2.6.25

Kekosongan Jiwa Oleh Prof. Vincent Gasperz

VOXRATEWATI.Com. 

Catatan: 
Tulisan ini diposting kembali dalam blog Voxratewati.com  sebagai bahan bacaan pribadi. Semua isi tulisan diposting secara utuh tanpa adanya editan atau penambahan hal lain. Semua isi bacaan berasal dari tulisan seseorang sesuai keterangan dalam postingannya.


 Gambar ilustrasi: oleh Prof Vincent         Gasperz

Kekosongan Jiwa di Balik Korupsi, Kejahatan, dan Bunuh Diri: Saat Spiritualitas Ditinggalkan, Kesadaran Kolektif Manusia Runtuh

Oleh Vincent Gaspersz, Lean Six Sigma Master Black Belt & Certified Management Systems Lead Specialist

Pengantar:

Dalam dunia yang semakin maju secara teknologi namun semakin rapuh secara batin, kita menyaksikan ironi besar: di tengah berlimpahnya tempat ibadah, lantunan khotbah, dan menjamurnya lembaga-lembaga keagamaan, justru angka korupsi, kejahatan moral, kebohongan publik, kekerasan domestik, dan kasus bunuh diri terus meningkat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah manusia kini tidak lagi takut kepada Tuhan? Ataukah sesungguhnya yang terjadi adalah manusia telah kehilangan koneksi batiniah terdalam—yakni spiritualitasnya sendiri?

Kita melihat banyak pejabat publik yang berbicara lantang tentang moral dan integritas di depan kamera, tetapi dalam kenyataannya bersikap manipulatif, tidak empatik, bahkan mencederai keadilan. Mereka mungkin mengutip ayat-ayat suci di forum resmi, namun tetap tega mengabaikan penderitaan rakyat yang tak terdengar suaranya. Inilah wajah rapuh dari masyarakat yang kehilangan fondasi kesadaran spiritual: ketika agama hanya menjadi formalitas politik, dan nilai-nilai Ilahi tidak lagi hidup dalam kesadaran batin.

Spiritualitas yang sejati tidak sekadar diucapkan, tetapi dihidupi. Dan ketika kesadaran spiritual itu mati—baik karena kesibukan duniawi, kerakusan akan kuasa, atau kehilangan makna hidup—maka manusia menjadi mesin tanpa jiwa: pandai berargumen, tetapi tak mampu mencintai; aktif berkegiatan, tetapi hampa dari belas kasih. Maka, yang kita saksikan hari ini bukanlah kekurangan agama secara institusional, tetapi kehampaan spiritual yang makin mendalam, bahkan di tengah simbol-simbol religius yang melimpah.

Seringkali kita menyederhanakan akar masalah rapuhnya moralitas publik hanya pada kurangnya pendidikan agama, seolah-olah agama adalah satu-satunya benteng pertahanan terhadap perilaku menyimpang. Namun kenyataannya, situasinya jauh lebih kompleks. Banyak pelaku korupsi, kekerasan struktural, atau tindakan amoral lainnya justru berasal dari kalangan yang secara lahiriah terlihat religius: mereka rajin beribadah, fasih mengutip kitab suci, mengenakan simbol keagamaan, dan bahkan dihormati sebagai tokoh spiritual atau pejabat publik yang katanya menjunjung nilai-nilai moral. Tetapi di balik semua penampilan itu, tersembunyi jurang batin yang sangat dalam—jurang yang disebut kekosongan spiritualitas.

Ini adalah kekosongan yang membuat seseorang mampu tersenyum di depan publik sambil menyusun kebijakan yang menyengsarakan, menyembunyikan fakta demi citra, memanipulasi data demi keuntungan kelompok, dan berdiri di mimbar moralitas sambil mempraktikkan ketidakjujuran. Mereka tidak lagi merasa bersalah karena hati nuraninya telah terputus dari pusat kesadaran spiritual. Ritual dilakukan, namun hanya sebagai rutinitas simbolik; doa diucapkan, tetapi tidak membangkitkan kasih. Akibatnya, tidak ada empati yang lahir, tidak ada rasa tanggung jawab terhadap penderitaan orang lain, dan yang tersisa hanyalah topeng-topeng moralitas yang retak dari dalam. Inilah bukti nyata bahwa tanpa spiritualitas yang hidup, agama bisa berubah menjadi kostum etis semu—indah dilihat, tetapi kosong dirasa.

Dalam banyak tragedi bunuh diri, kita juga menemukan hal yang serupa. Banyak dari mereka bukan tak tahu agama, tapi tak lagi merasakan makna hidup. Mereka merasa kosong, kehilangan pegangan batin, dan tak mampu lagi merasakan kehadiran kasih Tuhan dalam hidup mereka. Ini bukan sekadar krisis iman formal, tapi krisis spiritual yang lebih mendalam—yang tak bisa disembuhkan hanya dengan anjuran, tetapi butuh pemulihan kesadaran dari dalam diri.

Itulah sebabnya kini muncul disiplin ilmu baru bernama Neurotheology atau Spiritual Neuroscience—sebuah bidang yang menjembatani antara pengalaman spiritual dan sistem kerja otak manusia. Neurotheology membuktikan bahwa pengalaman religius atau spiritual bukan sekadar ilusi atau doktrin, melainkan pengalaman nyata yang bisa direkam dalam aktivitas saraf otak, terutama di area-area yang berhubungan dengan empati, kesadaran diri, dan koneksi terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Ketika bagian otak ini mati karena tidak dilatih atau dihidupkan, maka bukan hanya rasa damai yang lenyap, tetapi juga kompas moral manusia ikut runtuh.

Neurotheology bukanlah agama baru, melainkan sebuah pendekatan transdisipliner yang menawarkan pemahaman baru tentang bagaimana manusia mengalami Tuhan: melalui aktivitas otak, struktur kesadaran, dan mekanisme batiniah. Ia memberikan kerangka ilmiah bagi spiritualitas, tanpa mengurangi kedalaman nilai-nilai rohaniah yang dialami individu secara personal. Karena itu, tidak mengherankan bila pengikut atau peminat Neurotheology berasal dari beragam latar belakang agama maupun non-agama.

Spiritualitas tidak harus dibatasi oleh formalitas agama. Ia adalah kesadaran yang hidup dan dinamis—kesadaran bahwa ada makna, ada tujuan hidup, ada kasih Ilahi yang menyertai, ada rasa tanggung jawab terhadap sesama dan alam semesta. Inilah fondasi terdalam dari moralitas manusia. Tanpa spiritualitas, agama pun bisa menjadi kosong: sekadar simbol, rutinitas, dan bahkan alat kekuasaan. Dan tanpa kesadaran ini, tak heran jika seseorang bisa mencuri tanpa rasa bersalah, menipu tanpa rasa malu, atau bahkan mengakhiri hidupnya sendiri karena merasa tak berarti.

Namun penting dicatat, bahwa agama sebagai institusi tetap memiliki peran penting—yakni sebagai wadah dan penuntun nilai-nilai luhur. Yang menjadi krusial bukanlah menyalahkan agama, melainkan menyadari bahwa agama tanpa kesadaran spiritual akan menjadi kosong, dan spiritualitas tanpa nilai etika bisa menjadi liar.

Neurotheology hadir sebagai jembatan yang ilmiah dan spiritual sekaligus. Ia menunjukkan bahwa pengalaman ketuhanan bukanlah monopoli satu sistem keyakinan tertentu, melainkan bagian dari mekanisme kesadaran manusia yang universal, yang bisa diakses melalui berbagai jalan—baik ritual agama maupun perenungan batiniah.

Oleh karena itu, pemahaman dan penerapan konsep Neurotheology dalam konteks agama maupun spiritualitas dapat memperkuat ketaatan kita terhadap firman Tuhan, karena ia menanamkan kesadaran bahwa Tuhan tidak hanya ingin disembah, tetapi juga dihayati dan dialami secara utuh. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya menjadi pengikut yang taat secara lahiriah, tetapi juga pribadi yang terhubung secara mendalam dengan nilai-nilai Ilahi dalam setiap aspek kehidupan. Neurotheology mendorong kita untuk menjalani iman bukan hanya sebagai sistem, tetapi sebagai kesadaran hidup yang transformatif, sehingga pengamalan agama menjadi lebih bermakna, menyatu antara akal, hati, dan tindakan nyata.

Mengapa Spiritualitas adalah Inti Moralitas Manusia?

Karena spiritualitas menyentuh dimensi terdalam manusia yang tidak bisa dijangkau oleh hukum, otoritas, atau ketakutan terhadap hukuman. Ia membentuk kompas moral dari dalam. Ketika seseorang memiliki kesadaran spiritual, ia tidak mencuri karena takut masuk neraka—tetapi karena ia sadar bahwa menyakiti orang lain adalah menyakiti bagian dari Tuhan yang ada dalam dirinya sendiri. Ia tidak berbohong bukan karena takut dikutuk, tetapi karena ia tahu bahwa kebenaran adalah bagian dari jati dirinya yang paling hakiki.

Sebaliknya, ketika spiritualitas mati, maka seseorang bisa melakukan kejahatan bahkan sambil berdoa. Ia bisa menyalahgunakan simbol agama demi kekuasaan atau kekayaan, dan merasa benar karena telah memenuhi syarat formal.

Mengapa Neurotheology Menjadi Kunci untuk Memahami Ini?

Karena Neurotheology mengungkapkan bahwa otak manusia memang dirancang untuk merasakan kehadiran Tuhan, dan ketika bagian-bagian otak ini aktif, manusia merasa damai, penuh kasih, dan bertanggung jawab terhadap sesama. Namun ketika bagian-bagian ini tidak aktif (karena tidak pernah dipakai dalam refleksi, kontemplasi, atau pengalaman spiritual), maka manusia menjadi dangkal, impulsif, rakus, dan bahkan depresi.

Studi dengan fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) telah menunjukkan bahwa aktivitas spiritual yang otentik—seperti meditasi, doa reflektif, dialog dengan Tuhan atau perenungan makna hidup secara mendalam—meningkatkan konektivitas otak yang berhubungan dengan kebahagiaan, kendali emosi, dan empati sosial.

Lingkaran Transformasi Spiritual: Menyelami Akar Moralitas Manusia

Definisi Umum:

Lingkaran Transformasi Spiritual adalah suatu model kesadaran integral yang menggambarkan bagaimana dimensi batin manusia (spiritualitas) berinteraksi dengan arsitektur lingkungan, aktivitas otak (neurosains), tingkat kesadaran, dan kesehatan mental dalam satu siklus saling memengaruhi. Siklus ini terdiri atas lima elemen utama: Spirituality → Architecture → Neuroscience → Consciousness Status → Mental Health.

Model ini menjelaskan bahwa akar dari berbagai tindakan menyimpang seperti korupsi, ketidakjujuran, kekerasan, bahkan bunuh diri, seringkali bukan sekadar karena lemahnya pendidikan agama, tetapi karena terputusnya kesadaran spiritual yang seharusnya menopang kehidupan batin manusia.

No. 1. Spirituality (Spiritualitas sebagai Sumber Kesadaran Moral)

Spiritualitas adalah kesadaran batin yang meyakini bahwa kehidupan bukan semata soal pencapaian materi, tetapi tentang makna hidup, cinta kasih, dan hubungan langsung dengan Tuhan atau Kesadaran Tertinggi. Dalam spiritualitas, manusia bertindak baik bukan karena takut dihukum atau ingin pahala, tetapi karena merasa satu dengan sesama dan semesta.

Contoh konkret:

• Seorang pejabat mungkin rajin salat atau ke gereja tiap minggu, tetapi tetap menyelewengkan dana publik karena ritualnya tidak disertai dengan kesadaran batin akan tanggung jawab Ilahi.

• Seorang guru agama bisa mengajarkan kasih, tapi menyimpan kebencian dan memecah belah, karena kehilangan koneksi spiritual sejati dengan nilai Ilahi yang diajarkannya.

No. 2. Architecture (Arsitektur sebagai Cermin Kesadaran Ilahi).

Lingkungan fisik membentuk suasana batin dan memengaruhi cara berpikir. Arsitektur spiritual—baik dalam bentuk rumah ibadah, ruang kontemplasi, maupun tata ruang kota—seharusnya dirancang untuk membangkitkan keheningan, kedamaian, dan keterhubungan batin. Ketika arsitektur menjadi simbol kekuasaan dan kemewahan, bukan perenungan, maka ruang kehilangan fungsinya sebagai pemancar kesadaran spiritual.

Contoh konkret:

• Gereja yang megah atau masjid yang megah, tetapi dibangun dari praktik suap atau eksploitasi buruh, justru kehilangan fungsi spiritualnya.

• Kantor-kantor pemerintah yang dirancang secara otoriter menciptakan budaya birokrasi yang kaku dan mematikan empati.

No. 3. Neuroscience (Otak sebagai Instrumen Moral dan Spiritualitas).

Neurotheology dan ilmu neurosains telah menunjukkan bahwa spiritualitas memengaruhi aktivitas otak, khususnya pada bagian prefrontal cortex (kendali moral, refleksi) dan lobus parietal (kesadaran diri dan kesatuan dengan semesta). Ketika seseorang rutin melakukan refleksi spiritual seperti dialog, meditasi, empati dan kendali moral meningkat. Ketika tidak, otak justru memberi ruang pada impuls egoistik.

Contoh konkret:

• Studi pemindaian otak (fMRI) menunjukkan bahwa mereka yang terbiasa dengan praktik spiritual menunjukkan aktivitas lebih tinggi di pusat moral otaknya.

• Sementara itu, pelaku kejahatan berulang seperti penggelapan dana, pemerkosa anak, hingga pembunuh, menunjukkan melemahnya respons empatik akibat kegagalan pengembangan dimensi spiritual yang mendalam.

No. 4. Consciousness Status (Tingkat Kesadaran akan Realitas Ilahi).

Kesadaran spiritual yang tinggi (higher consciousness) menciptakan manusia yang welas asih, tidak egoistik, dan hidup dengan rasa tanggung jawab yang tinggi. Sebaliknya, kesadaran yang rendah (lower consciousness) membuat seseorang terjebak pada kepentingan diri sendiri dan mudah menjustifikasi kejahatan sebagai strategi bertahan.

Contoh konkret:

• Seorang pemuka agama yang memanipulasi jemaah untuk tujuan politik pribadi menunjukkan kesadaran rendah, meski secara simbolis terlihat religius.

• Seorang tokoh yang hidup sederhana, jujur, dan melayani orang lain tanpa pamrih, meskipun tanpa jabatan agama formal, mencerminkan kesadaran tinggi.

No. 5. Mental Health (Kesehatan Mental sebagai Refleksi Spiritualitas yang Sehat).

Gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan keinginan bunuh diri sering bukan karena lemah dalam ritual keagamaan, tetapi karena hilangnya makna hidup, keterasingan batin, dan kehampaan eksistensial. Spiritualitas memberikan arah, penerimaan, dan rasa koneksi dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Contoh konkret:

• Banyak orang muda yang bunuh diri meskipun aktif dalam kegiatan keagamaan, karena ritual tersebut tidak mampu menjawab kegelisahan eksistensial dan hilangnya makna personal.

• Sebaliknya, seorang lansia yang sederhana namun hidup dengan penuh perasaan bersyukur dan melayani sesama bisa memiliki kesehatan mental yang luar biasa karena spiritualitasnya menyatu dalam keseharian.

Kembali ke Spiritualitas: Penutup Lingkaran

Akhir dari transformasi ini kembali pada spiritualitas—kesadaran tertinggi bahwa hidup adalah persembahan. Tanpa spiritualitas, manusia hanya menjadi mesin biologis yang haus kekuasaan dan pujian. Dengan spiritualitas, manusia menjadi makhluk sadar yang hidup dengan integritas, kasih, dan kehadiran IIahi yang otentik dalam keseharian. Catatan VG: KASIH = Kehendak Allah selalu Isi Hati; Hati = Harmonisasi antara tindakan dan iman; IMAN = Ikhlas Menjadikan Allah Nakhoda.

Contoh konkret:

• Seorang pemimpin yang jujur bukan hanya mengandalkan hukum atau simbol agama, tetapi juga mendasarkan keputusan pada suara batin dan tanggung jawab suci di hadapan Tuhan dan rakyat.

Rangkuman dan Refleksi:

Dalam kehidupan yang semakin cepat, bising, dan penuh tekanan, manusia tampak semakin jauh dari dirinya sendiri—dari makna hidup, dari suara hati, dan dari kesadaran Ilahi. Dua gambar otak yang ditampilkan membuka ruang refleksi mendalam tentang apa sesungguhnya yang hilang dari peradaban manusia saat ini. 

Gambar pertama memetakan nilai-nilai spiritual seperti God, Prayer, Peace, Faith, Love, Joy, Kindness, dan Understanding ke dalam bagian-bagian otak, seolah mengisyaratkan bahwa kesadaran spiritual adalah bagian dari sistem kesadaran biologis kita. Sementara gambar kedua menawarkan sudut pandang ilmiah dari Neurotheology—menandai lokasi-lokasi otak yang terlibat dalam pengalaman spiritual, pengalaman menjelang kematian (Near-Death Experience), aktivasi ‘God Spot’, dan pelepasan ‘God Chemical’.

Makna dari dua gambar ini menjadi semakin penting jika kita melihat kenyataan hari ini: angka bunuh diri meningkat, korupsi menyebar seperti epidemi, krisis kepercayaan memburuk, dan banyak orang merasa hidup ini hampa, meskipun secara lahiriah tampak SUCCESS. Kenapa ini terjadi? Karena otak manusia bukan hanya tempat logika bekerja, tetapi juga tempat nilai-nilai spiritual berakar. Ketika nilai-nilai seperti kasih, kesabaran, doa, dan damai tidak dihidupkan, maka bagian spiritual otak kita perlahan mati secara fungsional.

Gambar pertama membawa kita pada kesadaran bahwa spiritualitas bukan sekadar urusan agama atau ibadah formal, tetapi lebih dalam lagi: ia adalah peta kesadaran manusia. Setiap nilai yang disebut—seperti "Teamwork," "Patience," "Peace," dan "Understanding"—adalah fondasi moral kehidupan sosial dan batiniah kita. Jika bagian-bagian ini tidak distimulasi oleh pengalaman yang bermakna, maka manusia mudah terjerumus pada kesepian, kecemasan, amarah, bahkan kekerasan.

Sebaliknya, gambar kedua memberikan validasi ilmiah bahwa pengalaman spiritual bukanlah ilusi, tetapi kenyataan neurobiologis. Ketika seseorang mengalami perasaan menyatu dengan Tuhan, atau mengalami kedamaian luar biasa saat nyaris mati, bagian otaknya menunjukkan aktivitas yang khas dan dapat diukur. Istilah seperti "The God Spot" merujuk pada area lobus parietal dan prefrontal yang aktif dalam pengalaman transendental. “The God Chemical," seperti serotonin, oksitosin, dan DMT (Dimethyltryptamine), adalah senyawa yang secara alami dihasilkan tubuh untuk menciptakan kondisi batin yang damai dan penuh makna.

Yang menarik, di antara kedua gambar ini terdapat benang merah yang sangat kuat: tanpa kesadaran spiritual, moralitas dan kesehatan mental ikut runtuh. Seseorang bisa rajin ke tempat ibadah, tapi tetap korup. Ia bisa hafal kitab suci, tapi tetap kejam terhadap sesama. Ini terjadi ketika spiritualitas hanya hidup dalam simbol, tapi mati dalam sistem kesadaran. Sebaliknya, ada orang yang sederhana, tanpa gelar religius, namun hidup penuh kasih, sabar, dan jujur. Otaknya, dalam perspektif neurotheology, telah terlatih untuk menyatu dengan nilai-nilai Ilahi, meskipun tanpa dogma.

Kita juga belajar dari gambar kedua bahwa pengalaman spiritual bisa dialami oleh siapa saja—terlepas dari agama atau latar budaya. Mereka yang mengalami Near-Death Experience seringkali menceritakan hal yang serupa: cahaya terang, kedamaian mendalam, perasaan dicintai tanpa syarat. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas adalah bahasa universal dari sistem kesadaran manusia, bukan monopoli satu sistem keimanan.

Kesehatan mental pun sangat ditentukan oleh seberapa aktif dan seimbang pusat spiritual otak kita. Ketika seseorang kehilangan rasa makna hidup, ia kehilangan aktivasi neurokimia yang membangun harapan dan kedamaian. Sebaliknya, ketika seseorang terbiasa berdoa dan berdialog secara tulus, memaafkan, bersyukur, dan merenungkan hidup, ia membangun jalur saraf baru yang membuatnya lebih tahan terhadap stres, lebih damai dalam tekanan, dan lebih kuat menghadapi kehilangan.

Oleh karena itu, gambar pertama bisa dipahami sebagai proyeksi ideal dari otak yang sehat secara spiritual. Ini adalah peta otak seorang manusia utuh: ia berkomunikasi dengan kasih, berpikir dengan pengertian, hidup dalam pengampunan, dan menyatu dengan Tuhan dalam doa dan perasaan bersyukur. Sedangkan gambar kedua adalah peta ilmiah dari fenomena spiritualitas yang diamati melalui neurosains—menjelaskan secara mekanistik bahwa memang manusia memiliki desain biologis untuk mengalami Tuhan.

Jika kedua pendekatan ini—yakni pendekatan simbolik-spiritual dan pendekatan ilmiah-neurobiologis—disatukan, maka kita memperoleh pemahaman yang utuh: bahwa iman bukan sekadar kumpulan ajaran atau doktrin, melainkan sebuah pengalaman saraf yang nyata; dan bahwa cinta, doa, serta kedamaian bukan hanya nilai-nilai etika abstrak, melainkan pola biologis yang terstruktur dalam sistem otak manusia. Temuan ini menegaskan bahwa kita tidak bisa lagi memisahkan perkembangan spiritual dari pendidikan, kesehatan mental, dan pembentukan karakter manusia modern.

Itulah sebabnya mengapa kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan emosional (EQ) harus menyatu dan saling melengkapi—karena hanya melalui integrasi ketiganya, manusia mampu berpikir tajam, merasa empatik, dan hidup dengan kesadaran transendental. Tanpa integrasi ini, maka kita hanya akan menghasilkan individu yang cerdas secara kognitif (intelektual), tetapi rapuh secara moral dan spiritual—yang pada akhirnya akan gagal membangun peradaban yang berkeadilan, berbelas kasih,  bermakna dan berdampak luas.

Dalam konteks ini, pemulihan masyarakat dari krisis moral dan eksistensial tidak cukup hanya melalui pendidikan agama normatif, tetapi harus dilengkapi dengan pendidikan kesadaran spiritual berbasis pengalaman batin dan refleksi personal. Kita harus melatih manusia untuk menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, bukan hanya di luar dirinya. Kita harus membangkitkan rasa kasih, sabar, syukur, dan pengampunan bukan hanya sebagai norma, tapi sebagai realitas kesadaran.

Akhirnya, kedua gambar otak ini bukan sekadar ilustrasi, tapi peta kesadaran kolektif umat manusia. Mereka menegaskan bahwa Tuhan bukan hanya hadir di langit, tapi dalam arsitektur kesadaran kita sendiri. Bahwa surga dan neraka bukan hanya soal nanti, tapi tentang apa yang aktif dan apa yang mati dalam pikiran kita hari ini. Jika kita merawat pusat spiritual ini—baik melalui ibadah, meditasi, dialog dan kontemplasi, atau cinta kasih sejati—maka kita bukan hanya menjadi manusia religius, tapi manusia utuh yang mampu membawa terang di dunia yang gelap.

Dan mungkin inilah panggilan zaman kita: bukan hanya menciptakan generasi cerdas dan berprestasi, tapi generasi sadar, yang mengalami Tuhan bukan karena diajarkan, tetapi karena dialami di dalam struktur terdalam kesadarannya. Sebab spiritualitas bukan sekadar pilihan gaya hidup, tetapi mekanisme sadar untuk menyelamatkan jiwa manusia dari kehancuran dirinya sendiri.

Salam SUCCESS 6K!

30.5.25

Era Baru Pendidikan Dasar 9 Tahun "gratis"

VOXRATEWATI.Com. By Siprianus Wara

               Foto insert: Www.Google.Com


Kebijakan dalam dunia pendidikan menjadi perhatian serius dari pemerintah. Dalam upaya pemerataan pendidikan bagi semua lapisan masyarakat dari waktu ke waktu terus digalakan agar mencapai amanat undang-undang yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Akhir Mei 2025 menjadi pemberitaan yang memicu pro dan kontra dari berbagai pihak dimana Mahkamah Kontitusi (MK) telah menetapkan terkait sebuah keputusan besar bahwa pendidikan dasar 9 tahun gratis.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). MK memvonis bahwa pendidikan dasar 9 tahun baik negeri maupun swasta, harus digratiskan. 

Merujuk situs Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Pendidikan Dasar yang dimaksud terdiri dari Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk pendidikan lain yang sederajat. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Gedung MK, Jakarta pada Selasa, 27 Mei 2025.  

Keputusan MK menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat cara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.” 

Menurut MK, frasa “tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas harus dimaknai sebagai kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar tanpa diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta, selama dalam kerangka wajib belajar.

Berita selengkapnya www.metrotvnews.com

24.5.25

Divisi Konseling Keluarga KAE Gelar Konseling Pastoral Praktis di Paroki Salib Suci Soa


Konseling Keluarga
Kenyataan Dan Harapan
Paroki Salib Suci Soa

Narasumber: 
Rm Dr. Nobert Labu Ketua Divisi Konseling Keluarga Keuskupan Agung Ende)
Rm. Benediktus Lalo Ketua Konseling Keluarga Kevikepan Bajawa
Tim Konseling Keluarga kevikepan. Bajawa

                               Foto kegiatan oleh panitia

Tim Konseling Keluarga Keuskupan Agung Ende bekerjasama Konseling Keluarga Kevikepan Bajawa melaksanakan kegiatan pendampingan konseling keluarga praktis bagi para pasangan suami istri  (pasutri) perwakilan dari ke 17 stasi di wilayah paroki Salib Suci Soa (PS3) pada 23-24 Mei 2025. Kegiatan ini dihadiri lebih dari 27 pasutri dalam upaya mengoptimalkan peran saksi nikah bagi pasutri muda di wilayah Paroki Salib Suci Soa.

Kegiatan ini diinisiasi oleh Pastor Paroki Salib Suci Soa Rm. Siprianus Wona dengan mengusung tema "Konseling Keluarga Antara Kenyataan dan Harapan".  Kegiatan ini sebagai tindak lanjut dan didasari atas hasil musyawarah pastoral ke VIII keuskupan Agung Ende sebagai bagian dari keberpihakan gereja lokal yang menitikberatkan perhatiannya bagi para pasutri muda, kaum muda serta anak-anak. Maka dari itu, sangat dipandang perlu bahwa para pasutri di Paroki Soa mendapatkan pendampingan dalam rangka mengoptimalkan peran saksi nikah dalam memposisikan dirinya sebagai pendamping yang membantu para pasutri muda pasca penerimaan sakramen perkawinan. 

Konseling keluarga keuskupan merupakan sebuah divisi yakni di bawah naungan komisi pastoral keluarga keuskupan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan komisi pastoral keluarga (paskel) yang terbentuk di paroki. Ini menyadarkan kembali para pasutri akan hakekat perkawinan Katolik yang dapat dipahami sebagai ikatan perjanjian antara seorang pria dan wanita untuk membangun kebersamaan hidup.

Sekali lagi dipahami bahwa perkawinan Katolik bercirikan unitas-kesatuan dan indissolubilitas (tak dapat  terceraikan) serta sakramental (band. Kan.1055 ayat 1; Kan. 1056). Selain kesatuan atau monogami dan sifat tak terceraikan maka perkawinan Katolik mengandung makna yakni sebuah perjanjian (feodus) yang merupakan unsur penting yang perlu mendapatkan perhatian. Gagasan ini merupakan gagasan biblis dan spiritual yang melukiskan relasi antara Yahwe dan Israel atau menurut St.Paulus, relasi antara Kristus dan gereja (Materi  oleh Rm. Norbertus Labu).

Perkawinan katolik merupakan ikatan cinta suami istri adalah seumur hidup dimana dalam perkawinan Katolik merupakan ekspresi dan simbol "kesetiaan Allah dan umat-Nya atau ikatan antara Kristus terhadap gereja-Nya. Oleh karena itu, perkawinan Katolik perlu dipahami secara mendalam yang merupakan perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita bukan persekutuan 2 pribadi (misalnya  pria dan pria atau wanita dan wanita atau sesama sejenis) dalam hal ini gereja Katolik sangat tidak mengakui ini. Lebih lanjut dalam Kanon 1055 ayat 1 menyebutkan ada 2 tujuan atau keterarahan pokok perkawinan katolik yaitu kesejahteraan suami dan istri dan juga keterbukaan pada kelahiran dan pendidikan anak. Kesejahteraan suami isteri (bonum coniugum) merupakan wujud dan buah dari cinta kasih suami istri dimana adanya kemauan dan kemampuan untuk hidup dan tinggal bersama yang layak dan perlu untuk mencapai tujuan perkawinan secara efektif. Selain itu, adanya kemampuan dan kemauan untuk mencakupi kebutuhan hidup pasangan Serta kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan dalam perkawinan dan keluarganya.

Dari landasan biblis di atas maka adanya kenyataan yang memprihatinkan dimana data tribunal Keuskupan Agung Ende (KAE) per 26 Mei 2020 memperlihatkan bahwa selama tahun 2015-2020 ada 70 kasus permohonan anulasi perkawinan atau pembatalan perkawinan belum terhitung data 5 tahun terakhir yakni keadaan tahun 2020-2025. Maka Uskup Agung Ende Mgr. Vincet Sensi (Alm) membentuk divisi konseling yang merupakan bagian dari komisi pastoral keluarga (paskel). Mula-mula dikembangkan oleh Romo Lukas dengan melakukan kegiatan sosialisasi bagi keluarga di paroki-paroki hingga saat ini diketuai oleh Rm.Dr. Norbertus Labu dan di kevikepan Bajawa konseling keluarga diketuai oleh Romo Beni Lalo.

Kenyataan lainnya di lapangan dan kemudian menjadi kesadaran bersama dalam sidang lintas dan MUSPAS VIII bahwa saksi nikah memiliki peran strategis dalam pendampingan keluarga pasca pernikahan. Peran ini sudah lama dikembangan di KAE dan hingga saat ini terus dilakukan optimalisasi agar perannya semakin kuat dan berkelanjutan. Hal ini disadari bahwa untuk menjadi saksi nikah tidak ada sekolah atau pelatihan khusus menjadi namun hanya keterpanggilan dan kepercayaan dari pasutri muda untuk menjadikan pasutri lain untuk mendampingi kehidupan keluarganya pasca penerimaan sakramen perkawinan.

Maka dari itu, pelatihan konseling keluarga merupakan cara untuk meningkatkan kapasitas para saksi nikah dalam menjalankan pastoral keluarga. Konseling pastoral keluarga  merupakan kegiatan pelayanan atau bimbingan yang diberikan oleh seorang konselor yang dapat membantu para pasutri untuk mendampingi para pasutri muda pasca menerima sakramen perkawinan. Semoga kegiatan pendampingan ini dapat memberikan kebermanfaatan bagi para saksi nikah di wilayah paroki Salib Soa sebingga kebidupan perkawinan keluarga-keluarga Katolik mencapai keharmonisan dan mewartakan kasih Kristus dalam setiap hidup dan karyanya.
 
Kegiatan bimbingan konseling keluarga praktis ini para peserta tidak hanya dibekali dengan gagasan-gagasan namun juga ada sesi melakukan praktik menggali permasalahan yang terjadi dan bagaimana mencari solusi dengan berbagai teknik. Beberapa teknik diperkenalkan dan disesuaikan dengan kebutuhan pasutri dalam mendampingi pasutri muda. Selain itu, para peserta diberikan kesempatan untuk melakukan simulasi dimana para saksi nikah sebagai konselor dan pasutri muda sebagai konseli hal ini bertujuan agar para pasutri bisa saling belajar satu sama lain sebagai saksi nikah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bersama pasutri dampingannya mulai dari mendefenisikan permasalahan, mencari tahu akar permasalahan serta solusi yang ditempuh dan juga bagaimana menghadapi kendala-kendala pasca upaya penyelesaian masalah. Selamat mmenjalani tugas perutusan para konselor terlatih para pasutri wilayah Paroki Salib Suci Soa***

Oleh Sipri Wara

19.1.25

Astera 2C# "Melangkah Dengan Pasti"

VOXRATEWATI.Com. By Siprianus Wara


                    Foto insert: koleksi pribadi

Kegiatan "me time" bagi setiap pribadi dewasa ini sangatlah urgen untuk kebutuhan manajemen diri dalam tumbuh kembang kepribadian ke arah yang lebih baik. Hal ini tidak saja bagi kaum muda, pelajar atau mahasiswa namun juga bagi orang dewasa atau siapa saja dengan berbagai latar belakang profesi untuk memberi waktu baginya untuk menemukenali dirinya baik relasinya dengan diri, sosial atau relasi dengan Sang Pencipta. Momen "me time" yang umum dikenal yaitu kegiatan retret.

Sekedar untuk diingat kata retret berasal dari bahasa Perancis "la retraire", bahasa Inggris dari kata "retreat" dan bahasa Latin "retirare" serta dalam bahasa Indonesia kata retret yang berarti mundur, menyendiri, menyepi dari setiap kesibukan atau rutinitas diri untuk mencapai ketenangan batin baik secara individu atau kelompok (Dari berbagai sumber).

Dalam perkembangannya dewasa ini, kegiatan retret tidak hanya berkaitan dengan kegiatan rohani namun sebagai momen yang dimanfaatkan oleh setiap individu atau kelompok untuk relaksasi dan pemulihan diri agar seseorang lebih memaknai keberadaan diri dan masa depan serta bagaimana peran dirinya di tengah kehidupan sosial lainnya.

Dalam konteks retret bagi para pelajar biasa dilakukan pada penghujung masa formasi pada satu jenjang pendidikan yakni di kelas 6, 9 atau kelas 12. Maka pada tanggal 14 -22 Januari 2025, para siswa kelas 12 SMAS Regina Pacis Bajawa angkatan Astera 43 " Per aspera ad astra, mencapai bintang melalui perjuangan,. Sebanyak 373 siswa kelas 12 dibagi dalam 4 gelombang mengadakan kegiatan retret di rumah doa di komunitas biara Carmel St. Yoseph OCD Bogenga Bajawa. Tema  kegiatan retret kali ini "Melangkah dengan Pasti". Para siswa diberi waktu untuk melihat kedalaman dirinya untuk menata hidup ke jenjang pendidikan selanjutnya dan juga memantapkan cita-cita hidupnya masing-masing.

Kegiatan siswa meliputi perayaan ekaristi, doa dan refleksi dari berbagai perikop dalam injil agar menghayati secara mendalam tentang diri, kehidupan pribadi serta masa depannya.  Melalui sesi berbagi terkait pengalaman hidup sebagai siswa sejak awal masuk SMA Regina Pacis Bajawa hingga saat ini. SMA Regina merupakan s lembaga pendidikan Katolik di wilayah keuskupan Agung Ende dimana para siswa merefleksikan kisahnya dalam sharing di penghujung masa formasi di kelas 12 ini. Kegiatan retret dilaksanakan selama 3 hari 2 malam. Berbagai kegiatan pendanpingan dijalani  para siswa dengan penuh antusias dan bermakna dengan silentium magnum pada setiap akhir sesi sehingga para siswa mampu menggali dan memperkuat potensi dirinya melalui berbagai kegiatan baik secara individu maupun kelompok. Setiap sesi kegiatan dipandu oleh Para Imam dan frater OCD, serta Bapak/Ibu guru wali kelas sebagai pendamping baik kegiatan indoor maupun outdoor.  

Semua kegiatan ini dalam upaya pengembangan nilai-nilai diri siswa secara universal dan penguatan karakter para meliputi 5 nilai  utama komunitas SMAS Regina Pacis Bajawa yakni jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, kerja sama dengan visi "Mewujudkan komunitas bemutu dan humanis dalam pelayanan" sehingga nilai-nilai ini menjadi spirit dan fondasi dalam menggapai cita-citanya.

Selamat berproses dalam masa formasi  melalui kegiatan retret, demi mencapai transformasi diri agar menjadi lulusan yang berkompeten, berkarakter, serta berwawasan global dan mampu berdaya guna baik bagi diri dan orang lain serta menjadi pribadi yang mandiri dan dapat mewujudkan pemimpin yang integral holistik di masa mendatang.***