu diingat bahwa dari sebuah senyuman memungkinkan kita untuk mencari solusi. Masalah butuh penyelesaian bukan dihindari.

Pada closing statement, STKIP CITRA BAKTI Ngada selaku sponsor kegiatan tersebut menghadirkan Ketua Yayasan. Wilfridus Muga,SE.,M.Pd selaku ketua yayasan berkesempatan membagi tips sukses bagaimana membangun sebuah lembaga pendidikan tinggi satu-satunya di Ngada. Selaku pengelolah, STKIP Citra Bakti menawarkan sejumlah beasiswa dan discount biaya kuliah untuk beberapa Prodi. "Jika adij-adik berminat untuk melanjutkan pendidikan ke STKIP Citra Bakti, itu artinya kita sama-sama membangun Ngada, dan jika tidak berminat tidak apa-apa, kalu sudah selesai kuliah pulanglah ke Ngada dan marilah kita sama-sama menbangun Ngada, tandas Pak Fridus sapaan akrabnya. Rangkaian kegiatan ditutup dengan pertunjukan musik prodi musik yang tergabung dalam Citra Bakti Band dan pembagian brosur STKIP Citra Bakti kepada seluruh siswa/i yang hadir**

Catatan Lepas Guru Pendamping Siswa/i kelas XII SMAK Regina Pacis Bajawa.

15.2.19

"Komersialisasi Cinta" Di Hari Kasih Sayang

VOXRATEWATI.Com.

By Wara Cypriano

"Komersialisasi Cinta" di hari Kasih Sayang

Gambar ilustrasi: Google picture


Hingar bingar perayaan "Valentine's Day" menyisahkan sejuta kenangan. Pelbagai cara dilakukan untuk mengabadikan momen ini. Kemeriahannya seolah-olah tidak akan dirayakan kembali walau pun selalu dirayakan tanggal 14 Februari tiap tahunnya. Anak-anak, remaja bahkan orang tua larut dalam euforia perayaan ini. Entah apa makna dan bagaimana sejarah hari kasih sayang yang jelas semua orang merayakannya dengan aneka cara. Ada yang saling tukar kado berupa cokelat, atau kembang mawar merah bahkan ada yang memberikan hadiah istimewah berupa mobil,rumah atau barang berharga lainnya. Atau juga menjadikannya hari pernikahan agar momen tak terlupakan (unforgettable memories) ini terus dirayakan.

Di sisi lain kemeriahan hari Kasih Sayang juga tidak sedikit menyisahkan kisah pilu bahkan tragis yang berujung pada kematian entah akibat kecelakaan, bunuh diri karena putus cinta, bahkan terjadi keretakan rumah  tangga akibat pemaknaan hari kasih sayang yang kebablasan. Ada yang gembira namun ada juga yang terlarut dalam kegalauan. Para orang tua misalnya menjadi was-was apabila anak gadis atau remaja putranya merayakan bersama pasangan bicaranya (Pacar) atau teman sebayanya. Fenomena ini tidak saja melanda kawula muda bahkan juga tak sedikit banyak pasangan yang bukan suami istri merayakan hari kasih sayang di hotel-hotel sambari "mengobral cinta" bersama teman bukan pasangannya. Itulah kejadian nyata yang dari tahun ke tahun terjadi, bukan saja berkurang namun terus meningkat.Pertanyaannya adalah, apa sih makna hari Kasih sayang bagi saya, anda dan kita semua?
***
Dalam tradisi awal hari kasih sayang dikatakan bahwa upacara pemujaan dewa cinta dalam mitologi Yunani atau juga dalam tradisi gereja Katolik yang dilandasi oleh penghayatan iman St.Valentinus atau juga kisah lain yang melatarbelakangi lahirnya tradisi ini, sehingga tidak sedikit dari kelompok tertentu yang menolak perayaan hari kasih sayang ini karena identik dengan ritus agama tertentu. Itu semua merupakan kebebasan pribadi apakah mau merayakannya atau tidak. Maks dari itu, ada sekelumit gambaran tentang tradisi hari Velentine dalam Gereja Katolik. (Sumber: Katolisitas Indonesia) Ada 2 orang Santo di dalam Gereja Katolik yang bernama Valentinus, yaitu St. Valentinus Roma dan St. Valentinus dari Terni. St. Valentinus yang pertama adalah seorang uskup yang berasal dari kota bernama Terni yang terletak sekitar 60 mil dari Roma. Ia ditahbiskan menjadi Uskup Terni oleh Paus St. Viktor I sekitar tahun 197 M. Atas perintah Prefek Plasidus, ia juga ditangkap, didera, dan dipenggal kepalanya, dalam masa penganiayaan Kaisar Klaudius II. St. Valentinus yang pertama adalah seorang Imam Katolik dan dokter yang berasal dari kota Roma. Ia bersama seorang awam berkeluarga yang sekarang sudah dianggap sebagai Santo oleh Gereja Katolik yaitu St. Marius menolak dekrit Kaisar Klaudius II yang melarang pernikahan di Romawi selama peperangan.

Mereka berdua pun berinisiatif menikahkan banyak pasangan. Namun inisitatif Mereka malah diketahui oleh Kaisar Klaudisius dan akhirnya mereka kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Mereka selanjutnya dijatuhi hukuman mati dengan disiksa, hingga akhirnya dipenggal pada tanggal 24 Februari 269 di Via Flaminia. Paus Santo Julius I dilaporkan membangun sebuah gereja dekat Ponte Mole untuk mengenang St. Valentinus dari Roma. Relikui St. Valentinus dari Roma saat ini berada di Gereja Santo Praxedes. Dia menjadi martir pada tanggal 14 Februari tahun 269. Setelah itu Paus Gelasius I (496 M) secara resmi menetapkan Pesta St. Valentinus yang jatuh pada tanggal 14 Februari, beberapa orang bingung akan siapa yang dimaksud oleh Paus Gelasius I karena St. Valentinus dari Terni dan St. Valentinus dari Roma mempunyai nama yang sama dan dilain pihak karena hidup pada masa pemerintahan Kaisar Klaudius II yang juga mengalami kemartiran di tempat yang sama, di Via Flaminia.

Beberapa orang ada yang mengatakan bahwa tidak ada hubungannya antara St. Valentinus dengan Hari Valentine kecuali ada fakta, tertentu bahwa St. Valentinus yang hidup pada abad ke-3 menjadi martir pada tanggal 14 Februari. Pada tanggal 14 Februari, di kota Roma ada sebuah tradisi di mana para laki-laki menarik undian dari sebuah wadah yang besar, yang berisi nama para wanita yang akan menjadi pasangan mereka dalam berbagai bentuk perayaan pada tanggal tersebut, untuk menghormati dewi cinta Romawi yang bernama Februata Juno. Pada masa itu beberapa Iman Katolik mengutuk dan kebiasaan tersebut karena apa yang mereka lakukan tersebut tentu saja dalam bentuk penyembahan berhala. Salah satu Imam Katolik yang terlibat dalam hal ini adalah St. Valentinus.

Pada masa itu pula, Bangsa Romawi terlibat dalam banyak peperangan, sehingga Kaisar Klaudisius menarik banyak pria-pria Romawi untuk bergabung ke dalam medan pertempuran. Banyak dari pria-pria ini tidak mau meninggalkan kekasih yang mereka cintai. Hal ini membuat Kekaisaran Romawi sulit untuk merekrut tentara.

Kaisar Klaudius pun akhirnya murka dan memerintahkan ke seluruh daerah bahwa tidak boleh ada lagi upacara pernikahan. Sehingga ada seorang Imam yang bernama St. Valentinus yang merasa kasihan kepada pasangan-pasangan yang dipaksa untuk berpisah. Hingga di suatu hari, St. Valentinus dengan diam-diam menyatukan sebuah pasangan dalam suatu janji suci perkawinan. Dan segera terjadi banyak pernikahan di Roma seolah-olah dekrit kaisar di atas tidak pernah dikeluarkan. Dan akhirnya berita ini sampai ketelinga otoritas romawi. St. Valentinus pun lalu dijatuhi hukuman mati. Ia dipenjara, dipukul beramai-ramai, kemudian dilempari batu lalu dipenggal di Via Flaminia. Sekali lagi sebenarnya tidak ada hubungan antara perayaan hari kasih sayang dan St.Valentinus tapi kenyataannya orang selalu mengaitkannya.(*** Wikipedia Indonesia 2018)

 ****
Oleh karenanya, perayaan hari kasih sayang selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu terutama bagi kaum remaja namun juga ada momok dan kegalauan berlandaskan kasih sayang dari orang tua yang selalu memikirkan dan berjuang agar putra putrinya terhindar dari tindakan yang menjurus pada sebuah tindakan amoral bahkan kriminal.

Kini, hari kasih sayang atau Valentine's Day selalu diidentik dengan hari komersialisasi cinta. Makna cinta sebenarnya yang mengandung nilai ketulusan, komitmen, saling support, bela rasa kini sudah mengarah pada perilaku negatif, makna cinta saat ini  berwawasan sempit selalu mengandung konotasi negatif. Hal ini serupa dengan apa yang dimuat di berbagai media cetak dan elektronik. Begitu banyak kejadian memilukan pasca perayaan hari kasih sayang bahkan menjadi viral dan trending topic di berbagai media. Maka sejatinya komersialisasi cinta di hari kasih sayang benar adanya. Cinta berorientasi sex atau cinta meminta bukti. Perasaan cinta tidak lagi dipandang berharga dan suci. Banyak orang mengambil keuntungan di momen ini namun tidak sedikit juga yang mengalami kepedihan tak berkesudahan yang diakibatkan oleh hari kasih sayang. Bagai dua sisi mata uang, minus malum, untung rugi, kebahagiaan kesedihan, kerukunan perpecahan, kesejahteraan kemelaratan. Maka dari itu Perlu disadari bahwa kasih sayang itu hanya bisa dihayati dengan landasan cinta tanpa batas (endless love) bukan dengan kemewahan lahiriah semata atau dorongan nafsu sesaat. Jadikan diri kita sebagai sumber dan pelaku cinta sejati karena sesungguhnya cinta sejati tak pernah berganti warna.
("Do the small things with the great love" Mother Theresa.

Catatan lepas pasca hari Valentine.

11.2.19

Rm Mangun Wijaya

VOXRATEWATI.Com. By REPOST:
IN MEMORIAM "ROMO MANGUN"

Foto insert:sumber RD Joko



"......Pendidikan berfungsi, antara lain, mengurangi dan menyingkirkan halangan-halangan yang ada dalam masyarakat, sehingga setiap orang dengan inteligensi sederhana saja dapat mencapai suatu tingkat kecerdasan yang mencukupi untuk mengurus dirinya sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas apapun yang dilakukannya...."

Hari Senin Wage 22 Juli 1963, Monseigneur Albertus Soegijapranata wafat dalam pelukan sang murid kesayangannya: Romo Mangunwijaya.

Sang Pahlawan Nasional itu wafat di Susteran Pusat Penyelenggaraan Ilahi di Heerlen negeri Belanda. Sang guru seolah-olah menunggu untuk berpamitan dari sang murid yang sekitar satu jam sebelumnya datang dari Jerman.

Berselang hampir 36 tahun kemudian, hari Rabu Legi 10 Februari 1999, Mangunwijaya wafat di pelukan Mohamad Sobary, salah seorang sahabat baiknya. Dia wafat sebagaimana keinginannya “sebagai guru sekolah dasar, ketika sedang dalam tugas, di antara orang-orang yang menyayanginya, di antara manusia lintas suku agama ras dan antar golongan, dan tidak terlebih dulu merepotkan orang lain.”

Soegijapranata adalah sosok berpengaruh besar bagi Mangunwijaya. Dia merupakan figur pembeda  kedua yang ikut mengubah perjalanan sejarah hidup Mangunwijaya.

“Soegijapranata paling berkesan bagi saya. Beliau guru saya. Kalau harus menyebut guru-guru saya yang berpengaruh, nama pertama yang saya sebut adalah Soegijapranata. Saya jadi begini, antara lain, juga oleh hikmah-hikmah pelajaran yang saya terima dari beliau.”

Uskup Soegijapranata yang mentahbiskan Mangunwijaya menjadi romo tahun 1959. Tahun itu juga dia memberi tugas kepada Mangunwijaya untuk belajar arsitektur. Kala itu Vikariat Semarang sedang membangun banyak gereja, dan memerlukan seorang imam yang juga ahli dalam pembangunan.

Sebagai persiapan, Romo Mangun mulai memasuki Institut Teknologi Bandung (ITB). Berada satu tahun di Bandung, dia kemudian bertolak ke Aachen Jerman pada tahun 1960.

Tugas belajar arsitektur di Jerman menghadirkan bukan sekedar ilmu arsitek yang menjadi ‘kesaktiannya’ dalam berkarya. Namun menghadirkan ‘momen berlian’ yang kelak berpengaruh signifikan dalam jejak pengabdiannya. Karena di sini dia bersua dengan dua sosok yang kelak menjadi bagian pengambil kebijakan di Republik Indonesia tercinta: B. J. Habibie (Presiden Republik Indonesia ke 3) dan Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat Romo Mangun mulai mengeksplorasi konsep pendidikannya).

Kedua orang ini menjadi sahabat dekatnya. Saking dekatnya, kepada B. J. Habibie Romo Mangun menyapa Mas Rudy. Sebuah sapaan yang menandakan kedekatan. Sementara Wardiman pernah berkunjung ke SD Eksperimental Kanisius Mangunan, ini sekolah yang didirikan Romo Mangun berada di desa, padahal sekolah di kota saja jarang punya kesempatan mendapat kunjungan dari seorang menteri.

Mayor Isman, komandannya ketika menjadi anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) merupakan sosok lain yang mengubah sejarah hidup Mangunwijaya.

Tatkala selesai berperang dan keluar dari hutan, Mangunwijaya mendengar pidato Mayor Isman yang justru di telinganya terdengar jauh lebih berdentam bertalu-talu dibanding suara dentuman meriam tentara Belanda. Gaung pidato itu dia bawa sampai ke rumah, ke bilik tidurnya, membuatnya tidak bisa tidur, memaksanya mengubah haluan hidup, dan memproklamasikan keinginannya untuk total mengabdi bagi nusa bangsa tercinta. Terutama menemani rakyat kecil dan mereka yang terpinggirkan.

Gaung pidato sang komandan memicu gelora di nuraninya dan tekad bulat di jiwanya. Gaung itu tidak hanya bergema di bilik tidurnya, tidak berhenti dalam satu dua hari lalu menguap, tetapi terus mengalir.

Mengalir deras membahana merobohkan semua cita-cita dan cintanya yang tumbuh terdahulu di benaknya. Itu terus mengalir semasa hidupnya dan terus bahkan sampai ketika dia masih mengemban tugas menyumbangkan pikiran dalam seminar perbukuan “Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru” tanggal 10 Februari 1999, hari Sang Burung Manyar wafat. Sejak mendengar pidato itu, Mangunwijaya bukan lagi orang yang sama dibanding sebelum mendengar pidato.

Mayor Isman dan Monseigneur Soegeijapranata, dua sosok hebat yang berkontribusi membentuk komitmen hebat Romo Mangun dan membangun kualitas dirinya menjadi, sebagaimana ucapan Gus Dur, “Romo Mangun itu salah seorang Bapak Bangsa Indonesia. Dia patut mendapat kehormatan semestinya.”

Cerita Ado Bintoro salah seorang muridnya mereaktualisasi kenangan tentang Romo Mangun. Ado Bintoro pernah tinggal bersama Romo Mangun di rumahnya yang artistik di Gang Kuwera 14, Mrican Sleman Yogyakarta. Ado mengisahkan, 

“Kalau mau  mengenang Romo Mangun, tak pernah ada  habisnya, selalu ada saja cerita-cerita yang menarik atau kadang lucu, ada pula yang merenyuhkan, semuanya patut dijadikan contoh teladan. Semisal, suatu ketika, pada  hari Minggu sehabis makan pagi, saya melihat Romo merenung, duduk di lincak bambu, beliau memandangi anak asuhnya yang belum lama kehilangan bapaknya yang meninggal karena sakit. Nama anak itu Yani. Romo Mangun memperhatikan Yani yang sedang bermain tanah yang dibikin gundukan menyerupai makam. Entah apa yang sedang Romo pikirkan.”

Ado Bintoro memberanikan diri mendekat.

“Permisi Romo.”

“Eh… ada apa?” Romo sedikit terkejut.

“Romo sakit ya?” tanya Ado Bintoro, basa-basi.

“Ah.. tidak kok.” Lalu Romo mengajak Bintoro memperhatikan. “Itu lo sedang memperhatikan Yani. Anak itu mungkin ingat bapaknya, atau masih merasa kehilangan, sepertinya belum percaya kalau bapaknya tiada.”

“Diajak masuk sekolah lagi, gimana, Mo?”

“Sudah, tadi malem saya bujuk dia sekolah. Cuma geleng-geleng, jadi saya tak tega untuk memaksa, wong namanya anak seusia dia masih labil. Toh, dia baru kelas satu SD.  Biarkan dulu saja, ditunggu saja sampai dia betul-betul tenang dan bahagia dengan sendirinya. Tapi yang saya herankan, kok belum ada salah satu pun guru yang nanyakan keadaan-nya.” Ujar Romo, menyesali.

Romo Mangun adalah sebuah kenangan. Namun bukan kenangan yang gersang dan menggersangkan. Dia inspirasi subur dan menyuburkan yang melintasi sekat-sekat, menembus tembok-tembok pembeda. Seperti kata-kata Gus Dur, “Romo Mangun mampu menembus sekat-sekat formalisme dan simbiolisme. Dia sentuh setiap manusia dengan ketulusan cinta kasihnya yang terpancar dari keimanan dan keyakinannya. Inilah yang menyebabkan Romo Mangun mampu hadir dalam hati setiap manusia.”

NB:
Buku "XXI" (RJK, KANISIUS).

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, seorang imam diosesan Keuskupan Agung Semarang, adalah splendor veritatis – yang penuh dengan warna-warni pelangi kemanusiaan.

Pergulatan hidupnya tercermin dalam beragam karya monumental. Novel "Burung Burung Manyar" (1979) menyabet penghargaan The South-East Asian Award (1986).

Sentuhan arsitektur yang berbasis masyarakat terpinggirkan di tebing Kali Code  telah membuatnya dianugerahi Aga Khan (1990-1992). Belum lagi, kepeduliannya terhadap karya pendidikan dasar dan orang-orang miskin. Ia jugalah yang mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED). Untuk itulah, bagi saya sendiri, Romo Mangun itu “Hari”, :hadir untuk memberi."

A.
Sebuah Sketsa Profil.

‘’Rumah saya seperti rumah dukun. Banyak orang berdatangan, untuk mengeluh atau minta saran,’’ kata Romo Mangun. Mereka yang berdatangan adalah para mahasiswa, dosen, atau para tetangga, apa pun agamanya.

Kediamannya berupa sebuah rumah panggung, berdinding gedek, terletak di lembah yang berhimpitan dengan jembatan Gondolayu, Yogyakarta. Berdekatan dengan rumahnya terdapat sederetan rumah serupa, yang dihuni tuna wisma, pemungut sampah, tukang becak, dan anak-anak penyemir sepatu.

Tempat tinggal “orang buangan’’ yang tertata rapi itu adalah hasil rancangan Romo Mangun - arsitek lulusan Rheinisch - Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman Barat.

Ia adalah putra sulung dari 12 bersaudara, anak dari pasangan Julianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdiyah. Ia lahir di Ambarawa pada tanggal 6 Mei 1929. Kedua orang tuanya adalah guru, sedangkan kakeknya adalah petani tembakau.

Sekolah formalnya dimulai di Muntilan, tetapi ia terpaksa tidak dapat melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut karena sekolah tersebut bubar ketika Jepang memasuki Indonesia. Semasa remaja, ia sempat bergabung dengan Tentara Pelajar. Saat itu Romo Mangun tergabung dalam Batalyon X yang dipimpin Mayor Soeharto, mantan Presiden Indonesia.

Dalam seluruh hidup Romo Mangun, satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah pilihan keberpihakannya kepada rakyat, terutama kaum miskin, lemah, miskin, dan tersingkir. Sejak awal, sikap ini menjadi pilihan hidupnya. Pilihan keberpihakan ini diawali dengan pengalamannya di kota Malang.

Waktu itu, ada perayaan penyambutan Tentara Indonesia. Semua mengelu-elukan tentara sebagai pahlawan. Lalu Mayor Isman mendapat giliran berpidato. Mayor Isman mengatakan,
“Kami bukan pahlawan. Kami bukan bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat. Karena kami sudah membunuh, kami sudah membakar, kami sudah berlumuran darah dan melakukan hal-hal yang kejam ... Sebetulnya kami ini bukan
pahlawan. Yang pahlawan adalah rakyat jelata, petani-petani yang menghidupi kami. Jika Belanda datang, kami lari. Memang
bukan karena pengecut, melainkan karena kekuatan tidak seimbang. Tapi rakyat tidak bisa lari. Mereka yang menjadi korban, diperkosa, dibakar rumahnya, ditembak. Mereka yang
berkorban, tetapi yang menjadi pahlawan bukan rakyat.”2

Pengalaman ini membuat Romo Mangun tergugah untuk membalas budi kepada rakyat. Usaha pembalasan budi kepada rakyat itu ditempuhnya dengan menjadi imam praja (baca: diosesan). Ia lebih memilih menjadi imam praja karena ia ingin bekerja langsung di tengah rakyat.

Bagi Mangun, menjadi imam adalah sebuah cara untuk berusaha menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan. Pada tanggal 8 September 1959, ia ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Soegijapranata, SJ.

Dalam sebuah wawancara, Romo Mangun mengakui bahwa status imamat memang memberi banyak kemudahan baginya, tapi ia ingin menjadi manusia biasa saja. “Yang berat justru untuk tetap bertahan sebagai manusia biasa. Sebab pastor itu ‘kan seolah-olah kasta tersendiri. Mudah membuat orang menjadi sombong. Karena itulah orang seperti kami harus selalu aware jangan sombong.”3

Tadinya, ia memang hanya ingin menjadi pastor desa, tetapi uskupnya menginginkan agar ia melanjutkan studi. Ia lalu masuk Institut Teknologi Bandung dan Sekolah Tinggi Teknik di Aachen, Jerman. Gelar insinyur sipil diraihnya pada tahun 1966. Selain menjadi arsitek dan pastor, ia juga menjadi dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Seiring perjalanan waktu, orang-orang mengenalnya sebagai novelis, kolumnis berbagai surat kabar dan majalah, pekerja sosial, budayawan, dan tokoh besar yang mencintai orang miskin.

Selama hidupnya, Romo Mangun memang banyak terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakat. Ia berkiprah di banyak tempat demi hidup masyarakat yang lebih baik. Pengalaman hidupnya di Code (Yogyakarta), Gigrak (Gunungkidul), Kedungombo (Boyolali) mengungkapkan betapa ia peduli terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan.

Hasratnya untuk terlibat dalam mengangkat harkat dan martabat manusia membuatnya juga tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, dia pun berpolitik. Komentar dalam buku Politik Hati Nurani mengatakan demikian: “Romo Mangun memang berpolitik, tapi bukan politik dalam arti mencari kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara. Ia menampilkan hati nurani sebagai bagian integral dari perpolitikannya. Politik harus menggunakan hati nurani dan hati nurani sendiri juga harus dipolitikkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat luas dan demi keadian bagi seluruh lapisan.”4

Romo Mangun sendiri menghabiskan sisa hidupnya di Gang Kuwera, Jalan Gejayan, Yogyakarta. Saat ini bekas rumah tinggal sekaligus kantornya ini digunakan sebagai kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, sebuah yayasan yang didirikannya.

Akhirnya, ia menghembuskan nafas akhirnya pada hari Rabu Legi, 10 Februari 1999, ketika ia diminta menyampaikan gagasan dalam seminar perbukuan dengan tema Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru di Hotel Le Meridien, Jakarta. Banyak kalangan yang merasa kehilangan atas kepergiannya.

Berbagai komentar dari tokoh masyarakat, termasuk Mantan Presiden BJ Habibie, menunjukkan bahwa bangsa ini telah kehilangan seorang tokoh yang menjadi suri teladan. Jenazahnya dimakamkan di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta. Meskipun ia telah pergi, namun nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkannya tidak akan pernah hilang, bukan?

B
Refleksi Teologis

1.
Sugi, Suka Berbagi.

Tindakan politik Romo Mangun sungguh didasari pengalaman mistiknya dengan Allah. Ia sungguh-sungguh berpolitik. Ia membangun negara yang demokratis. Ia ingin betul-betul
tidak ada orang yang disingkirkan dalam pembangunan negara. Apa yang dilakukan Romo Mangun adalah tanggapan kenabian terhadap kenyataan yang bobrok.5

Kiranya tidak berlebihan, kalau Jennifer Lindsey menilai bahwa Romo Mangun adalah hati nurani bangsa. “Orang agung yang bijak di dunia ini memang jarang dan Romo Mangun adalah salah satu di antaranya.

Beliau adalah salah seorang cendekiawan Indonesia terbesar, seorang yang amat mencintai negaranya dan dari rasa cinta tersebut berani bicara sebagai hati nurani bangsa.”6

Saya pribadi kalau mengingat Rm Mangun, jadi teringat seorang supir bernama Sugi (kebetulan Romo Mangun juga pernah menjadi supir ketika ikut dalam Tentara Pelajar). Saya mengenal Mas Sugi ketika bertugas pastoral di Kolese Gonzaga Jakarta, sekitar tahun 2002. Bagi saya, “Sugi” bisa berarti suka berbagi. Saya juga melihat bahwasannya Rm Mangun juga suka berbagi.

Dalam bagian refleksi teologis ini, saya membaginya dalam tiga bidang besar sebagai berikut.

a. Romo Mangun sebagai Guru:
Romo Mangun bukan hanya seorang rohaniawan, tapi ia juga adalah seorang tokoh yang mencoba membagikan pemahaman betapa pentingnya pendidikan dasar bagi masyarakat, terutama pendidikan bagi rakyat kelas bawah. “Anak-anak miskin yang tanpa sepengetahuan mereka terlempar lahir di kalangan kumuh itu, itulah yang sebetulnya lebih memerlukan pertolongan dan
dari pengalaman itu saya mengambil kesimpulan bahwa prioritas selanjutnya yang ingin saya kerjakan adalah mengabdi kepada pendidikan dasar anak-anak miskin,” kata Romo Mangun.

Di sinilah, Rm. Mangun mencoba untuk keluar dari lingkaran setan: dampak kekuasaan yang termanifestasi melalui kurikulum yang sarat dengan pengetahuan namun miskin dalam pemaknaan. Karena itu, dengan memanfaatkan sebuah SD Kanisius Mangunan, Sleman yang hampir mati, pada tahun 1994, Rm. Mangun mengadakan terobosan (groundbreaking)
dengan tiga sasaran.

Pertama, Rm. Mangun menciptakan kurikulum yang khas. Kepedulian dan kedekatannya dengan wong cilik telah mendorongnya untuk mengangkat kemiskinan sebagai laboratorium eksperimental untuk mengentaskan anak miskin.

Kedua, sebagai partner kerja dari SDKEM, Rm. Mangun juga mendirikan Dinamika Edukasi Dasar (DED) yang berperan sebagai think tank untuk mendukung dari program-program pembelajaran di SDKEM. Di DED inilah berbagai persoalan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar diangkat, didiskusikan, dibagikan, dipahami secara bersama, disikapi secara kritis, dan akhirnya dicarikan solusinya.

Ketiga, Rm. Mangun juga tidak enggan menggandeng berbagai rekan, mengembangkan jaringan, dan menyebarkan temuan-temuan dalam berbagai eksperimen tersebut ke berbagai forum.

Sebagai seorang pendidik, ia juga pernah berpendapat bahwa beberapa daya yang harus dikembangkan, yaitu: daya kognitif (daya nalar), cita rasa dan kemampuan afektif (rasa, intuisi dan hal-hal yang berhubungan dengan perasaan), kemampuan untuk saling berkomunikasi (bergaul, bekerja sama, teratur, tenggang rasa), kesehatan raga, dan hati nurani (sikap atau semangat tolong menolong, setia kawan, sopan, dan cinta kasih).7

Pendidikan daya yang terakhir inilah, “pendidikan hati nurani”, dapat dilakukan melalui komunikasi iman (bukan melulu agama) dalam kehidupan, dialog, percakapan, dan lebih-lebih perbuatan. Tujuan komunikasi iman ini adalah untuk menumbuhkan sikap dasar yang benar, hati nurani yang peka terhadap segala yang baik, adil, benar, senang menolong, dan membuat orang lain gembira, sekaligus memekarkan watak yang menolak segala yang buruk, menghina teman yang miskin, cacat, atau lambat belajar misalnya.8

Di sinilah, saya mengangkat pernyataan Ignatius Haryanto, dalam kata pengantar buku Politik Hati Nurani. Ia menulis: “Sosok Mangunwijaya yang pasti bukanlah seorang politikus dalam arti seorang yang memimpin partai, memimpin sekelompok massa, dan memperjuangkan suatu kepentingan bersama. Romo Mangun mengerti soal politik, dan dalam arti luas ia juga berpolitik, namun ia mendasari politiknya lewat pengabdian pada kemanusiaan. Profesinya sebagai seorang rohaniwan mau tidak mau mempengaruhi option yang dipilihnya tersebut. Dengan seluruh karya sosialnya, Mangun menunjukkan bahwa ia bergerak atas dasar panggilan nurani kemanusiaan ... Hati nurani bukanlah hal yang terpisah dari kehidupan politik, bahkan justru
kegiatan politik harus memiliki Hati Nurani jika perpolitikan hendak berlangsung abadi dan mendapatkan simpati dari rakyat.”9

Secara imani, Romo Mangun mengajak kita melihat bahwa berbagai pengalaman hidup yang dijumpai dalam hidup keseharian dapat diangkat dan dimaknai dengan adanya kepekaan hati nurani. Barang-barang bekas bisa dibawa ke kelas untuk menumbuhkan kesadaran tentang makna kreativitas, perlunya konservasi alam, dan kepedulian terhadap sesama.

Bagi Rm. Mangun, kemiskinan bukan alasan untuk merasa pesimistis, gagal, dan tidak berprestasi. Bukankah Tuhan juga datang sebagai orang miskin di sebuah kandang Betlehem? Romo Mangun bahkan pernah juga mengatakan, “Yang utama adalah berbuat adil untuk membela orang kecil dan solider terhadap yang menderita ... demi perdamaian dunia, kemanusiaan, keadilan sosial, dan kemerdekaan.”

Menurutnya, iman adalah tindakan, ya tindakan yang membuat manusia menjadi lebih manusia, menjadi lebih punya hati nurani.10

b. Romo Mangun sebagai Sastrawan:
Dalam khasanah sastra Indonesia Romo Mangun dikenal sebagai seorang penulis novel yang produktif. Sampai di akhir hidupnya ia telah menulis puluhan novel. Beberapa karya satranya antara lain: Romo Rahadi (1981), Burung-burung Manyar (1981), Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983), Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-1986), Balada Becak (1985), Burung-burung Rantau (1992), Balada Dara-dara Mendut (1993), Durga Umayi (1994), Tak Ada Jalan Lain (1999), Pohon-pohon Sesawi (1999).

Membaca novel Romo Mangun berarti juga membaca humanisme. Dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, semua napas dan roh novel-novel Romo Mangun menunjukkan sosok multidimensionalitas pribadinya.

Melalui novelnya, Romo Mangun mencurahkan pandangannya tentang kemanusiaan dan kebangsaan. Ia menulis cerita dengan cara yang sangat jelas dan memakainya sesuai kebutuhan. Kadang seorang Mangun bergaya, seperti seorang kakek yang bercerita dengan menyenangkan kepada cucunya, misalnya dalam Burung-burung Manyar yang diselipi unsur jenaka dan riang, walaupun ada novel yang tergolong ”sulit” dicerna, seperti Durga Umayi.

Trilogi roman sejarah Rara Mendut dan novel petualangan Romo Rahadi bisa dibilang merupakan novel-novel yang paling nyaman dan mengasyikkan.

Tidak berbeda dengan penulis besar dalam sastra Indonesia, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Takdir Alisjahbana, Mangunwijaya di hampir semua karyanya juga bercerita tentang keindonesiaan, tentang terbentuknya bangsa Indonesia. Keindonesiaan ditulis melalui pemikirannya yang kritis. Tanpa gentar ia mengungkap sisi lain dari kebanyakan kisah-kisah sejarah yang luput diceritakan. Misalnya, meski kini bangsa Indonesia sudah lama mengenyam kemerdekaan dan tidak lagi dikungkung penjajahan fisik, tetapi cerita Durga Umayi tetap relevan. Kolonialisme gaya baru, modernitas, dan kapitalisme global kini yang memperkosa Indonesia.

Dalam novel “Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa”, sikap Mangunwijaya terhadap penjajahan jelas terlihat. Ikan hiu, ido, dan homa ialah proses makan dan dimakan. Ikan besar (hiu) memakan ikan kecil (ido), ikan kecil (ido) memakan ikan lebih kecil (homa).

Bagi saya, membaca karya Romo Mangun juga mengantar kita belajar memahami persoalan-persoalan kunci dunia melalui pengalaman Indonesia, seperti kolonialisme, modernitas, dan identitas yang kini menjadi pemecah belah manusia. Tampak jelas, bahwa Romo Mangun mengomunikasikan imannya lewat pelbagai tulisan yang dia hasilkan bukan?

c. Romo Mangun sebagai Arsitek:
Sebagai seorang arsitek, Romo Mangun mempunyai keistimewaan dalam dunia arsitektur Indonesia.

Hasil karya Mangunwijaya dapat menjadi contoh hasil ekspresi yang jujur dan kreatif dari jiwa dengan semangat option for the
poor: keberpihakan kepada kelompok lemah dan terpinggirkan.

Erwinthon P. Napitupulu, arsitek muda yang tengah mendokumentasikan karya-karya Mangunwijaya mengatakan di tengah diskusi yang digelar Dewan Kesenian Jakarta dalam rangka memperingati 80 tahun kelahiran Romo
Mangun di Goethe Institute, Jakarta, “seperti juga pada banyak aktivitasnya di bidang politik, pendidikan dan sastra, karya  Mangunwijaya di bidang arsitektur bukanlah menjadi tujuannya.

Baginya, arsitektur menjadi media  perjuangan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya, yakni kemanusiaan.” Mangunwijaya sebagai arsitek, misalnya, terlibat langsung dalam konflik sosial di Lembah Code ketika muncul rencana penggusuran.

Dia menggunakan arsitektur untuk membantu meredam konflik tersebut. Dia juga sempat mendesain perahu dan perpustakaan terapung untuk menjawab persoalan ketika terjadi ketidakadilan di Kedungombo (1989-1993).

Sejauh ini, tercatat 82 karya Mangunwijaya. Karya arsitektur Mangunwijaya menekankan kesederhanaan dalam penggunaan bahan bangunan. Dalam pembangunan, digunakan material dan tenaga kerja setempat. Bangunan menjadi kontekstual sehingga sesuai dengan kondisi Indonesia.

Contoh lain, dalam desain-desain rumah ibadah seperti Gereja, ciri yang menonjol ialah keterbukaan bangunan sehingga Gereja menjadi bagian dari komunitas setempat. Romo Mangun sendiri telah berhasil meraih dua kali IAI Award dan Aga Khan Award untuk ketiga buah karyanya, yakni: Perkampungan
Kali Code, tempat ziarah Sendang Sono, serta Biara Trapis Gedono.

Buah karyanya sarat dengan pesan, baik dari segi konsep maupun teknik, dan kerap disebut sebagai “Arsitektur Nusantara” karena tidak harus mengacu ke gaya-gaya arsitektur tertentu. Mangunwijaya (1985) selalu  mengingatkan lewat bukunya “Wastu Citra”, bahwa ternyata bangunan punya citra tersendiri, mewartakan mental, dan jiwa pembuatnya. Ternyata pula bila sang arsitek hendak berarsitektur sebaiknya ada kecenderungan lebih mendalami yang berhubungan dengan mental, kejiwaan, serta kebudayaan setempat.

Di tengah kiprahnya berkarya, beliau masih prihatin terhadap bidang arsitektur yang lebih banyak berpihak pada orang mampu daripada orang tidak mampu sehingga hal ini mendorong beliau dengan sadar melepaskan atribut keprofesian atau melepas embel-embel IAI di belakang namanya.

Kepedulian beliau ini dapat kita lihat dari hasil karyanya sebuah perumahan untuk kaum papa di Kali Code, Yogyakarta. Jelasnya, lewat pelbagai karyanya inilah, Romo Mangun sungguh membagikan imannya yang mau bersolider dengan masyarakat sekitarnya.

C.
Epilog

Sebagai penutup, saya kutipkan sepenggal sajak indah dari nenek moyang kita, yang dituliskan kembali oleh Mangunwijaya dalam bukunya Wastu Citra (hal 2):

“Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadag lan batine, pepindhane wadhah lan isine ...” (Yang disebut hidup sejati tak lain adalah leburnya tubuh jasmani
dengan batinnya).

Gereja pun diajaknya mencapai hidup sejati, maka Mangunwijaya pun dengan lantang menyerukan hati nurani kemanusiaan kepada seluruh warga Gereja.

“Di Asia, khususnya di Indonesia, manusia kecil, lemah, miskin umumnya tidak dihargai. Yang dihargai ialah mereka yang kaya dan berkuasa ... Hukum rimba: siapa kuat, dia
menang. Hukum ini nyata hidup dalam keseharian manusia, yang juga masih dianut oleh umat Katolik Indonesia.”11

“Kelakar adalah kelakar, tidak perlu diambil serius 100 %. Namun, setiap rohaniwan Gereja Katolik (yang nota bene terkenal sebagai agama yang kaya raya dan kuasa) sedikit banyak telah “terperangkap” dalam suatu sistem yang memang memberinya kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum miskin, tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”12

Tampak jelas, keberpihakan Romo Mangun kepada kaum miskin adalah sesuatu yang digulat-geliati seumur hidupnya terus-menerus. Hidup Romo Mangun seakan-akan menjadi sebuah usaha yang tiada henti untuk memperjuangkan kaum miskin, lemah, kecil, dan tersingkir ini.

Jelaslah dia benar-benar mencari hidup yang sejatinya, dan bisa jadi bagi banyak orang, Romo Mangun memang “hadir untuk memberi”.

======

“Memanglah ada dua paradigma dan pengertian dan pengartian dasar politik.

Yang pertama lebih terkenal dan biasanya dikira satu-satunya, yakni politik dalam aspek kekuasaan; penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan, pertahanan, perebutan, penikmatan, pelestarian, status quo kekuasaan, dan seterusnya; pendek kata, segala yang menyangkut power atau kekuasaan; termasuk kekuasaan mental, spiritual, rohani, agama, yakni yang berciri pemaksaan atau hegemoni kehendak oleh pihak yang lebih kuat kepada yang lemah.

Lazimnya khalayak ramai mengartikan politik melulu dalam arti pertama ini sehingga ada ucapan yang terbang di mana-mana: “politik itu kotor”.

Namun bagi orang terpelajar, ada politik berparadigma ke-2 yang sebenarnya lebih asli dan otentik, bisa ilmiah tetapi dengan praksis, ataupun sesuai kodrat alam manusia dan masyarakat, (tetapi kurang terkenal populer), yakni politik dalam arti: segala usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum; jasmani dan rohani.

Bukan untuk kepentingan golongan saya atau faksi dia, atau partai itu atau umat agama tertentu, akan tetapi demi kepentingan dan kesejahteraan umum, semua warga bahkan universal semua bangsa, tanpa pandang siapa dan golongan, luas; misalnya, sila ke-2 (kemanusiaan yang adil dan beradab), sila ke-5 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat).

Juga demi perdamaian, kemerdekaan dan nilai-nilai moral, kebenaran, dan sebagainya demi tata hidup bersama yang membangun iklim budaya mulia, budi pekerti tinggi, yang menyemarakkan kesetiakawanan dan menumpas egoisme, individualis maupun kolektivisme yang mencekik serta penghapusan hukum rimba survival of the fittest, dan sebagainya, dan seterusnya. Ini politik dalam arti asli kodrat alami, demi kehidupan dan penghidupan bersama yang sejahtera umum atau politik dalam dimensi moral dan iman." (YB. Mangunwijaya).”13

Salam HIKers,
Tuhan memberkati & Bunda merestui
Fiat Lux - Be the Light -
Jadilah Terang!
(Gen 1:3)

Catatan-catatan:
1. Biografi Romo Mangun ini disusun dari data yang ada, terutama dari Y.B.
Mangunwijaya. Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999.
2. “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
Hal. 59-60.
3. “Saya Tak Mau Jadi Godfather” dalam Y.B. Mangunwijaya. Saya Ingin
Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 28.
4. YB. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997.
Halaman sampul bagian belakang.
5. “Bukan Sekadar Politik Rohaniwan Biasa” dalam Y.B. Priyanahadi et all.
Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal.
318-319.
6. Jennifer Lindsey. “Y.B. Mangunwijaya Hati Nurani Bangsa” dalam Y.B.
Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999. Hal. 111.
7. A. Supratiknya dan A. Atmadi. “Romo Mangun sebagai Guru” dalam Y.B.
Priyanahadi et all. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta:
Kanisius. 1999. Hal. 161.
8. Bdk. A. Supratiknya dan A. Atmadi. Ibid. Hal. 171-172.
9. Y.B. Mangunwijaya. Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997.
Hal. xi-xii.
10. “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
Hal. 61.
11. “Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia” dalam Y.B. Mangunwijaya.
Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal.
17-18.
12. “Anawim” dalam Y.B. Mangunwijaya. Memuliakan Allah, Mengangkat
Manusia. Yogyakarta: Kanisius. 1999. Hal. 30.
13. “Rohaniwan Tak Boleh Berpolitik?” dalam Y.B. Mangunwijaya. Politik
Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti. 1997. Hal. 90-91. Cypriano

1.2.19

Misa Jumad Pertama 1 Pebruari 2019

VOXRATEWATI.Com.


Gambar Insert: diambil dari fanpage Keuskupan Jakarta

Renungan ini diposkan kembali Dari akun Facebook RD Hans Wijaya

Lentera Keluarga
Tahun C-1. Masa Biasa. PW. S. Yohanes Bosco.
Jumat, 01 Februari 2019
Jangan Melepaskan Kepercayaanmu
Bacaan: Ibr 10:32-39; Mzm 37:3-4.5-6.23-24.39-40; Mrk 4:26-34.

Renungan
Surat kepada orang Ibrani meneguhkan orang-orang yang percaya: "setelah kamu menerima terang, kamu banyak menderita karena kamu harus bertahan dalam perjuangan yang berat...jangalah melepaskan kepercayaanmu."  Karena kepercayaan memberikan kepada jaminan hidup.
Pilihan untuk mengikuti Kristus itu kadang lebih membawa resiko daripada sukacita. Kadang kita diberi iming-iming; atau kalau iming-iming tidak mempan, maka muncullah ancaman-ancaman dengan satu tujuan yaitu meninggalkan iman.  Namun godaan yang terbesar itu bukan berasal dari luar tetapi dari dalam diri kita sendiri: kita meragukan kebenaran iman kita sendiri. Dasar iman kita sendiri tidak kokoh karena kita kurang mengalami (bukan hanya memahami) apa yang kita imani. Tuhan mengajak kita untuk tekun dalam iman.
Banyak orang mengalami pemulihan hidup dari masa lalu tetapi kadang kurang mempunyai ketekunan untuk berbuat benar terlebih lagi ketika maksudnya dicuekin, ditolak, dianggap pura pura dlsb. Ketekunan setidaknya dapat membuat kita menang melawan kecenderungan buruk dalam hidup kita dan memulihkan relasi yang telah retak-rusak.

Kontemplasi
Gambarkan  bagaimana Surat kepada orang Kbrani memberikan semangat untuk setia pada iman denga  ketekunan?

Refleksi
Apakah aku melihat iman sebagai harta yang berharga dan memeliharanya dengan ketekunan?

Doa
Ya Bapa semoga aku senantisa setia kepadaMu dalam situasi apopub.

Perutusan
Bertekunlah dalam iman  (Morist MSF).