23.11.22

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN NONFORMAL WUJUD KEBERPIHAKAN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA

Oleh:

 Siprianus Wara, M.Pd

            Gambar:   WWW.Google.com


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang

 

Pendidikan merupakan hak yang harus dimiliki oleh setiap individu yang merupakan salah satu pilar utama pembangunan nasional adalah sektor pendidikan. Melalui Pendidikan, Negara dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berimplikasi pada kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itulah pemerintah selaku penyelenggara negara harus memenuhi hak setiap warga negaranya dalam memperoleh layanan pendidikan sebagaiman diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.

Melihat sedemikian pentingnya peran pendidikan,  maka, pemerintah menyelenggarakan pendidikan non formal salah satunya program pendidikan kesetaraan atau lebih dikenal program paket A setara SD/Mi, paket B/SMP/MTS dan Paket C setara SMA/MA yang bertujuan “ Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dasar dan menengah ke seluruh pelosok negeri. Sudjana, (2004). Penyelenggaraan  program pendidikan kesetaraan secara tegas diatur dalam Undang-undang sistem pendidik nasional (UU Sisdiknas)  No. 20 tahun 2003 pasal 13 ayat 1, 17 dan 18 menyatakan” Pendidikan yang sederajat dengan SD/MI aadalah program paket A dan yang sederajat dengan SMP/MTs adalah program paket B, sedangkan pendidikan yang sederajat dengan SMA/MA adalah program paket C.

Penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan dikelolah oleh lembaga terkait yaitu Dirjen Pendidik Anak Usia Dini, Non formal dan Informal yang secara eksplis dalam landasan penyelenggaraannya menyatakan bahwa “ semua warga negara harus mendapatkan ilmu dan memilki ijzah karena  program pendidikan kesetaraan merupakan lembaga yang mengakomodir  permasalahan pendidikan dasar dan menengah baik kaitannya dengan putus sekolah, masalah ekonomi, akses pendidikan, masalah sosial, dan sebagainya sehingga masyarakat tidak mendapatkan layanan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang – undang maka disitulah tujuan utama penyelenggaraan program kesetaraan” ( Dirjen PAUDINI, 2013). Lebih lanjut terkait tenaga pendidik dan kependidikan program pendidikan kesetaraan diatur dalam Permen No.39 tahun 2000 pasal 20 ayat 2 “. Dalam penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan sistem pendanaan walaupun terbatas namun telah diatur pendanaan berupa bantuan langsung (blockgrant) untuk membiayai kegiatan operasional penyelenggaraan program kesetaraan namun dana sangat terbatas ( Dirjen PAUDNI, 2013).

Dari gambaran umum di atas, ternyata dalam penyelenggaraannya, program pendidikan kesetaraan di Indonesia masih mengalami sejumlah permasalahan seperti dikemukakan oleh ( Supardie, (2014),  terkait dengan  belum tercapainya tujuan pndidikan untuk semua (education for all) , ketersediaan tenaga pendidik dan kependidikan yang belum professional dalam artian latar belakang pendidikan belum sesuai bidang garapan. Disisi lain seperti yang dikemukakan oleh  Hiryanto (2009) belum adanya kejelasan standar penjamin mutu pendidikan kesetaraan, dan dipertegas oleh Siswantari, ( 2011) bahwa penyelenggaraan program kesetaraan tidak dikelolah secara berkelanjutan dan  juga  keterbatasan dana dalam mengelolah program sebagaimana yang diatur dalam landasan  penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan itu sendiri.

 

1.2.   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang menjadi pembahasan utama dalam makalah ini sebagai berikut;

a.    Apakah program pendidikan kesetaraan sudah menjawabi konsep pendidikan untuk semua (education for all)?

b.   Apakah latar belakang pendidikan tenaga pendidik dan kependidikan pada pendidikan kesetaraan sudah sesuai bidang garapannya?

c.    Bagaimanakah standar penjamin mutu pendidikan pada program pendidikan kesetaraan?

d.   Bagaimanakah  alokasi dana dari pemerintah dalam pengelolaan program pendidikan kesetaraan?

e.    Mengapa penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan tidak dikelolah secara berkelanjutan?

 

1.3.   Tujuan Penulisan

Adapun beberapa tujuan dalam pembuatan makalah ini sebagai berikut:

a.    Memenuhi tugas mata kuliah Landasan Ilmu Pendidikan

b.   Menanggapi isu strategis terkait masalah pendidikan nasional dan berusaha memahami pokok persoalan yang tengah dihadapi.

1.4. Manfaat Penulisan

a.    Manfaat Teoritis

Secara teoritis makalah ini bermanfaat untuk mengembangkan keilmuan keterkaitannya dengan landasan ilmu pendidikan yakni konsep pendidikan nonformal ( pendidikan kesetaraan)

Pemahaman terhadap isu strategis masalah pendidikan terlebih khusus penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan.

b.   Manfaat Praktis

Bagi penulis

Penulis sebagai seorang guru, dapat memahami lebih jauh terkait  masalah pendidikan kesetaraan di masyarakat.

Bagi Siswa dan masyarakat

Hasil tulisan ini dapat membantu para siswa maupun masyarakat umum yang belum ataupun tidak mendapat bagian dalam pendidikan formal perlu menyadari ada begitu banyak lembaga pendidikan nonformal yang tersedia untuk meningkatkan keterampilan yang bisa berorientasi di dunia kerja.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1. Program pendidikan kesetaraan belum menjawabi masalah pendidikan di Indonesia

 

Salah satu pilar utama pembangunan nasional adalah sektor pendidikan. Melalui Pendidikan, negara dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berimplikasi pada kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti; bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itulah pemerintah selaku penyelenggara negara harus memenuhi hak setiap warga negaranya dalam memperoleh layanan pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Akan tetapi semua rumusan terkait pemerataan layanan pendidikan, mempermudah askses pendidikan, pemecahan persoalan kesenjangan dalam layanan pendidikan dalam kenyataanya masih jauh dari apa yang diharapkan. Penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan belum bisa mengatasi masalah pendidikan yang tengah dihadapi bangsa ini. Adapun pokok persoalan yang harus diselesaikan secara seksama dan proporsional yaitu sebagai berikut;

 

2.1.1. Penyelenggaraan Program Pendidikan Kesetaraan Bersifat Proyek Semata

 

Penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan pada dasarnya untuk pencapaian tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanakant oleh undang- undang RI Tahun 2003 pasal 26; ayat 1,3,6; bahwa “ pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penanmbah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat (lifelong education) dan lebih lanjut dijabarkan bahwa salah satu bentuk pendidikan  non formal adalah program pendidikan kesetaraan.

Namun penyelenggaraan pendidikan kesetaraan di Indonesia dalam kenyataannya hanya bersifat proyek semata, dalam hal ini pemerintah selaku penyelenggara, hanya menyalurkan program tidak secara berkelanjutan sehingga keberadaan program ini hampir tidak dirasakan pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar, (Aswendo, (2014). Hal ini senada dengan apa yang dikaji Fathurohman, (2012) bahwa penyelenggaraan program paket, rata – rata terancam untuk ditutup karena hasilnya kurang signifikan. Selanjutnya program ini banyak mendapat sorotan dari lembaga pendidikan formal karena sistem pendidikannya yang cukup mudah dan tidak memberatkan peserta, serta lulusan program ini tidak mampu untuk menguasai teknologi bahkan materi yang disampaikan tidak dikuasai dengan sempurna. Persoalan tersebut tentunya harus  segera diselesaikan secara mendasar dan menyeluruh.

 

2.1.2.Ketersediaan tenaga pendidik dan kependidikan belum sesuai bidang garapannya.

 

Dalam Undang- undang No. 2o Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dikemukan bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Jalur pendidikan nasional terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pasal 1 ayat 2 berbunyi pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD1945 yang berakar pada nilai- nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap perubahan zaman. Pada ayat 5 berbunyi Tenaga pendidik dan kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan. dan dalam Undang – undang RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen  Pasal 8 berbunyi Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani maupun rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 10 berbunyi kompetensi guru mencakup pedagogik, kepribadian, sosial dan professional. Dari semua aturan yang telah ditetapkan masih banyak kekurangan terkait syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik maupun tenaga kependidikan dalam program pendidikan kesetaraan. Tenaga pengajar atau tutor yang direkrut kebanyakan berasal dari para guru yang mengajar di lembaga pendidikan formal.

 

2.1.3.  Program Pendidikan Kesetaraan Hanya Menunjukan Kesuksesan Pengentasan Jumlah Buta Aksara.

Salah satu tujuan penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan adalah pengentasan buta aksara. Hal ini telah diatur dalam undang-undand Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 5 ayat (1,5), setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut pada pasal 13 ayat 1, jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, nonformal dn informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.

Dari kebijakan – kebijakan yang telah ditetapkan dia atas, maka Musaheri (2007). mengemukakan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan yakni memberantas buta aksara dan menjadikan manyarakat untuk dapat membaca, menulis, berhitung serta memiliki pengetahuan dan teknologi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Namun dalam pelaksanaan ada begitu banyak harapan yang semestinya bisa terpenuhi dalam penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan, dimana keterampilan dan pengetahuan mesti diperoleh dan wajib dimiliki oleh  siswa/masyarakat belajar. Ada begitu banyak persoalan seperti keterampilan yang belum memadai, penguasaan akan teknologi, dan juga kualitas lulusan namun telah lulus dan meiliki sertifikat atau ijazah. Dari kenyataan ini, hasil kajian yang dilakukan Aswendo, (2012) bahwa penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan tidaklah lebih dari pengklaiman pemerintah akan jumlah buta aksara dari tahun ke tahun penurunannya cuku signifikan.

2.1.4. Penyelenggaraan pendidikan program Kesetaraan Hanya Mengejar Ijazah.

 

Sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 6 bahwa hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar pendidikan nasional. Namun dalam prakteknya bahwa masih adanya anggapan negative dari masyarakat yang menilai bahwa penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan selama ini terkesan hanya mengejar ijazah semata. Hal ini didasarkan apa yang dilaksanakan belum sesuai dengan tujuan dari penyelenggaraan program tersebut.

Ada begitu banyak warga belajar yang mendaftar sebagian besar dari mereka adalah yang sudah bekerja atau para PNS dengan golongan/pangkat yang rendah sehingga mereka perlu menempuh program paket demi penyesuaian sesuai dengan tingkat pendidikan terakhir mereka. Persoalan ini seperti apa yang dikemukakan oleh Supriadie, (2014) bahwa yang mendapatkan keuntungan dari penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan adalah masyarakat yang sudah bekerja atau para PNS yang diangkat dengan ijazah pendidikan SD/SMP yang membutuhkan penyesuaian untuk mendapat pangkat/golongan sesuai pendidikan terakhir mereka. Maka jelaslah bahwa kenyataan- kenyataan itulah yang menyebabkan pandangan terhadap program paket yakni hanya mengejar ijazah semata.

 

2.2. Penetapan standar penjamin mutu pendidikan program pendidikan kesetaraan belum ada kejelasan.

Pedoman dasar penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan salah satunya mengacu pada undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 6 bahwa setiap peserta didik yang lulus ujian kesetaraan paket A, B dan C mempunyai hak eligibilitas yang sama dan setara dengan pemegang ijazah SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA untuk dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi, dan mereka memiliki hak yang sama dalam memasuki dunia kerja. Lebih lanjut ditegaskan dalam Inpres No.5 Tahun 2005 tentang gerakan nasional percepatan wajib belajar 9 tahun dan pemberatasan buta aksara. Namun dalam penyelenggarannya belum dijalankan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut.

 

 

 

 

2.2.1. Masyarakat Tetap Saja Memandang Rendah Lulusan Pendidikan Kesetaraan

Keberadaan para lulusan program pendidikan kesetaraan di tengah masyarakat maupun di dunia kerja kerap kali menjadi sorotan terutama kualitas dan keterampilan yang dimiliki. Walaupun ada  para lulusan memiliki keterampilan dan kemampuan yang baik namun secara umum masih dipandang rendah atau selalu dinomor duakan dalam perekrutannya. Hal ini senada dengan analisis SWOT yang dilakukan oleh Fathurohman, (2012) bahwa berlakunya ijazah antara program paket dan pendidikan formal sama, namun tetap saja lulusan program kejar paket selalu menjadi nomor dua. Hal ini merupakan anggapan masyarakat kebanyakan yang melihat keberadaan program pendidikan kesetaraan biasa saja. Maka dari itu perlu adanya perbaikan dan pembenahan dalam sistem penyelenggaraan program ini, agar dapat meyakini masyarakat bahwa program ini sebagai salah satu pilar pendidikan nasional.

2.2.2. Program Paket Hanya Menyelenggarakan Ujian Dari Pada Tutorial

Program pendidikan kesetaraan pada esensinya memiliki standar kompetensi lulusan yang ingin dicapai adalah sama dengan pendidikan formal. Perbedaan dari kedua lembaga pendidikan ini hanya pada proses pembelajaran yang menekankan pada kemampuan belajar mandiri setara memberikan akan pengakuan terhadap pengetahuan dan kecakapan hidup yang diperoleh seseorang baik secara mandiri atau pun dari nara sumber lainnya. Akan tetapi fakta di lapangan sangat berbeda, adanya anggapan masyarakat belajar “ lebih baik tunggu ujian” yang disampaikan dengan pelbagai alasan. Selain itu, secara mendasar bahwa penyelenggaraan program kesetaraan memiliki landasan hokum yakni Permen No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar bagi peserta didik program paket A, B, dan C serta kalender pendidikan pada program paket itu sendiri. Maka, dengan demikian semua kegiatan pembelajaran harus memenuhi apa yang menjadi sasaran penyelenggaraan itu sendiri.

Meskipun telah diatur sedemikian rupa oleh pemerintah, kegiatan pembelajaran atau tutorial dalam prakteknya selalu di abaikan oleh siswa atau warga belajar. Persoalan ini tidak lagi dipungkiri dalam penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan. Ada banyak alasan seperti tidak ada waktu, ada kegiatan ini dan itu bahkan berprinsip tunggu dekat ujian baru mengikuti  kegiatan tutorial. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Aswendo,( 2012) bahwa fenomena yang timbul bahkan menjadi kebiasaan dalam penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan yakni adanya kecenderungan siswa/warga belajar selalu meniadakan kegiatan tutorial dan hanya mengikuti ujian.

 

 

2.3. Pengalokasian Dana Pada Program Pendidikan Kesetaraan Selalu Dinomor duakan.

Semua pendanaan dalam penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan pertama dan utama adalah tanggung jawab pemerintah baik yang bersumber dari APBN, APBD dan swadaya masyarakat atau sumber dana lain yang tidak mengikat. Dalam Permen No. 48 Tahun 2008 pasal 51 ayat (5) bahwa dana pendidikan penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat bersumber dari; pemerintah, pemerintah daerah, bantuan pihak asing yang sifatnya tidak mengikat atau pun pungutan dari orang tua atau wali sesuai peraturan perundang – undangan dan atau sumber lain yang sah. Lebih lanjut Dirjen PAUDNI (2013) memaparkan bahwa salah satu bentuk pendanaan untuk menunjang pelaksanaan program pendidikan kesetaraan yakni adanya bantuang langsung (blockgrant) namun jumlahnya masih terbatas. Dari apa yang telah diamanatkan oleh undang – undang, pengalokasian dana pendidikan semestinya merata. Namun dalam pengalokasiannya, pendidikan nonformal selalu dinomorduakan dalam artian masih mengalami keterbatasan dana.

Dalam penyelenggaraannya, program pendidikan kesetaraan selalu mengalami permasalahan terutama soal pendanaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Fathurohman (2012) bahwa pengalokasian dana pendidikan pada lembaga pendidikan program kesetaraan selalu dinomorduakan. Kenyataan terbatasnya dana bukan menjadi hal baru namun masalah tersebut terus dialami dari tahun ke tahun dalam penyelenggaraan  program pendidikan kesetaraan.

 

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kehidupan global yang semakin kompetitif, pendidikan hendaklah dipandang sebagai media yang dapat mengakomodir pelayanan kepada masyarakat yang dapat memberikan kualitas hidup yang baik. Pendidikan dapat menciptakan tenaga kerja yang tidak hanya  kaya akan pengetahuan secara teoritis melaikan juga praktis atau keterampilan seperti penguasaan teknologi. Hal inilah yang menjadi pedoman dalam manajemen pendidikan dan peningkatan pendidikan secara berkesinambungan.

Pemerataan pendidikan di seluruh wilayah negeri Indonesia masih menjadi persoalan serius yang harus segera teratasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dalam rangka menjawabi semuanya ini, tidak hanya bertumpu pada pendidikan formal namun juga pendidikan nonformal dan informal. Melihat sedemikian pentingnya peran pendidikan,  maka, pemerintah menyelenggarakan pendidikan non formal salah satunya program pendidikan kesetaraan atau lebih dikenal program paket A setara SD/Mi, paket B/SMP/MTS dan Paket C setara SMA/MA yang bertujuan “ Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dasar dan menengah ke seluruh pelosok negeri. Sudjana, (2004).

Pencapaian tujuan pendidikan terutama pemerataan layanan pendidikan ini harus terus didorong dengan memperhatikan ketersediaan pendidikan, sarana pendidikan yang memadai, infrastruk jalan dan penerangan, kepedulian masyarakat dan masih banyak aspek yang harus dipenuhi. Dengan demikian peningkatan keterampilan hidup akan berdampak pula pada peningkatan dan kesejateraan hidup dalam ekonomi dan juga kesehatan.

3.2. Saran

 

a. Bagi Pemerintah

Pemerintah sebagai otoritas dalam menyelenggarakan program pendidikan kesetaraan hendaklah sungguh memperhatikan keberlanjutan program, ketersediaan dana dan sarana serta mempersiapkan tenaga pendidik dan kependidikan yang profesioanal agar program kesetaraan memiliki kualitas yang sama dengan pendidikan formal.

 

b.Bagi Masyarakat

Masyarakat sebagai sasaran penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan hendaknya menyadari akan layanan program ini yang dapat  mengembangkan keterampilan demi meningkatkan kualitas hidup mereka.S

REFERENSI

 

Aswendo,D.(2012) Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Non Formal. WWW.rumahbelajar.web id/2015/08/19.

Depertemen Pendidikan Nasional Undang – undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta.

Depdiknas Dirjen PLS (2004) Seri Pedoman Program Pendidikan Kesetaraan, Jakarta: Depdiknas

Kemendikbud. (2013)  Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal dan Informal. Diakses dari; Https//id.wikipedia.org.

Fathurohman,M.(2012) Pendidikan Non Formal di Indonesia dan Tantangannya.  Diakses dari; WWW.rumahbelajar.web id/2015/08/19.

Hiryanto, M.S. (2009) Meningkatkan Efektivitas Pendidikan Non Formal Dalam.  Diakses dari; Http// staff.UNY.ac.id.

Siswantari, ( 2011),  Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan pada Pendidikan Non Formal, Pusat penelitian kebijakan, Balitbang Kemendiknas.

Sudjana, (2004), Pendidikan Non Formal, Bandung: Falah Production

Supriadie.D. (2012), Tenaga PLS Profesional Masa Depan, Diakses dari Infomediakita.Blogspot.co.id/2010. Pendidikan-nonformal.html

 

Data empirik relevan dengan topic makalah

An Investigation of Impact of Nonformal Education on Indian Rural Development By Annapurna G. Murthy. 1978

Nonformal Education; A Remedy for Education and Development Crisis in Third World Countries. 1982

“ The Impact of Nonformal education program; A case study of Nothern Ghana

By Obed Mfum-Mensah. 2003

The Impact of the nonformal education programs on Human fertility in Indonesia

By Subagus. 1997

 

 

 

 

 


No comments: