BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan
merupakan hak yang harus dimiliki oleh setiap individu yang merupakan salah satu pilar utama
pembangunan nasional adalah sektor pendidikan. Melalui Pendidikan, Negara dapat
meningkatkan sumber daya manusia yang berimplikasi pada kemajuan di berbagai
bidang kehidupan seperti, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itulah pemerintah
selaku penyelenggara negara harus memenuhi hak setiap warga negaranya dalam
memperoleh layanan pendidikan sebagaiman diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Melihat
sedemikian pentingnya peran pendidikan, maka, pemerintah menyelenggarakan pendidikan non
formal salah satunya program pendidikan kesetaraan atau lebih dikenal program paket
A setara SD/Mi, paket B/SMP/MTS dan Paket C setara SMA/MA yang bertujuan “
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dasar dan menengah ke seluruh pelosok
negeri. Sudjana, (2004). Penyelenggaraan
program pendidikan kesetaraan secara tegas diatur dalam Undang-undang
sistem pendidik nasional (UU Sisdiknas)
No. 20 tahun 2003 pasal 13 ayat 1, 17 dan 18 menyatakan” Pendidikan yang
sederajat dengan SD/MI aadalah program paket A dan yang sederajat dengan
SMP/MTs adalah program paket B, sedangkan pendidikan yang sederajat dengan
SMA/MA adalah program paket C.
Penyelenggaraan
program pendidikan kesetaraan dikelolah oleh lembaga terkait yaitu Dirjen
Pendidik Anak Usia Dini, Non formal dan Informal yang secara eksplis dalam
landasan penyelenggaraannya menyatakan bahwa “ semua warga negara harus
mendapatkan ilmu dan memilki ijzah karena
program pendidikan kesetaraan merupakan lembaga yang mengakomodir permasalahan pendidikan dasar dan menengah
baik kaitannya dengan putus sekolah, masalah ekonomi, akses pendidikan, masalah
sosial, dan sebagainya sehingga masyarakat tidak mendapatkan layanan pendidikan
sebagaimana yang diamanatkan oleh undang – undang maka disitulah tujuan utama
penyelenggaraan program kesetaraan” ( Dirjen PAUDINI, 2013). Lebih lanjut
terkait tenaga pendidik dan kependidikan program pendidikan kesetaraan diatur
dalam Permen No.39 tahun 2000 pasal 20 ayat 2 “. Dalam penyelenggaraan program
pendidikan kesetaraan sistem pendanaan walaupun terbatas namun telah diatur
pendanaan berupa bantuan langsung (blockgrant) untuk membiayai kegiatan
operasional penyelenggaraan program kesetaraan namun dana sangat terbatas (
Dirjen PAUDNI, 2013).
Dari
gambaran umum di atas, ternyata dalam penyelenggaraannya, program pendidikan
kesetaraan di Indonesia masih mengalami sejumlah permasalahan seperti dikemukakan
oleh ( Supardie, (2014), terkait
dengan belum tercapainya tujuan
pndidikan untuk semua (education for all) , ketersediaan tenaga pendidik dan
kependidikan yang belum professional dalam artian latar belakang pendidikan
belum sesuai bidang garapan. Disisi lain seperti yang dikemukakan oleh Hiryanto (2009) belum adanya kejelasan
standar penjamin mutu pendidikan kesetaraan, dan dipertegas oleh Siswantari, (
2011) bahwa penyelenggaraan program kesetaraan tidak dikelolah secara
berkelanjutan dan juga keterbatasan dana dalam mengelolah program
sebagaimana yang diatur dalam landasan
penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan itu sendiri.
1.2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang menjadi
pembahasan utama dalam makalah ini sebagai berikut;
a. Apakah
program pendidikan kesetaraan sudah menjawabi konsep pendidikan untuk semua (education
for all)?
b. Apakah
latar belakang pendidikan tenaga pendidik dan kependidikan pada pendidikan
kesetaraan sudah sesuai bidang garapannya?
c. Bagaimanakah
standar penjamin mutu pendidikan pada program pendidikan kesetaraan?
d. Bagaimanakah alokasi dana dari pemerintah dalam
pengelolaan program pendidikan kesetaraan?
e. Mengapa
penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan tidak dikelolah secara
berkelanjutan?
1.3. Tujuan
Penulisan
Adapun
beberapa tujuan dalam pembuatan makalah ini sebagai berikut:
a.
Memenuhi tugas mata kuliah Landasan Ilmu
Pendidikan
b.
Menanggapi isu strategis terkait masalah
pendidikan nasional dan berusaha memahami pokok persoalan yang tengah dihadapi.
1.4.
Manfaat Penulisan
a. Manfaat
Teoritis
Secara
teoritis makalah ini bermanfaat untuk mengembangkan keilmuan keterkaitannya
dengan landasan ilmu pendidikan yakni konsep pendidikan nonformal ( pendidikan
kesetaraan)
Pemahaman
terhadap isu strategis masalah pendidikan terlebih khusus penyelenggaraan
program pendidikan kesetaraan.
b. Manfaat
Praktis
Bagi
penulis
Penulis sebagai seorang guru, dapat memahami
lebih jauh terkait masalah pendidikan kesetaraan
di masyarakat.
Bagi Siswa dan masyarakat
Hasil tulisan ini dapat membantu para
siswa maupun masyarakat umum yang belum ataupun tidak mendapat bagian dalam
pendidikan formal perlu menyadari ada begitu banyak lembaga pendidikan
nonformal yang tersedia untuk meningkatkan keterampilan yang bisa berorientasi
di dunia kerja.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Program pendidikan kesetaraan belum menjawabi masalah pendidikan di
Indonesia
Salah
satu pilar utama pembangunan nasional adalah sektor pendidikan. Melalui
Pendidikan, negara dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berimplikasi
pada kemajuan di berbagai bidang kehidupan seperti; bidang sosial, ekonomi,
politik, dan budaya. Karena itulah pemerintah selaku penyelenggara negara harus
memenuhi hak setiap warga negaranya dalam memperoleh layanan pendidikan
sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Akan tetapi semua rumusan
terkait pemerataan layanan pendidikan, mempermudah askses pendidikan, pemecahan
persoalan kesenjangan dalam layanan pendidikan dalam kenyataanya masih jauh
dari apa yang diharapkan. Penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan belum
bisa mengatasi masalah pendidikan yang tengah dihadapi bangsa ini. Adapun pokok
persoalan yang harus diselesaikan secara seksama dan proporsional yaitu sebagai
berikut;
2.1.1. Penyelenggaraan Program Pendidikan
Kesetaraan Bersifat Proyek Semata
Penyelenggaraan
program pendidikan kesetaraan pada dasarnya untuk pencapaian tujuan pendidikan
nasional sebagaimana yang diamanakant oleh undang- undang RI Tahun 2003 pasal
26; ayat 1,3,6; bahwa “ pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penanmbah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat (lifelong education) dan lebih lanjut dijabarkan
bahwa salah satu bentuk pendidikan non
formal adalah program pendidikan kesetaraan.
Namun
penyelenggaraan pendidikan kesetaraan di Indonesia dalam kenyataannya hanya
bersifat proyek semata, dalam hal ini pemerintah selaku penyelenggara, hanya
menyalurkan program tidak secara berkelanjutan sehingga keberadaan program ini
hampir tidak dirasakan pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar, (Aswendo,
(2014). Hal ini senada dengan apa yang dikaji Fathurohman, (2012) bahwa penyelenggaraan
program paket, rata – rata terancam untuk ditutup karena hasilnya kurang
signifikan. Selanjutnya program ini banyak mendapat sorotan dari lembaga
pendidikan formal karena sistem pendidikannya yang cukup mudah dan tidak
memberatkan peserta, serta lulusan program ini tidak mampu untuk menguasai
teknologi bahkan materi yang disampaikan tidak dikuasai dengan sempurna.
Persoalan tersebut tentunya harus segera
diselesaikan secara mendasar dan menyeluruh.
2.1.2.Ketersediaan
tenaga pendidik dan kependidikan belum sesuai bidang garapannya.
Dalam
Undang- undang No. 2o Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dikemukan
bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang
saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Jalur
pendidikan nasional terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang
dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pasal 1 ayat 2 berbunyi pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD1945 yang berakar
pada nilai- nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap
perubahan zaman. Pada ayat 5 berbunyi Tenaga pendidik dan kependidikan adalah
anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan. dan
dalam Undang – undang RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Pasal 8 berbunyi Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani maupun
rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal
10 berbunyi kompetensi guru mencakup pedagogik, kepribadian, sosial dan
professional. Dari semua aturan yang telah ditetapkan masih banyak kekurangan
terkait syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik maupun tenaga kependidikan
dalam program pendidikan kesetaraan. Tenaga pengajar atau tutor yang direkrut
kebanyakan berasal dari para guru yang mengajar di lembaga pendidikan formal.
2.1.3. Program Pendidikan Kesetaraan Hanya
Menunjukan Kesuksesan Pengentasan Jumlah Buta Aksara.
Salah satu tujuan penyelenggaraan
program pendidikan kesetaraan adalah pengentasan buta aksara. Hal ini telah
diatur dalam undang-undand Sisdiknas No.20 Tahun 2003 pasal 5 ayat (1,5),
setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu dan setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat. Lebih lanjut pada pasal 13 ayat 1, jalur pendidikan
terdiri dari pendidikan formal, nonformal dn informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya.
Dari kebijakan – kebijakan yang telah
ditetapkan dia atas, maka Musaheri (2007). mengemukakan bahwa salah satu tujuan
penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan yakni memberantas buta aksara dan
menjadikan manyarakat untuk dapat membaca, menulis, berhitung serta memiliki
pengetahuan dan teknologi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Namun dalam
pelaksanaan ada begitu banyak harapan yang semestinya bisa terpenuhi dalam
penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan, dimana keterampilan dan pengetahuan
mesti diperoleh dan wajib dimiliki oleh
siswa/masyarakat belajar. Ada begitu banyak persoalan seperti
keterampilan yang belum memadai, penguasaan akan teknologi, dan juga kualitas
lulusan namun telah lulus dan meiliki sertifikat atau ijazah. Dari kenyataan
ini, hasil kajian yang dilakukan Aswendo, (2012) bahwa penyelenggaraan program
pendidikan kesetaraan tidaklah lebih dari pengklaiman pemerintah akan jumlah
buta aksara dari tahun ke tahun penurunannya cuku signifikan.
2.1.4. Penyelenggaraan pendidikan
program Kesetaraan Hanya Mengejar Ijazah.
Sebagaimana
yang telah diatur dalam undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat
6 bahwa hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga
yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada
standar pendidikan nasional. Namun dalam prakteknya bahwa masih adanya anggapan
negative dari masyarakat yang menilai bahwa penyelenggaraan program pendidikan
kesetaraan selama ini terkesan hanya mengejar ijazah semata. Hal ini didasarkan
apa yang dilaksanakan belum sesuai dengan tujuan dari penyelenggaraan program
tersebut.
Ada
begitu banyak warga belajar yang mendaftar sebagian besar dari mereka adalah
yang sudah bekerja atau para PNS dengan golongan/pangkat yang rendah sehingga
mereka perlu menempuh program paket demi penyesuaian sesuai dengan tingkat
pendidikan terakhir mereka. Persoalan ini seperti apa yang dikemukakan oleh
Supriadie, (2014) bahwa yang mendapatkan keuntungan dari penyelenggaraan
program pendidikan kesetaraan adalah masyarakat yang sudah bekerja atau para
PNS yang diangkat dengan ijazah pendidikan SD/SMP yang membutuhkan penyesuaian
untuk mendapat pangkat/golongan sesuai pendidikan terakhir mereka. Maka
jelaslah bahwa kenyataan- kenyataan itulah yang menyebabkan pandangan terhadap
program paket yakni hanya mengejar ijazah semata.
2.2. Penetapan standar
penjamin mutu pendidikan program pendidikan kesetaraan belum ada kejelasan.
Pedoman
dasar penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan salah satunya mengacu pada
undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 6 bahwa setiap peserta
didik yang lulus ujian kesetaraan paket A, B dan C mempunyai hak eligibilitas
yang sama dan setara dengan pemegang ijazah SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA untuk
dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi, dan mereka memiliki
hak yang sama dalam memasuki dunia kerja. Lebih lanjut ditegaskan dalam Inpres
No.5 Tahun 2005 tentang gerakan nasional percepatan wajib belajar 9 tahun dan
pemberatasan buta aksara. Namun dalam penyelenggarannya belum dijalankan
sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut.
2.2.1. Masyarakat Tetap Saja
Memandang Rendah Lulusan Pendidikan Kesetaraan
Keberadaan para lulusan program
pendidikan kesetaraan di tengah masyarakat maupun di dunia kerja kerap kali
menjadi sorotan terutama kualitas dan keterampilan yang dimiliki. Walaupun
ada para lulusan memiliki keterampilan
dan kemampuan yang baik namun secara umum masih dipandang rendah atau selalu
dinomor duakan dalam perekrutannya. Hal ini senada dengan analisis SWOT yang
dilakukan oleh Fathurohman, (2012) bahwa berlakunya ijazah antara program paket
dan pendidikan formal sama, namun tetap saja lulusan program kejar paket selalu
menjadi nomor dua. Hal ini merupakan anggapan masyarakat kebanyakan yang
melihat keberadaan program pendidikan kesetaraan biasa saja. Maka dari itu
perlu adanya perbaikan dan pembenahan dalam sistem penyelenggaraan program ini,
agar dapat meyakini masyarakat bahwa program ini sebagai salah satu pilar
pendidikan nasional.
2.2.2. Program Paket Hanya Menyelenggarakan Ujian Dari Pada Tutorial
Program pendidikan kesetaraan pada
esensinya memiliki standar kompetensi lulusan yang ingin dicapai adalah sama
dengan pendidikan formal. Perbedaan dari kedua lembaga pendidikan ini hanya
pada proses pembelajaran yang menekankan pada kemampuan belajar mandiri setara
memberikan akan pengakuan terhadap pengetahuan dan kecakapan hidup yang
diperoleh seseorang baik secara mandiri atau pun dari nara sumber lainnya. Akan
tetapi fakta di lapangan sangat berbeda, adanya anggapan masyarakat belajar “
lebih baik tunggu ujian” yang disampaikan dengan pelbagai alasan. Selain itu,
secara mendasar bahwa penyelenggaraan program kesetaraan memiliki landasan
hokum yakni Permen No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang
memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar bagi peserta didik
program paket A, B, dan C serta kalender pendidikan pada program paket itu
sendiri. Maka, dengan demikian semua kegiatan pembelajaran harus memenuhi apa
yang menjadi sasaran penyelenggaraan itu sendiri.
Meskipun telah diatur sedemikian rupa
oleh pemerintah, kegiatan pembelajaran atau tutorial dalam prakteknya selalu di
abaikan oleh siswa atau warga belajar. Persoalan ini tidak lagi dipungkiri
dalam penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan. Ada banyak alasan seperti
tidak ada waktu, ada kegiatan ini dan itu bahkan berprinsip tunggu dekat ujian
baru mengikuti kegiatan tutorial. Hal
ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Aswendo,( 2012) bahwa fenomena yang
timbul bahkan menjadi kebiasaan dalam penyelenggaraan program pendidikan
kesetaraan yakni adanya kecenderungan siswa/warga belajar selalu meniadakan
kegiatan tutorial dan hanya mengikuti ujian.
2.3. Pengalokasian Dana Pada Program
Pendidikan Kesetaraan Selalu Dinomor duakan.
Semua pendanaan dalam penyelenggaraan program
pendidikan kesetaraan pertama dan utama adalah tanggung jawab pemerintah baik
yang bersumber dari APBN, APBD dan swadaya masyarakat atau sumber dana lain
yang tidak mengikat. Dalam Permen
No. 48 Tahun 2008 pasal 51 ayat (5) bahwa dana pendidikan penyelenggara atau
satuan pendidikan yang didirikan masyarakat bersumber dari; pemerintah,
pemerintah daerah, bantuan pihak asing yang sifatnya tidak mengikat atau pun
pungutan dari orang tua atau wali sesuai peraturan perundang – undangan dan
atau sumber lain yang sah. Lebih lanjut Dirjen PAUDNI (2013) memaparkan bahwa
salah satu bentuk pendanaan untuk menunjang pelaksanaan program pendidikan
kesetaraan yakni adanya bantuang langsung (blockgrant) namun jumlahnya masih terbatas.
Dari apa yang telah diamanatkan oleh undang – undang, pengalokasian dana
pendidikan semestinya merata. Namun dalam pengalokasiannya, pendidikan
nonformal selalu dinomorduakan dalam artian masih mengalami keterbatasan dana.
Dalam penyelenggaraannya, program
pendidikan kesetaraan selalu mengalami permasalahan terutama soal pendanaan.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Fathurohman (2012) bahwa
pengalokasian dana pendidikan pada lembaga pendidikan program kesetaraan selalu
dinomorduakan. Kenyataan terbatasnya dana bukan menjadi hal baru namun masalah
tersebut terus dialami dari tahun ke tahun dalam penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kehidupan global yang
semakin kompetitif, pendidikan hendaklah dipandang sebagai media yang dapat
mengakomodir pelayanan kepada masyarakat yang dapat memberikan kualitas hidup
yang baik. Pendidikan dapat menciptakan tenaga kerja yang tidak hanya kaya akan pengetahuan secara teoritis
melaikan juga praktis atau keterampilan seperti penguasaan teknologi. Hal
inilah yang menjadi pedoman dalam manajemen pendidikan dan peningkatan
pendidikan secara berkesinambungan.
Pemerataan pendidikan
di seluruh wilayah negeri Indonesia masih menjadi persoalan serius yang harus
segera teratasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Dalam rangka menjawabi
semuanya ini, tidak hanya bertumpu pada pendidikan formal namun juga pendidikan
nonformal dan informal. Melihat sedemikian pentingnya peran pendidikan, maka, pemerintah menyelenggarakan pendidikan non
formal salah satunya program pendidikan kesetaraan atau lebih dikenal program
paket A setara SD/Mi, paket B/SMP/MTS dan Paket C setara SMA/MA yang bertujuan
“ Pemerataan dan perluasan akses pendidikan dasar dan menengah ke seluruh
pelosok negeri. Sudjana, (2004).
Pencapaian tujuan
pendidikan terutama pemerataan layanan pendidikan ini harus terus didorong
dengan memperhatikan ketersediaan pendidikan, sarana pendidikan yang memadai,
infrastruk jalan dan penerangan, kepedulian masyarakat dan masih banyak aspek
yang harus dipenuhi. Dengan demikian peningkatan keterampilan hidup akan
berdampak pula pada peningkatan dan kesejateraan hidup dalam ekonomi dan juga
kesehatan.
3.2. Saran
a. Bagi
Pemerintah
Pemerintah sebagai
otoritas dalam menyelenggarakan program pendidikan kesetaraan hendaklah sungguh
memperhatikan keberlanjutan program, ketersediaan dana dan sarana serta
mempersiapkan tenaga pendidik dan kependidikan yang profesioanal agar program
kesetaraan memiliki kualitas yang sama dengan pendidikan formal.
b.Bagi
Masyarakat
Masyarakat sebagai
sasaran penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan hendaknya menyadari akan
layanan program ini yang dapat
mengembangkan keterampilan demi meningkatkan kualitas hidup mereka.S
REFERENSI
Aswendo,D.(2012)
Pemberdayaan Masyarakat Melalui
Pendidikan Non Formal. WWW.rumahbelajar.web
id/2015/08/19.
Depertemen
Pendidikan Nasional Undang – undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta.
Depdiknas
Dirjen PLS (2004) Seri Pedoman Program
Pendidikan Kesetaraan, Jakarta: Depdiknas
Kemendikbud.
(2013) Direktorat Jenderal Pendidikan
Anak Usia Dini, Non Formal dan Informal. Diakses dari; Https//id.wikipedia.org.
Fathurohman,M.(2012)
Pendidikan Non Formal di Indonesia dan
Tantangannya. Diakses dari; WWW.rumahbelajar.web
id/2015/08/19.
Hiryanto,
M.S. (2009) Meningkatkan Efektivitas
Pendidikan Non Formal Dalam. Diakses
dari; Http// staff.UNY.ac.id.
Siswantari,
( 2011), Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan pada Pendidikan Non Formal,
Pusat penelitian kebijakan, Balitbang Kemendiknas.
Sudjana,
(2004), Pendidikan Non Formal,
Bandung: Falah Production
Supriadie.D.
(2012), Tenaga PLS Profesional Masa Depan,
Diakses dari Infomediakita.Blogspot.co.id/2010.
Pendidikan-nonformal.html
Data empirik relevan dengan topic makalah
An Investigation of Impact of
Nonformal Education on Indian Rural Development By Annapurna G. Murthy. 1978
Nonformal Education; A
Remedy for Education and Development Crisis in Third World Countries. 1982
“ The Impact of
Nonformal education program; A case study of Nothern Ghana
By Obed Mfum-Mensah.
2003
The Impact of the
nonformal education programs on Human fertility in Indonesia
By Subagus. 1997
No comments:
Post a Comment