19.11.25

Sekolah Sebagai Rumah yang Mendidik

VOXRATEWATI.Com. By Siprianus Wara

Oleh Riama Pangaribuan

Ketika Pemimpin Menjadi Teladan: Bagaimana Kepala Sekolah Mengubah Sekolah Menjadi Rumah yang Mendidik

Di setiap sekolah, ada sosok yang diam-diam membentuk budaya: kepala sekolah.
Bukan hanya lewat aturan, tetapi melalui keteladanan yang terasa dalam tindakan sehari-hari.

Pemimpin yang menyapa guru dengan ramah, mendengarkan tanpa menghakimi, dan hadir di tengah proses belajar memberi pesan kuat:
“Di sekolah ini, setiap orang dihargai.”

Keteladanan kepala sekolah menjadi fondasi budaya positif.
Ketika ia datang tepat waktu, guru merasa dihormati.
Ketika ia berani mengakui kesalahan, guru belajar jujur.
Ketika ia memprioritaskan siswa, seluruh sekolah bergerak mengikuti.

Dan anak-anak bisa merasakan energi itu.
Mereka tahu kapan guru bekerja dengan hati sering kali berawal dari bagaimana pemimpin memperlakukan gurunya.

Bayangkan kepala sekolah yang:
• Menyambut siswa di gerbang
• Menguatkan guru yang lelah
• Mendengar masalah siswa dengan empati
• Hadir, bukan hanya memerintah

Di tangan pemimpin seperti ini, sekolah berubah menjadi tempat yang hangat dan manusiawi.
Guru mengajar tanpa takut.
Siswa belajar dengan percaya diri.
Semua tumbuh bersama.

Keteladanan bukan soal jabatan, tapi kerendahan hati untuk menjadi contoh lebih dulu.
Sebab sekolah yang positif lahir dari pemimpin yang menginspirasi, menggerakkan, dan benar-benar hadir.

Dan ketika keteladanan itu hidup, sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar tetapi menjadi rumah pendidikan yang membentuk karakter setiap orang di dalamnya.

31.10.25

Pola ABCD Dalam Perencanaan Pembelajaran

Oleh Yuni Kharisma

Dalam proses perencanaan pembelajaran, salah satu langkah penting yang tidak boleh dilewatkan adalah menyusun tujuan pembelajaran. 

Tujuan pembelajaran menjadi arah bagi guru dan peserta didik tentang apa yang harus dicapai setelah kegiatan belajar selesai. Namun, masih banyak guru yang menulis tujuan pembelajaran secara umum dan belum menggambarkan hasil belajar yang terukur.

Salah satu cara efektif untuk membuat tujuan pembelajaran yang spesifik, terukur, dan mudah dipahami adalah dengan menggunakan pola ABCD.

---

📍Apa Itu Pola ABCD?

Pola ABCD merupakan singkatan dari empat unsur utama dalam perumusan tujuan pembelajaran, yaitu:

1. A (Audience) → Siapa yang belajar
Menunjukkan siapa yang menjadi sasaran pembelajaran. Biasanya adalah peserta didik.

2. B (Behavior) → Perilaku atau kemampuan yang diharapkan
Menggambarkan kemampuan atau keterampilan yang dapat diamati dan diukur setelah pembelajaran. 

Biasanya menggunakan kata kerja operasional seperti menjelaskan, mengidentifikasi, menghitung, menyebutkan, menganalisis, dan sebagainya. ==> (Cek Taksonomi Bloom)

3. C (Condition) → Kondisi atau situasi belajar
Menjelaskan kondisi atau alat bantu yang digunakan ketika peserta didik menunjukkan kemampuan tersebut, misalnya “melalui video pembelajaran”, “dengan menggunakan mikroskop”, atau “setelah membaca teks”.

4. D (Degree) → Tingkat keberhasilan
Menunjukkan kriteria pencapaian yang diharapkan, seperti ketepatan, kecepatan, atau tingkat keberhasilan tertentu (misalnya “dengan benar”, “minimal 80%”, atau “tanpa kesalahan”).

---

📍Langkah-Langkah Menyusun Tujuan Pembelajaran dengan Pola ABCD

1. Tentukan peserta didik yang menjadi sasaran (A).
Misalnya: Peserta didik kelas V SD.

2. Tentukan perilaku yang diharapkan (B).
Pilih kata kerja operasional yang bisa diukur, seperti menjelaskan, menulis, mengidentifikasi, atau membedakan.

3. Rumuskan kondisi pelaksanaan (C).
Misalnya: melalui kegiatan eksperimen atau setelah menonton video pembelajaran.

4. Tambahkan derajat keberhasilan (D).
Misalnya: dengan benar, minimal 80%, atau tanpa bantuan.

---

📍Contoh Tujuan Pembelajaran dengan Pola ABCD

1. Setelah menonton video tentang daur air (C), peserta didik kelas V (A) dapat menjelaskan proses daur air (B) dengan benar (D).

2. Melalui kegiatan percobaan menggunakan pegas (C), peserta didik kelas VIII (A) dapat menghitung frekuensi getaran (B) dengan ketepatan minimal 80% (D).

3. Setelah membaca teks laporan observasi (C), peserta didik (A) dapat mengidentifikasi ciri-ciri teks laporan (B) dengan benar (D).

---

📍Mengapa Pola ABCD Penting?

Pola ABCD membantu guru:

✨Menulis tujuan pembelajaran yang spesifik dan terukur.
✨Memudahkan dalam menyusun asesmen yang sesuai.
✨Membantu siswa memahami apa yang diharapkan dari mereka.
✨Menjadi dasar kuat untuk menentukan kegiatan dan media pembelajaran yang relevan.

---

Dengan menerapkan pola ABCD, guru tidak hanya menulis tujuan pembelajaran sebagai formalitas, tetapi benar-benar menyusunnya secara terarah dan bermakna.

Tujuan yang jelas akan membuat proses belajar lebih fokus, penilaian lebih objektif, dan hasil belajar lebih optimal.

> Ingat: Tujuan pembelajaran yang baik adalah yang menggambarkan apa yang dapat dilakukan peserta didik setelah belajar, bukan apa yang dilakukan guru selama mengajar.

#sumberkeluargaguru #infopendidik #guruindonesia

30.10.25

Cara Menghitung Pekan dan Jam Efektif

Oleh Yuni Karisma

Kalender pendidikan bukan hanya daftar tanggal libur dan hari belajar. Di dalamnya terdapat rencana waktu belajar yang menjadi dasar bagi guru dalam menyusun program tahunan, program semester, dan jadwal pelajaran. 

Salah satu hal penting yang perlu dihitung adalah jumlah jam efektif dan tidak efektif dalam satu tahun pelajaran.

---

📅 1. Pengertian Jam Efektif dan Jam Tidak Efektif

📍Jam efektif adalah waktu belajar yang benar-benar digunakan untuk kegiatan pembelajaran di kelas sesuai jadwal.

📍Jam tidak efektif adalah waktu yang tidak digunakan untuk kegiatan belajar, misalnya karena libur nasional, cuti bersama, jeda semester, ujian sekolah, atau kegiatan sekolah lainnya.

Dengan menghitung jam efektif, guru bisa mengetahui seberapa banyak waktu yang benar-benar tersedia untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan capaian pembelajaran.

---

🧮 2. Langkah-langkah Menghitung Jam Efektif

✅Langkah 1
Hitung total minggu dalam satu tahun pelajaran.
Biasanya tahun pelajaran berlangsung dari Juli hingga Juni, sehingga totalnya sekitar 52 minggu.

✅Langkah 2
Kurangi dengan minggu tidak efektif.
Beberapa minggu tidak digunakan untuk pembelajaran karena berbagai alasan, misalnya dua minggu libur semester, dua minggu libur Idul Fitri, satu minggu libur akhir tahun, dua minggu untuk hari libur nasional dan cuti bersama, serta dua minggu untuk kegiatan sekolah seperti ujian dan class meeting. Total minggu tidak efektif umumnya sekitar 10 minggu.

✅Langkah 3
Hitung minggu efektif.
Dari total 52 minggu dikurangi 10 minggu libur, maka tersisa 42 minggu efektif untuk kegiatan pembelajaran.

✅Langkah 4
Kalikan dengan jumlah jam pelajaran per minggu.
Misalnya di jenjang SD, total jam pelajaran dalam satu minggu adalah 34 jam. 

Maka perhitungannya:
> 42 minggu × 34 jam = 1.428 jam pelajaran efektif dalam satu tahun pelajaran.

---

📘 3. Menghitung Jam Efektif per Mata Pelajaran

Setelah mengetahui total jam efektif dalam satu tahun, langkah selanjutnya adalah menghitung berapa jam yang dialokasikan untuk setiap mata pelajaran.

Caranya mudah. Cukup kalikan jumlah jam pelajaran tiap mapel per minggu dengan jumlah minggu efektif. 

Misalnya, jika Bahasa Indonesia memiliki 6 jam pelajaran per minggu, maka:
> 6 × 42 = 252 jam dalam setahun.

Contoh lain:

✨PPKn: 3 jam × 42 minggu = 126 jam
✨Matematika: 5 jam × 42 minggu = 210 jam
✨IPAS: 4 jam × 42 minggu = 168 jam
✨PJOK: 4 jam × 42 minggu = 168 jam
✨Seni Budaya: 3 jam × 42 minggu = 126 jam
✨Muatan Lokal: 2 jam × 42 minggu = 84 jam

Jika dijumlahkan, hasil totalnya akan kembali ke angka 1.428 jam pelajaran efektif dalam satu tahun.

Dengan cara ini, guru dapat mengetahui berapa jam tersedia untuk tiap mata pelajaran agar perencanaan pembelajaran lebih tepat sasaran.

---

🚫 4. Menghitung Jam Tidak Efektif

Jam tidak efektif bisa diketahui dengan rumus sederhana:

> Jam Tidak Efektif = Total jam setahun – Jam efektif

Contohnya:

✨Total jam (52 minggu × 34 jam) = 1.768 jam
✨Jam efektif (42 minggu × 34 jam) = 1.428 jam

Maka:
> Jam tidak efektif = 1.768 – 1.428 = 340 jam.

---

🧭 5. Manfaat Mengetahui Jam Efektif

Mengetahui jumlah jam efektif membantu guru dalam:
👉Menyusun program tahunan dan program semester dengan lebih realistis.
👉Mengatur waktu agar semua capaian pembelajaran bisa diselesaikan tepat waktu.
👉Menyesuaikan jadwal proyek, asesmen, dan remedial.
👉Menghindari penumpukan materi di akhir semester.

---

Menghitung jam efektif dan tidak efektif adalah langkah awal penting dalam perencanaan pembelajaran. Dengan mengetahui berapa banyak waktu yang benar-benar tersedia, guru dapat mengatur strategi belajar dengan lebih terukur dan efisien.

Setiap jam belajar di kelas menjadi kesempatan berharga untuk menumbuhkan pengetahuan, karakter, dan semangat belajar peserta didik.

#sumberkeluargaguru #infopendidikan #infoguru

21.10.25

Delapan Pendekatan Pembelajaran

Repost akun Yuni Karisma

📘 8 Macam Pendekatan Pembelajaran yang Dapat Diterapkan pada Kegiatan Belajar Mengajar

Guru masa kini dituntut untuk tidak hanya menyampaikan materi,
tetapi juga menciptakan pengalaman belajar yang bermakna dan sesuai karakter siswa.
Berbagai pendekatan pembelajaran bisa membantu guru mencapai tujuan tersebut.
Berikut 8 pendekatan yang dapat diterapkan di kelas 👇

---

1. Pendekatan Saintifik (Scientific Approach)

Mengajarkan siswa berpikir ilmiah melalui proses mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan.
🎯 Cocok untuk: mata pelajaran sains dan eksperimen.

---

2. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)

Mengaitkan pelajaran dengan kehidupan nyata agar siswa memahami manfaat ilmu.
🎯 Cocok untuk: semua jenjang dan pelajaran berbasis pengalaman.

---

3. Pendekatan Humanistik

Menekankan pada pembentukan karakter dan nilai kemanusiaan siswa.
🎯 Cocok untuk: guru yang ingin menumbuhkan empati dan kepekaan sosial.

---

4. Pendekatan Konstruktivistik

Siswa membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman belajar.
🎯 Cocok untuk: diskusi, proyek, dan pembelajaran berbasis penemuan.

---

5. Pendekatan Deduktif dan Induktif

Deduktif: dari teori ke contoh.

Induktif: dari contoh ke teori.
🎯 Guru bisa mengombinasikannya agar siswa lebih mudah memahami konsep abstrak.

---

6. Pendekatan Tematik

Menggabungkan berbagai mata pelajaran dalam satu tema besar.
🎯 Cocok untuk: SD dan pembelajaran lintas bidang.

---

7. Pendekatan Inquiry (Penemuan)

Mendorong siswa aktif bertanya dan mencari jawaban melalui proses eksplorasi.
🎯 Cocok untuk: melatih rasa ingin tahu dan berpikir kritis.

---

8. Pendekatan Cooperative Learning

Menekankan kerja sama antar siswa dalam kelompok kecil.
🎯 Cocok untuk: menumbuhkan tanggung jawab dan kemampuan sosial.

---

💬 Kesimpulan:
Tidak ada satu pendekatan yang paling sempurna.
Guru yang hebat tahu kapan harus menjadi fasilitator, kapan harus jadi motivator.
Karena setiap anak belajar dengan cara yang berbeda, namun semua ingin dimengerti dengan cara yang sama — dengan hati. ❤️

#InformasiPendidikanIndonesia #GuruHebat #PendekatanPembelajaran #BelajarBermakna

Sanksi Guru Dan Siswa Merokok di Sekolah


              Gambar:www.google.com



Repost dari akun @informasi pendidikan

🚭 Sanksi Tegas bagi Guru dan Murid yang Merokok di Lingkungan Sekolah

Jakarta — Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menegaskan kembali larangan keras terhadap aktivitas merokok di lingkungan sekolah, baik oleh murid maupun tenaga pendidik. Larangan ini diatur dalam berbagai regulasi yang menegaskan bahwa sekolah adalah zona tanpa rokok demi menjaga kesehatan dan keteladanan lingkungan pendidikan.

Kebijakan ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau. Selain itu, Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 juga memperkuat aturan tentang pelaksanaan kawasan tanpa rokok di sekolah.

🎓 Sanksi untuk Murid

Bagi peserta didik yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah, pihak sekolah dapat memberikan sanksi pembinaan bertahap, seperti:

Teguran langsung dan pembinaan oleh wali kelas atau guru BK,

Pemanggilan orang tua untuk pembinaan bersama,

Pemberian tugas sosial atau kegiatan positif sebagai bentuk tanggung jawab,

Hingga sanksi administratif sesuai tata tertib sekolah jika pelanggaran diulang.

Langkah ini dilakukan bukan untuk menghukum, melainkan mendidik murid agar memahami bahaya rokok dan pentingnya menjaga lingkungan sehat.

👨‍🏫 Sanksi untuk Guru dan Tenaga Kependidikan

Tidak hanya siswa, guru dan tenaga pendidik juga terikat dengan aturan yang sama. Jika guru kedapatan merokok di lingkungan sekolah, dapat dikenakan teguran lisan hingga tertulis, dan dalam kasus berulang dapat diberikan pembinaan kedisiplinan pegawai sesuai peraturan ASN atau aturan kepegawaian daerah.

Guru diharapkan menjadi teladan utama dalam menjaga kesehatan dan perilaku di depan siswa.
Perilaku merokok di lingkungan sekolah bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga memberi contoh negatif bagi peserta didik.

🌿 Tujuan Utama: Mewujudkan Sekolah Sehat dan Berkarakter

Program Sekolah Sehat yang digalakkan pemerintah tidak hanya berfokus pada kebersihan fisik, tetapi juga pembentukan lingkungan bebas asap rokok, bebas narkoba, dan bebas kekerasan.

Dengan penerapan sanksi yang jelas, diharapkan sekolah dapat menjadi tempat belajar yang benar-benar sehat, nyaman, dan menjadi ruang tumbuh bagi generasi yang kuat secara fisik maupun moral.

🗣️ Pesan Edukatif:
“Menjadi panutan bukan soal jabatan, tapi soal kebiasaan baik yang dilakukan setiap hari — mulai dari menolak sebatang rokok di sekolah.”

#InformasiPendidikanIndonesia #SekolahSehat #ZonaTanpaRokok #DisiplinGuru #PendidikanBerkarakter

19.10.25

Rapat Pleno Dewan Pastoral Paroki Salib Suci Soa 2025



Paroki Salib Suci Soa melaksanakan rapat pleno Dewan Pastoral Paroki pada 18-19 Oktober 2025 di aula Paroki.l Salib Suci Soa. Kegiatan pleno berkaitan dengan evaluasi program kerja pelayanan pastoral tahun 2024/2025 dan pembahasan rancangan program tahun pelayanan 2025/2026. Masing -masing Bidang, komisi serta Divisi menyampaikan evaluasi program tahun palayanan 2024/2025 dan membahas rancangan program tahun prlayanan 2025/2026 dihadapan pastor paroki RD Siprianus Wona, Pastor Vikaris: RD Paskalis Baba dan RD Oris serta para undangan peserta pleno dari unsur funsionaris pastoral, unsur pemerintah; camat Soa, para kepala desa, para tokoh pembina penasehat Paroki Salib Suci Soa.

Kegiatan pleno tahun 2025 dilaksanakan selama 2 hari yang dimulai hari Sabtu, 18-Minggu, 19 Oktober 2025. Pada kegiatan pleno pada hari pertama pada 18 Oktober 2025 meliputi evaluasi program dari para ketua bidang, komisi serta divisi. Evaluasi ini disampaikan masing-masinh ketua bidang yakni Bidang Pewartaan meliputi komisi Kitab Suci dan Kateketik, komisi liturgi, komisi pengembangan spiritualitas, Paroki (KPSK), komisi sound system. Selanjutnya Bidang Kemasyarakatan meliputi: komisi PSE, komisi Keadilan Perdamaian/JPIC, komisi kesehatan, komisi komsos, komisi pembangunan, dan juga komisi migran dan perantauan. Selain itu, dari Bidang Pembinaan meliputi komisi kerawam, komisi paskel, komisi kepemudaan, komisi pendidikan: divisi Pastoral remaja, komisi KKI divisi sekami yunior, divisi JPA,  Divisi Misdinar. Lebih lanjut dari Bidang Keuangan: komisi aset dan penggalangan dana. Kegiatan berjalan secara baik dan lancar dengan berbagai dinamika dalam pembahasan.  Evaluasi program diterima forum pleno  dengan beberapa catatan yang menjadi perhatian pada rancangan program dan mekanisme pelaporan pada tahun pelayanan 2025/2026. 

Kegiatan pleno pada hari Ke 2 pada hari Minggu, 19 Oktober 2025 berkaitan dengan pembahasan rancangan program tahun pelayanan 2025/2026 oleh masing - masing Bidang, komisi serta divisi. Dari hasil pembahasan maka diputuskan bersama seluruh peserta pleno berkaitan dengan program kerja untuk dijalankan pada tahun pelayanan 2025/2026.

Hasil evaluasi panitia pleno oleh Bapak Paskalis Wale Bai selaku ketua panitia "bahwa pelaksanaan kegiatan pleno paroki Salib Suci Soa (PS3) dilaksanakan di tengah kesibukan masyarakat adat Soa melaksanakan ritual adat berburu adat (rori witu) namun kita sangat bersyukur antusias dan kehadiran para peserta pleno sangat tinggi sehingga kegiatan pleno boleh berjalan sesuai dengan apa yanag telah direncanakan".

Pastor Paroki Salib Suci Soa (PS3) RD Siprianus Wona memberikan apreasiasi atas kinerja DPP paroki dan juga kehadiran para fungaionaris pastoral dan para undangan lain dari berbagai unsur yang mengambil bagian secara aktif dan konstruktif dalam mendukung semua program kerja DPP di tahun pelayanan pastoral 2025. Selain itu, di akhir arahannya RD Sipri menegaskan berkaitan dengan pola kebijakan paroki untuk pelayanan paroki tahun 2025. Selanjutnya semua rangkaian kegiatan pleno paroki dengan penandatanganan berita acara sebagai bukti bahwa evaluasi dan rancangan program yang telah  ditetapkan dapat dijalankan pada pelayanan pastoral di tahun 2026.

Di akhir kegiatan pleno Bapak Camat Kecamatan Soa Bapak Wempi Gili memberikan beberapa catatan kristis berkaitan dengan pelaksanaan pleno agar semua program kerja perlu memahami kondisi umat kita dengan berbagai situasi kehidupan. Selain itu, Dewan Pastoral Paroki perlu memberdayakan momen pleno tingkat stasi agar kegiatan pleno di tingkat paroki menghasilkan keputusan-keputusan yang dapat menjawabi kebutuhan hidup menggereja umat.

Ebu Pu,u, 19 Oktober 2025

Catatan 
Peserta Rapat Pleno
Oleh Siprianus Wara




10.10.25

Mendidik Generasi "Ampibi"


Repost dari akun Aya Bain laman NTT Pride


Kita hidup di zaman di mana banyak anak tumbuh dengan konsep “instan” dalam pikirannya. Sekali gagal, langsung menyerah. Sekali sulit, langsung minta bantuan. Padahal, penelitian dari University of Pennsylvania menunjukkan bahwa ketangguhan mental anak, atau grit, lebih berpengaruh terhadap kesuksesan jangka panjang daripada kecerdasan IQ. Artinya, anak yang tidak mudah menyerah justru memiliki peluang lebih besar untuk berhasil dalam hidupnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat ini dengan jelas. Anak yang belajar bersepeda akan berhenti mencoba setelah jatuh satu kali, sementara anak lain yang gigih akan terus mencoba sampai seimbang. Bukan karena yang pertama bodoh, tetapi karena tidak terbiasa menghadapi kesulitan tanpa diselamatkan. Banyak orang tua tanpa sadar membuat anak “rapuh” dengan terlalu cepat menolong. Padahal, di balik setiap kesulitan kecil, tersimpan peluang besar untuk menumbuhkan karakter tangguh.

Melatih anak agar tidak mudah menyerah bukan soal memberi motivasi atau ceramah tentang “harus kuat.” Ini tentang membangun sistem berpikir, pola emosi, dan lingkungan yang mendukung ketekunan. Tujuh prinsip berikut menjelaskan bagaimana caranya.

1. Ajari bahwa kegagalan bukan musuh, tapi guru terbaik

Banyak anak takut gagal karena orang tuanya terlalu reaktif terhadap kegagalan. Ketika nilai ujian turun, reaksi pertama yang muncul adalah marah, bukan diskusi. Anak akhirnya belajar bahwa gagal berarti buruk, bukan kesempatan untuk belajar. Padahal, psikologi pendidikan menegaskan bahwa anak yang terbiasa gagal dan merefleksikan penyebabnya akan jauh lebih kuat secara emosional.

Misalnya, anak yang kalah dalam lomba menggambar cenderung ingin berhenti menggambar sama sekali. Tetapi jika orang tua menekankan proses daripada hasil—dengan menanyakan “apa yang kamu pelajari dari lomba itu?”—maka anak belajar bahwa gagal bukan akhir, tapi bagian dari perjalanan.

Kegagalan adalah bahasa kehidupan yang mengajarkan realitas. Anak yang mampu berbicara dalam bahasa ini akan lebih siap menghadapi dunia yang tidak selalu ramah. Di sinilah pentingnya melatih nalar emosional, salah satu tema yang dibahas mendalam dalam konten eksklusif LogikaFilsuf untuk orang tua yang ingin mendidik dengan kesadaran logis dan penuh refleksi.

2. Biarkan anak menyelesaikan masalahnya sendiri terlebih dahulu

Kebiasaan paling umum yang membuat anak cepat menyerah adalah intervensi orang tua yang terlalu dini. Setiap kali anak kesulitan, orang tua langsung turun tangan. Akibatnya, anak tidak belajar bagaimana mencari solusi. Ia terbiasa berpikir bahwa ketika sesuatu sulit, seseorang akan datang menyelamatkan.

Contohnya sederhana. Anak tidak bisa memasang tali sepatunya, lalu orang tua segera membantu. Padahal, dengan membiarkannya mencoba sedikit lebih lama, anak belajar mengatur emosi, fokus, dan mencari strategi baru. Inilah proses yang membangun mental endurance.

Memberi ruang untuk gagal dalam hal kecil adalah latihan menghadapi tekanan dalam hal besar. Dunia tidak akan selalu menyiapkan jalan yang mudah, maka rumah sebaiknya menjadi tempat pertama di mana anak belajar bertahan menghadapi kesulitan tanpa menyerah.

3. Tumbuhkan rasa ingin tahu, bukan rasa takut salah

Anak yang terlalu takut salah akan cenderung cepat menyerah. Rasa ingin tahu memudar ketika yang ia khawatirkan hanya penilaian dari orang lain. Maka tugas orang tua bukan hanya menuntut hasil, tetapi menumbuhkan keingintahuan.

Ketika anak bertanya hal-hal sederhana seperti “kenapa langit biru?” atau “kenapa aku harus belajar matematika?”, jangan buru-buru menjawab atau memotong dengan kalimat “nanti juga tahu sendiri.” Diskusi kecil seperti ini membuat anak merasa dihargai, dan merasa bahwa berpikir adalah sesuatu yang menyenangkan.

Rasa ingin tahu adalah bahan bakar untuk ketekunan. Anak yang penasaran tidak akan berhenti hanya karena kesulitan; ia akan terus mencari tahu. Maka, pendidikan sejati dimulai bukan dari buku teks, melainkan dari keinginan untuk memahami dunia dengan caranya sendiri.

4. Latih kemampuan menunda kepuasan

Anak yang terbiasa mendapatkan apa pun dengan cepat cenderung tidak tahan menghadapi proses. Dalam eksperimen terkenal Marshmallow Test oleh Walter Mischel, anak-anak yang mampu menunda makan permen demi hadiah lebih besar di kemudian hari terbukti lebih sukses secara akademik dan sosial ketika dewasa.

Latihan kecil seperti ini bisa diterapkan di rumah. Misalnya, minta anak menyelesaikan tugas sebelum menonton video kesukaannya. Atau ajarkan menabung untuk membeli mainan sendiri daripada langsung dibelikan.

Dari latihan sederhana itu, anak belajar satu hal penting: tidak semua hal bisa didapat sekarang juga. Kesabaran dan konsistensi adalah bagian dari keberhasilan. Anak yang memahami hal ini akan lebih tahan menghadapi kegagalan dan tidak cepat menyerah di tengah jalan.

5. Jadilah contoh dalam menghadapi kesulitan

Anak belajar ketekunan bukan dari nasihat, tapi dari apa yang ia lihat setiap hari. Jika orang tua mudah stres, sering mengeluh, atau cepat menyerah ketika masalah datang, anak akan meniru pola yang sama.

Sebaliknya, ketika ia melihat orang tuanya tetap tenang dan berpikir jernih di tengah tekanan, ia belajar cara menghadapi kesulitan dengan kepala dingin. Anda tidak perlu menyembunyikan perjuangan di depan anak; justru bicarakan prosesnya. Katakan misalnya, “Mama lagi pusing kerjaan, tapi Mama pelan-pelan cari solusinya.”

Ketika anak melihat bahwa orang dewasa pun berjuang, tapi tidak menyerah, itu menjadi pelajaran hidup yang jauh lebih kuat daripada seribu nasihat.

6. Ajarkan pentingnya proses dibanding hasil

Banyak anak tumbuh dalam lingkungan yang hanya menghargai hasil akhir: nilai, piala, ranking. Padahal, yang membuat anak bertahan bukanlah hasil, melainkan keyakinan bahwa setiap proses punya makna.

Saat anak berusaha belajar menggambar tapi belum rapi, puji usahanya, bukan hasilnya. Katakan, “Kamu serius banget ya ngerjain ini.” Kalimat itu sederhana tapi berdampak besar bagi pembentukan growth mindset. Anak jadi belajar bahwa kerja keras lebih penting daripada kesempurnaan.

Dengan menghargai proses, anak merasa setiap usaha layak dilakukan, bahkan kalau belum menghasilkan apa-apa. Inilah cara halus menanamkan filosofi ketekunan: bahwa hasil hanyalah efek samping dari proses panjang yang dijalani dengan sabar.

7. Dorong anak mengenali emosinya ketika gagal

Saat anak gagal, jangan langsung menasihati. Biarkan ia merasakan kecewa, marah, atau sedih. Emosi adalah bagian dari proses belajar. Anak yang terbiasa memproses emosinya akan lebih kuat menghadapi situasi sulit tanpa meledak atau menyerah.

Setelah emosi mereda, baru ajak berbicara: “Kamu kecewa ya karena kalah?” Dari situ anak belajar mengenali perasaannya dan menyalurkannya secara sehat. Ia belajar bahwa tidak apa-apa merasa sedih, tapi yang penting adalah bagaimana bangkit setelahnya.

Anak yang mampu mengelola emosi tidak akan takut menghadapi kegagalan, karena ia tahu cara menenangkan diri. Di titik ini, Anda tidak hanya membentuk anak yang kuat secara mental, tetapi juga bijak secara emosional.

Menumbuhkan ketekunan pada anak bukan proses cepat, tapi investasi jangka panjang. Dunia yang mudah membuat kita lupa bahwa daya tahan justru lahir dari ketidaknyamanan. Maka, biarkan anak berjuang, biarkan ia mencoba, biarkan ia gagal—karena dari sanalah ia akan belajar menjadi manusia yang tidak mudah patah oleh kesulitan.

Kalau tulisan ini terasa membuka cara pandang baru, bagikan agar lebih banyak orang tua memahami bahwa daya juang bukan bakat, tapi hasil dari pola asuh yang sadar dan penuh kesabaran. Tulis pandanganmu di kolom komentar, karena setiap sudut pandang bisa memperkaya cara kita mendidik generasi yang tangguh.

23.6.25

Fase Usia Pernikahan

VOXRATEWATI.Com. By Siprianus Wara



   Foto insert: Dokumen pribadi



Repost dari akun FB karsig chanel

Fase usia pernikahan menggambarkan tahap-tahap yang umum dilalui pasangan suami istri seiring bertambahnya waktu dan usia pernikahan. Berikut pembagian umum fase usia pernikahan:
🌱 1. Fase Bulan Madu (0–2 Tahun)
Ciri-ciri:
Fokus pada romantisme dan penyesuaian awal.
Belajar hidup bersama, mengenal kebiasaan masing-masing.
Konflik masih minim, tapi bisa muncul karena adaptasi.
Tantangan:
Penyesuaian karakter, gaya komunikasi, dan ekspektasi.
Kemandirian finansial dan peran keluarga besar.
🏠 2. Fase Stabil dan Produktif (3–7 Tahun)
Ciri-ciri:
Mulai membangun rumah tangga secara serius.
Kehadiran anak-anak, fokus ke parenting dan karier.
Dinamika mulai kompleks, romantisme mulai berkurang.
Tantangan:
Menjaga komunikasi dan keintiman.
Stres karena pekerjaan, anak, atau ekonomi.
🔥 3. Fase Krisis Tengah Pernikahan (8–15 Tahun)
Ciri-ciri:
Masa rentan konflik atau kejenuhan (terutama 7–10 tahun).
Kadang muncul pertanyaan "Apakah saya bahagia?"
Anak mulai tumbuh besar, kebutuhan berubah.
Tantangan:
Perceraian banyak terjadi jika ego perasaan diutamakan difase ini.
Perlu usaha menjaga kedekatan emosional.
Risiko perselingkuhan atau keinginan “pelarian”.
🌳 4. Fase Matang (16–25 Tahun)
Ciri-ciri:
Hubungan lebih dewasa dan tenang.
Anak mulai remaja atau dewasa.
Lebih banyak fokus pada nilai hidup dan kebersamaan.
Tantangan:
Menyesuaikan diri saat peran sebagai orang tua berubah.
Menjaga cinta di tengah rutinitas panjang.
🌅 5. Fase Teman Hidup (25 Tahun ke atas)
Ciri-ciri:
Hubungan sangat erat, seperti sahabat sejati.
Anak-anak dewasa atau sudah keluar rumah.
Fokus ke kebersamaan dan menikmati masa tua.
Tantangan:
Menghadapi masa pensiun, perubahan kesehatan.
Menemukan makna baru dalam hubungan setelah anak mandiri.
---
#fasepernikahan #kehidupan 

2.6.25

Kekosongan Jiwa Oleh Prof. Vincent Gasperz

VOXRATEWATI.Com. 

Catatan: 
Tulisan ini diposting kembali dalam blog Voxratewati.com  sebagai bahan bacaan pribadi. Semua isi tulisan diposting secara utuh tanpa adanya editan atau penambahan hal lain. Semua isi bacaan berasal dari tulisan seseorang sesuai keterangan dalam postingannya.


 Gambar ilustrasi: oleh Prof Vincent         Gasperz

Kekosongan Jiwa di Balik Korupsi, Kejahatan, dan Bunuh Diri: Saat Spiritualitas Ditinggalkan, Kesadaran Kolektif Manusia Runtuh

Oleh Vincent Gaspersz, Lean Six Sigma Master Black Belt & Certified Management Systems Lead Specialist

Pengantar:

Dalam dunia yang semakin maju secara teknologi namun semakin rapuh secara batin, kita menyaksikan ironi besar: di tengah berlimpahnya tempat ibadah, lantunan khotbah, dan menjamurnya lembaga-lembaga keagamaan, justru angka korupsi, kejahatan moral, kebohongan publik, kekerasan domestik, dan kasus bunuh diri terus meningkat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah manusia kini tidak lagi takut kepada Tuhan? Ataukah sesungguhnya yang terjadi adalah manusia telah kehilangan koneksi batiniah terdalam—yakni spiritualitasnya sendiri?

Kita melihat banyak pejabat publik yang berbicara lantang tentang moral dan integritas di depan kamera, tetapi dalam kenyataannya bersikap manipulatif, tidak empatik, bahkan mencederai keadilan. Mereka mungkin mengutip ayat-ayat suci di forum resmi, namun tetap tega mengabaikan penderitaan rakyat yang tak terdengar suaranya. Inilah wajah rapuh dari masyarakat yang kehilangan fondasi kesadaran spiritual: ketika agama hanya menjadi formalitas politik, dan nilai-nilai Ilahi tidak lagi hidup dalam kesadaran batin.

Spiritualitas yang sejati tidak sekadar diucapkan, tetapi dihidupi. Dan ketika kesadaran spiritual itu mati—baik karena kesibukan duniawi, kerakusan akan kuasa, atau kehilangan makna hidup—maka manusia menjadi mesin tanpa jiwa: pandai berargumen, tetapi tak mampu mencintai; aktif berkegiatan, tetapi hampa dari belas kasih. Maka, yang kita saksikan hari ini bukanlah kekurangan agama secara institusional, tetapi kehampaan spiritual yang makin mendalam, bahkan di tengah simbol-simbol religius yang melimpah.

Seringkali kita menyederhanakan akar masalah rapuhnya moralitas publik hanya pada kurangnya pendidikan agama, seolah-olah agama adalah satu-satunya benteng pertahanan terhadap perilaku menyimpang. Namun kenyataannya, situasinya jauh lebih kompleks. Banyak pelaku korupsi, kekerasan struktural, atau tindakan amoral lainnya justru berasal dari kalangan yang secara lahiriah terlihat religius: mereka rajin beribadah, fasih mengutip kitab suci, mengenakan simbol keagamaan, dan bahkan dihormati sebagai tokoh spiritual atau pejabat publik yang katanya menjunjung nilai-nilai moral. Tetapi di balik semua penampilan itu, tersembunyi jurang batin yang sangat dalam—jurang yang disebut kekosongan spiritualitas.

Ini adalah kekosongan yang membuat seseorang mampu tersenyum di depan publik sambil menyusun kebijakan yang menyengsarakan, menyembunyikan fakta demi citra, memanipulasi data demi keuntungan kelompok, dan berdiri di mimbar moralitas sambil mempraktikkan ketidakjujuran. Mereka tidak lagi merasa bersalah karena hati nuraninya telah terputus dari pusat kesadaran spiritual. Ritual dilakukan, namun hanya sebagai rutinitas simbolik; doa diucapkan, tetapi tidak membangkitkan kasih. Akibatnya, tidak ada empati yang lahir, tidak ada rasa tanggung jawab terhadap penderitaan orang lain, dan yang tersisa hanyalah topeng-topeng moralitas yang retak dari dalam. Inilah bukti nyata bahwa tanpa spiritualitas yang hidup, agama bisa berubah menjadi kostum etis semu—indah dilihat, tetapi kosong dirasa.

Dalam banyak tragedi bunuh diri, kita juga menemukan hal yang serupa. Banyak dari mereka bukan tak tahu agama, tapi tak lagi merasakan makna hidup. Mereka merasa kosong, kehilangan pegangan batin, dan tak mampu lagi merasakan kehadiran kasih Tuhan dalam hidup mereka. Ini bukan sekadar krisis iman formal, tapi krisis spiritual yang lebih mendalam—yang tak bisa disembuhkan hanya dengan anjuran, tetapi butuh pemulihan kesadaran dari dalam diri.

Itulah sebabnya kini muncul disiplin ilmu baru bernama Neurotheology atau Spiritual Neuroscience—sebuah bidang yang menjembatani antara pengalaman spiritual dan sistem kerja otak manusia. Neurotheology membuktikan bahwa pengalaman religius atau spiritual bukan sekadar ilusi atau doktrin, melainkan pengalaman nyata yang bisa direkam dalam aktivitas saraf otak, terutama di area-area yang berhubungan dengan empati, kesadaran diri, dan koneksi terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Ketika bagian otak ini mati karena tidak dilatih atau dihidupkan, maka bukan hanya rasa damai yang lenyap, tetapi juga kompas moral manusia ikut runtuh.

Neurotheology bukanlah agama baru, melainkan sebuah pendekatan transdisipliner yang menawarkan pemahaman baru tentang bagaimana manusia mengalami Tuhan: melalui aktivitas otak, struktur kesadaran, dan mekanisme batiniah. Ia memberikan kerangka ilmiah bagi spiritualitas, tanpa mengurangi kedalaman nilai-nilai rohaniah yang dialami individu secara personal. Karena itu, tidak mengherankan bila pengikut atau peminat Neurotheology berasal dari beragam latar belakang agama maupun non-agama.

Spiritualitas tidak harus dibatasi oleh formalitas agama. Ia adalah kesadaran yang hidup dan dinamis—kesadaran bahwa ada makna, ada tujuan hidup, ada kasih Ilahi yang menyertai, ada rasa tanggung jawab terhadap sesama dan alam semesta. Inilah fondasi terdalam dari moralitas manusia. Tanpa spiritualitas, agama pun bisa menjadi kosong: sekadar simbol, rutinitas, dan bahkan alat kekuasaan. Dan tanpa kesadaran ini, tak heran jika seseorang bisa mencuri tanpa rasa bersalah, menipu tanpa rasa malu, atau bahkan mengakhiri hidupnya sendiri karena merasa tak berarti.

Namun penting dicatat, bahwa agama sebagai institusi tetap memiliki peran penting—yakni sebagai wadah dan penuntun nilai-nilai luhur. Yang menjadi krusial bukanlah menyalahkan agama, melainkan menyadari bahwa agama tanpa kesadaran spiritual akan menjadi kosong, dan spiritualitas tanpa nilai etika bisa menjadi liar.

Neurotheology hadir sebagai jembatan yang ilmiah dan spiritual sekaligus. Ia menunjukkan bahwa pengalaman ketuhanan bukanlah monopoli satu sistem keyakinan tertentu, melainkan bagian dari mekanisme kesadaran manusia yang universal, yang bisa diakses melalui berbagai jalan—baik ritual agama maupun perenungan batiniah.

Oleh karena itu, pemahaman dan penerapan konsep Neurotheology dalam konteks agama maupun spiritualitas dapat memperkuat ketaatan kita terhadap firman Tuhan, karena ia menanamkan kesadaran bahwa Tuhan tidak hanya ingin disembah, tetapi juga dihayati dan dialami secara utuh. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya menjadi pengikut yang taat secara lahiriah, tetapi juga pribadi yang terhubung secara mendalam dengan nilai-nilai Ilahi dalam setiap aspek kehidupan. Neurotheology mendorong kita untuk menjalani iman bukan hanya sebagai sistem, tetapi sebagai kesadaran hidup yang transformatif, sehingga pengamalan agama menjadi lebih bermakna, menyatu antara akal, hati, dan tindakan nyata.

Mengapa Spiritualitas adalah Inti Moralitas Manusia?

Karena spiritualitas menyentuh dimensi terdalam manusia yang tidak bisa dijangkau oleh hukum, otoritas, atau ketakutan terhadap hukuman. Ia membentuk kompas moral dari dalam. Ketika seseorang memiliki kesadaran spiritual, ia tidak mencuri karena takut masuk neraka—tetapi karena ia sadar bahwa menyakiti orang lain adalah menyakiti bagian dari Tuhan yang ada dalam dirinya sendiri. Ia tidak berbohong bukan karena takut dikutuk, tetapi karena ia tahu bahwa kebenaran adalah bagian dari jati dirinya yang paling hakiki.

Sebaliknya, ketika spiritualitas mati, maka seseorang bisa melakukan kejahatan bahkan sambil berdoa. Ia bisa menyalahgunakan simbol agama demi kekuasaan atau kekayaan, dan merasa benar karena telah memenuhi syarat formal.

Mengapa Neurotheology Menjadi Kunci untuk Memahami Ini?

Karena Neurotheology mengungkapkan bahwa otak manusia memang dirancang untuk merasakan kehadiran Tuhan, dan ketika bagian-bagian otak ini aktif, manusia merasa damai, penuh kasih, dan bertanggung jawab terhadap sesama. Namun ketika bagian-bagian ini tidak aktif (karena tidak pernah dipakai dalam refleksi, kontemplasi, atau pengalaman spiritual), maka manusia menjadi dangkal, impulsif, rakus, dan bahkan depresi.

Studi dengan fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) telah menunjukkan bahwa aktivitas spiritual yang otentik—seperti meditasi, doa reflektif, dialog dengan Tuhan atau perenungan makna hidup secara mendalam—meningkatkan konektivitas otak yang berhubungan dengan kebahagiaan, kendali emosi, dan empati sosial.

Lingkaran Transformasi Spiritual: Menyelami Akar Moralitas Manusia

Definisi Umum:

Lingkaran Transformasi Spiritual adalah suatu model kesadaran integral yang menggambarkan bagaimana dimensi batin manusia (spiritualitas) berinteraksi dengan arsitektur lingkungan, aktivitas otak (neurosains), tingkat kesadaran, dan kesehatan mental dalam satu siklus saling memengaruhi. Siklus ini terdiri atas lima elemen utama: Spirituality → Architecture → Neuroscience → Consciousness Status → Mental Health.

Model ini menjelaskan bahwa akar dari berbagai tindakan menyimpang seperti korupsi, ketidakjujuran, kekerasan, bahkan bunuh diri, seringkali bukan sekadar karena lemahnya pendidikan agama, tetapi karena terputusnya kesadaran spiritual yang seharusnya menopang kehidupan batin manusia.

No. 1. Spirituality (Spiritualitas sebagai Sumber Kesadaran Moral)

Spiritualitas adalah kesadaran batin yang meyakini bahwa kehidupan bukan semata soal pencapaian materi, tetapi tentang makna hidup, cinta kasih, dan hubungan langsung dengan Tuhan atau Kesadaran Tertinggi. Dalam spiritualitas, manusia bertindak baik bukan karena takut dihukum atau ingin pahala, tetapi karena merasa satu dengan sesama dan semesta.

Contoh konkret:

• Seorang pejabat mungkin rajin salat atau ke gereja tiap minggu, tetapi tetap menyelewengkan dana publik karena ritualnya tidak disertai dengan kesadaran batin akan tanggung jawab Ilahi.

• Seorang guru agama bisa mengajarkan kasih, tapi menyimpan kebencian dan memecah belah, karena kehilangan koneksi spiritual sejati dengan nilai Ilahi yang diajarkannya.

No. 2. Architecture (Arsitektur sebagai Cermin Kesadaran Ilahi).

Lingkungan fisik membentuk suasana batin dan memengaruhi cara berpikir. Arsitektur spiritual—baik dalam bentuk rumah ibadah, ruang kontemplasi, maupun tata ruang kota—seharusnya dirancang untuk membangkitkan keheningan, kedamaian, dan keterhubungan batin. Ketika arsitektur menjadi simbol kekuasaan dan kemewahan, bukan perenungan, maka ruang kehilangan fungsinya sebagai pemancar kesadaran spiritual.

Contoh konkret:

• Gereja yang megah atau masjid yang megah, tetapi dibangun dari praktik suap atau eksploitasi buruh, justru kehilangan fungsi spiritualnya.

• Kantor-kantor pemerintah yang dirancang secara otoriter menciptakan budaya birokrasi yang kaku dan mematikan empati.

No. 3. Neuroscience (Otak sebagai Instrumen Moral dan Spiritualitas).

Neurotheology dan ilmu neurosains telah menunjukkan bahwa spiritualitas memengaruhi aktivitas otak, khususnya pada bagian prefrontal cortex (kendali moral, refleksi) dan lobus parietal (kesadaran diri dan kesatuan dengan semesta). Ketika seseorang rutin melakukan refleksi spiritual seperti dialog, meditasi, empati dan kendali moral meningkat. Ketika tidak, otak justru memberi ruang pada impuls egoistik.

Contoh konkret:

• Studi pemindaian otak (fMRI) menunjukkan bahwa mereka yang terbiasa dengan praktik spiritual menunjukkan aktivitas lebih tinggi di pusat moral otaknya.

• Sementara itu, pelaku kejahatan berulang seperti penggelapan dana, pemerkosa anak, hingga pembunuh, menunjukkan melemahnya respons empatik akibat kegagalan pengembangan dimensi spiritual yang mendalam.

No. 4. Consciousness Status (Tingkat Kesadaran akan Realitas Ilahi).

Kesadaran spiritual yang tinggi (higher consciousness) menciptakan manusia yang welas asih, tidak egoistik, dan hidup dengan rasa tanggung jawab yang tinggi. Sebaliknya, kesadaran yang rendah (lower consciousness) membuat seseorang terjebak pada kepentingan diri sendiri dan mudah menjustifikasi kejahatan sebagai strategi bertahan.

Contoh konkret:

• Seorang pemuka agama yang memanipulasi jemaah untuk tujuan politik pribadi menunjukkan kesadaran rendah, meski secara simbolis terlihat religius.

• Seorang tokoh yang hidup sederhana, jujur, dan melayani orang lain tanpa pamrih, meskipun tanpa jabatan agama formal, mencerminkan kesadaran tinggi.

No. 5. Mental Health (Kesehatan Mental sebagai Refleksi Spiritualitas yang Sehat).

Gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan keinginan bunuh diri sering bukan karena lemah dalam ritual keagamaan, tetapi karena hilangnya makna hidup, keterasingan batin, dan kehampaan eksistensial. Spiritualitas memberikan arah, penerimaan, dan rasa koneksi dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Contoh konkret:

• Banyak orang muda yang bunuh diri meskipun aktif dalam kegiatan keagamaan, karena ritual tersebut tidak mampu menjawab kegelisahan eksistensial dan hilangnya makna personal.

• Sebaliknya, seorang lansia yang sederhana namun hidup dengan penuh perasaan bersyukur dan melayani sesama bisa memiliki kesehatan mental yang luar biasa karena spiritualitasnya menyatu dalam keseharian.

Kembali ke Spiritualitas: Penutup Lingkaran

Akhir dari transformasi ini kembali pada spiritualitas—kesadaran tertinggi bahwa hidup adalah persembahan. Tanpa spiritualitas, manusia hanya menjadi mesin biologis yang haus kekuasaan dan pujian. Dengan spiritualitas, manusia menjadi makhluk sadar yang hidup dengan integritas, kasih, dan kehadiran IIahi yang otentik dalam keseharian. Catatan VG: KASIH = Kehendak Allah selalu Isi Hati; Hati = Harmonisasi antara tindakan dan iman; IMAN = Ikhlas Menjadikan Allah Nakhoda.

Contoh konkret:

• Seorang pemimpin yang jujur bukan hanya mengandalkan hukum atau simbol agama, tetapi juga mendasarkan keputusan pada suara batin dan tanggung jawab suci di hadapan Tuhan dan rakyat.

Rangkuman dan Refleksi:

Dalam kehidupan yang semakin cepat, bising, dan penuh tekanan, manusia tampak semakin jauh dari dirinya sendiri—dari makna hidup, dari suara hati, dan dari kesadaran Ilahi. Dua gambar otak yang ditampilkan membuka ruang refleksi mendalam tentang apa sesungguhnya yang hilang dari peradaban manusia saat ini. 

Gambar pertama memetakan nilai-nilai spiritual seperti God, Prayer, Peace, Faith, Love, Joy, Kindness, dan Understanding ke dalam bagian-bagian otak, seolah mengisyaratkan bahwa kesadaran spiritual adalah bagian dari sistem kesadaran biologis kita. Sementara gambar kedua menawarkan sudut pandang ilmiah dari Neurotheology—menandai lokasi-lokasi otak yang terlibat dalam pengalaman spiritual, pengalaman menjelang kematian (Near-Death Experience), aktivasi ‘God Spot’, dan pelepasan ‘God Chemical’.

Makna dari dua gambar ini menjadi semakin penting jika kita melihat kenyataan hari ini: angka bunuh diri meningkat, korupsi menyebar seperti epidemi, krisis kepercayaan memburuk, dan banyak orang merasa hidup ini hampa, meskipun secara lahiriah tampak SUCCESS. Kenapa ini terjadi? Karena otak manusia bukan hanya tempat logika bekerja, tetapi juga tempat nilai-nilai spiritual berakar. Ketika nilai-nilai seperti kasih, kesabaran, doa, dan damai tidak dihidupkan, maka bagian spiritual otak kita perlahan mati secara fungsional.

Gambar pertama membawa kita pada kesadaran bahwa spiritualitas bukan sekadar urusan agama atau ibadah formal, tetapi lebih dalam lagi: ia adalah peta kesadaran manusia. Setiap nilai yang disebut—seperti "Teamwork," "Patience," "Peace," dan "Understanding"—adalah fondasi moral kehidupan sosial dan batiniah kita. Jika bagian-bagian ini tidak distimulasi oleh pengalaman yang bermakna, maka manusia mudah terjerumus pada kesepian, kecemasan, amarah, bahkan kekerasan.

Sebaliknya, gambar kedua memberikan validasi ilmiah bahwa pengalaman spiritual bukanlah ilusi, tetapi kenyataan neurobiologis. Ketika seseorang mengalami perasaan menyatu dengan Tuhan, atau mengalami kedamaian luar biasa saat nyaris mati, bagian otaknya menunjukkan aktivitas yang khas dan dapat diukur. Istilah seperti "The God Spot" merujuk pada area lobus parietal dan prefrontal yang aktif dalam pengalaman transendental. “The God Chemical," seperti serotonin, oksitosin, dan DMT (Dimethyltryptamine), adalah senyawa yang secara alami dihasilkan tubuh untuk menciptakan kondisi batin yang damai dan penuh makna.

Yang menarik, di antara kedua gambar ini terdapat benang merah yang sangat kuat: tanpa kesadaran spiritual, moralitas dan kesehatan mental ikut runtuh. Seseorang bisa rajin ke tempat ibadah, tapi tetap korup. Ia bisa hafal kitab suci, tapi tetap kejam terhadap sesama. Ini terjadi ketika spiritualitas hanya hidup dalam simbol, tapi mati dalam sistem kesadaran. Sebaliknya, ada orang yang sederhana, tanpa gelar religius, namun hidup penuh kasih, sabar, dan jujur. Otaknya, dalam perspektif neurotheology, telah terlatih untuk menyatu dengan nilai-nilai Ilahi, meskipun tanpa dogma.

Kita juga belajar dari gambar kedua bahwa pengalaman spiritual bisa dialami oleh siapa saja—terlepas dari agama atau latar budaya. Mereka yang mengalami Near-Death Experience seringkali menceritakan hal yang serupa: cahaya terang, kedamaian mendalam, perasaan dicintai tanpa syarat. Ini menunjukkan bahwa spiritualitas adalah bahasa universal dari sistem kesadaran manusia, bukan monopoli satu sistem keimanan.

Kesehatan mental pun sangat ditentukan oleh seberapa aktif dan seimbang pusat spiritual otak kita. Ketika seseorang kehilangan rasa makna hidup, ia kehilangan aktivasi neurokimia yang membangun harapan dan kedamaian. Sebaliknya, ketika seseorang terbiasa berdoa dan berdialog secara tulus, memaafkan, bersyukur, dan merenungkan hidup, ia membangun jalur saraf baru yang membuatnya lebih tahan terhadap stres, lebih damai dalam tekanan, dan lebih kuat menghadapi kehilangan.

Oleh karena itu, gambar pertama bisa dipahami sebagai proyeksi ideal dari otak yang sehat secara spiritual. Ini adalah peta otak seorang manusia utuh: ia berkomunikasi dengan kasih, berpikir dengan pengertian, hidup dalam pengampunan, dan menyatu dengan Tuhan dalam doa dan perasaan bersyukur. Sedangkan gambar kedua adalah peta ilmiah dari fenomena spiritualitas yang diamati melalui neurosains—menjelaskan secara mekanistik bahwa memang manusia memiliki desain biologis untuk mengalami Tuhan.

Jika kedua pendekatan ini—yakni pendekatan simbolik-spiritual dan pendekatan ilmiah-neurobiologis—disatukan, maka kita memperoleh pemahaman yang utuh: bahwa iman bukan sekadar kumpulan ajaran atau doktrin, melainkan sebuah pengalaman saraf yang nyata; dan bahwa cinta, doa, serta kedamaian bukan hanya nilai-nilai etika abstrak, melainkan pola biologis yang terstruktur dalam sistem otak manusia. Temuan ini menegaskan bahwa kita tidak bisa lagi memisahkan perkembangan spiritual dari pendidikan, kesehatan mental, dan pembentukan karakter manusia modern.

Itulah sebabnya mengapa kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan emosional (EQ) harus menyatu dan saling melengkapi—karena hanya melalui integrasi ketiganya, manusia mampu berpikir tajam, merasa empatik, dan hidup dengan kesadaran transendental. Tanpa integrasi ini, maka kita hanya akan menghasilkan individu yang cerdas secara kognitif (intelektual), tetapi rapuh secara moral dan spiritual—yang pada akhirnya akan gagal membangun peradaban yang berkeadilan, berbelas kasih,  bermakna dan berdampak luas.

Dalam konteks ini, pemulihan masyarakat dari krisis moral dan eksistensial tidak cukup hanya melalui pendidikan agama normatif, tetapi harus dilengkapi dengan pendidikan kesadaran spiritual berbasis pengalaman batin dan refleksi personal. Kita harus melatih manusia untuk menyadari kehadiran Tuhan dalam dirinya, bukan hanya di luar dirinya. Kita harus membangkitkan rasa kasih, sabar, syukur, dan pengampunan bukan hanya sebagai norma, tapi sebagai realitas kesadaran.

Akhirnya, kedua gambar otak ini bukan sekadar ilustrasi, tapi peta kesadaran kolektif umat manusia. Mereka menegaskan bahwa Tuhan bukan hanya hadir di langit, tapi dalam arsitektur kesadaran kita sendiri. Bahwa surga dan neraka bukan hanya soal nanti, tapi tentang apa yang aktif dan apa yang mati dalam pikiran kita hari ini. Jika kita merawat pusat spiritual ini—baik melalui ibadah, meditasi, dialog dan kontemplasi, atau cinta kasih sejati—maka kita bukan hanya menjadi manusia religius, tapi manusia utuh yang mampu membawa terang di dunia yang gelap.

Dan mungkin inilah panggilan zaman kita: bukan hanya menciptakan generasi cerdas dan berprestasi, tapi generasi sadar, yang mengalami Tuhan bukan karena diajarkan, tetapi karena dialami di dalam struktur terdalam kesadarannya. Sebab spiritualitas bukan sekadar pilihan gaya hidup, tetapi mekanisme sadar untuk menyelamatkan jiwa manusia dari kehancuran dirinya sendiri.

Salam SUCCESS 6K!

30.5.25

Era Baru Pendidikan Dasar 9 Tahun "gratis"

VOXRATEWATI.Com. By Siprianus Wara

               Foto insert: Www.Google.Com


Kebijakan dalam dunia pendidikan menjadi perhatian serius dari pemerintah. Dalam upaya pemerataan pendidikan bagi semua lapisan masyarakat dari waktu ke waktu terus digalakan agar mencapai amanat undang-undang yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Akhir Mei 2025 menjadi pemberitaan yang memicu pro dan kontra dari berbagai pihak dimana Mahkamah Kontitusi (MK) telah menetapkan terkait sebuah keputusan besar bahwa pendidikan dasar 9 tahun gratis.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). MK memvonis bahwa pendidikan dasar 9 tahun baik negeri maupun swasta, harus digratiskan. 

Merujuk situs Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Pendidikan Dasar yang dimaksud terdiri dari Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk pendidikan lain yang sederajat. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang di Gedung MK, Jakarta pada Selasa, 27 Mei 2025.  

Keputusan MK menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat cara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.” 

Menurut MK, frasa “tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas harus dimaknai sebagai kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar tanpa diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta, selama dalam kerangka wajib belajar.

Berita selengkapnya www.metrotvnews.com

24.5.25

Divisi Konseling Keluarga KAE Gelar Konseling Pastoral Praktis di Paroki Salib Suci Soa


Konseling Keluarga
Kenyataan Dan Harapan
Paroki Salib Suci Soa

Narasumber: 
Rm Dr. Nobert Labu Ketua Divisi Konseling Keluarga Keuskupan Agung Ende)
Rm. Benediktus Lalo Ketua Konseling Keluarga Kevikepan Bajawa
Tim Konseling Keluarga kevikepan. Bajawa

                               Foto kegiatan oleh panitia

Tim Konseling Keluarga Keuskupan Agung Ende bekerjasama Konseling Keluarga Kevikepan Bajawa melaksanakan kegiatan pendampingan konseling keluarga praktis bagi para pasangan suami istri  (pasutri) perwakilan dari ke 17 stasi di wilayah paroki Salib Suci Soa (PS3) pada 23-24 Mei 2025. Kegiatan ini dihadiri lebih dari 27 pasutri dalam upaya mengoptimalkan peran saksi nikah bagi pasutri muda di wilayah Paroki Salib Suci Soa.

Kegiatan ini diinisiasi oleh Pastor Paroki Salib Suci Soa Rm. Siprianus Wona dengan mengusung tema "Konseling Keluarga Antara Kenyataan dan Harapan".  Kegiatan ini sebagai tindak lanjut dan didasari atas hasil musyawarah pastoral ke VIII keuskupan Agung Ende sebagai bagian dari keberpihakan gereja lokal yang menitikberatkan perhatiannya bagi para pasutri muda, kaum muda serta anak-anak. Maka dari itu, sangat dipandang perlu bahwa para pasutri di Paroki Soa mendapatkan pendampingan dalam rangka mengoptimalkan peran saksi nikah dalam memposisikan dirinya sebagai pendamping yang membantu para pasutri muda pasca penerimaan sakramen perkawinan. 

Konseling keluarga keuskupan merupakan sebuah divisi yakni di bawah naungan komisi pastoral keluarga keuskupan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan komisi pastoral keluarga (paskel) yang terbentuk di paroki. Ini menyadarkan kembali para pasutri akan hakekat perkawinan Katolik yang dapat dipahami sebagai ikatan perjanjian antara seorang pria dan wanita untuk membangun kebersamaan hidup.

Sekali lagi dipahami bahwa perkawinan Katolik bercirikan unitas-kesatuan dan indissolubilitas (tak dapat  terceraikan) serta sakramental (band. Kan.1055 ayat 1; Kan. 1056). Selain kesatuan atau monogami dan sifat tak terceraikan maka perkawinan Katolik mengandung makna yakni sebuah perjanjian (feodus) yang merupakan unsur penting yang perlu mendapatkan perhatian. Gagasan ini merupakan gagasan biblis dan spiritual yang melukiskan relasi antara Yahwe dan Israel atau menurut St.Paulus, relasi antara Kristus dan gereja (Materi  oleh Rm. Norbertus Labu).

Perkawinan katolik merupakan ikatan cinta suami istri adalah seumur hidup dimana dalam perkawinan Katolik merupakan ekspresi dan simbol "kesetiaan Allah dan umat-Nya atau ikatan antara Kristus terhadap gereja-Nya. Oleh karena itu, perkawinan Katolik perlu dipahami secara mendalam yang merupakan perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita bukan persekutuan 2 pribadi (misalnya  pria dan pria atau wanita dan wanita atau sesama sejenis) dalam hal ini gereja Katolik sangat tidak mengakui ini. Lebih lanjut dalam Kanon 1055 ayat 1 menyebutkan ada 2 tujuan atau keterarahan pokok perkawinan katolik yaitu kesejahteraan suami dan istri dan juga keterbukaan pada kelahiran dan pendidikan anak. Kesejahteraan suami isteri (bonum coniugum) merupakan wujud dan buah dari cinta kasih suami istri dimana adanya kemauan dan kemampuan untuk hidup dan tinggal bersama yang layak dan perlu untuk mencapai tujuan perkawinan secara efektif. Selain itu, adanya kemampuan dan kemauan untuk mencakupi kebutuhan hidup pasangan Serta kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan dalam perkawinan dan keluarganya.

Dari landasan biblis di atas maka adanya kenyataan yang memprihatinkan dimana data tribunal Keuskupan Agung Ende (KAE) per 26 Mei 2020 memperlihatkan bahwa selama tahun 2015-2020 ada 70 kasus permohonan anulasi perkawinan atau pembatalan perkawinan belum terhitung data 5 tahun terakhir yakni keadaan tahun 2020-2025. Maka Uskup Agung Ende Mgr. Vincet Sensi (Alm) membentuk divisi konseling yang merupakan bagian dari komisi pastoral keluarga (paskel). Mula-mula dikembangkan oleh Romo Lukas dengan melakukan kegiatan sosialisasi bagi keluarga di paroki-paroki hingga saat ini diketuai oleh Rm.Dr. Norbertus Labu dan di kevikepan Bajawa konseling keluarga diketuai oleh Romo Beni Lalo.

Kenyataan lainnya di lapangan dan kemudian menjadi kesadaran bersama dalam sidang lintas dan MUSPAS VIII bahwa saksi nikah memiliki peran strategis dalam pendampingan keluarga pasca pernikahan. Peran ini sudah lama dikembangan di KAE dan hingga saat ini terus dilakukan optimalisasi agar perannya semakin kuat dan berkelanjutan. Hal ini disadari bahwa untuk menjadi saksi nikah tidak ada sekolah atau pelatihan khusus menjadi namun hanya keterpanggilan dan kepercayaan dari pasutri muda untuk menjadikan pasutri lain untuk mendampingi kehidupan keluarganya pasca penerimaan sakramen perkawinan.

Maka dari itu, pelatihan konseling keluarga merupakan cara untuk meningkatkan kapasitas para saksi nikah dalam menjalankan pastoral keluarga. Konseling pastoral keluarga  merupakan kegiatan pelayanan atau bimbingan yang diberikan oleh seorang konselor yang dapat membantu para pasutri untuk mendampingi para pasutri muda pasca menerima sakramen perkawinan. Semoga kegiatan pendampingan ini dapat memberikan kebermanfaatan bagi para saksi nikah di wilayah paroki Salib Soa sebingga kebidupan perkawinan keluarga-keluarga Katolik mencapai keharmonisan dan mewartakan kasih Kristus dalam setiap hidup dan karyanya.
 
Kegiatan bimbingan konseling keluarga praktis ini para peserta tidak hanya dibekali dengan gagasan-gagasan namun juga ada sesi melakukan praktik menggali permasalahan yang terjadi dan bagaimana mencari solusi dengan berbagai teknik. Beberapa teknik diperkenalkan dan disesuaikan dengan kebutuhan pasutri dalam mendampingi pasutri muda. Selain itu, para peserta diberikan kesempatan untuk melakukan simulasi dimana para saksi nikah sebagai konselor dan pasutri muda sebagai konseli hal ini bertujuan agar para pasutri bisa saling belajar satu sama lain sebagai saksi nikah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bersama pasutri dampingannya mulai dari mendefenisikan permasalahan, mencari tahu akar permasalahan serta solusi yang ditempuh dan juga bagaimana menghadapi kendala-kendala pasca upaya penyelesaian masalah. Selamat mmenjalani tugas perutusan para konselor terlatih para pasutri wilayah Paroki Salib Suci Soa***

Oleh Sipri Wara

19.1.25

Astera 2C# "Melangkah Dengan Pasti"

VOXRATEWATI.Com. By Siprianus Wara


                    Foto insert: koleksi pribadi

Kegiatan "me time" bagi setiap pribadi dewasa ini sangatlah urgen untuk kebutuhan manajemen diri dalam tumbuh kembang kepribadian ke arah yang lebih baik. Hal ini tidak saja bagi kaum muda, pelajar atau mahasiswa namun juga bagi orang dewasa atau siapa saja dengan berbagai latar belakang profesi untuk memberi waktu baginya untuk menemukenali dirinya baik relasinya dengan diri, sosial atau relasi dengan Sang Pencipta. Momen "me time" yang umum dikenal yaitu kegiatan retret.

Sekedar untuk diingat kata retret berasal dari bahasa Perancis "la retraire", bahasa Inggris dari kata "retreat" dan bahasa Latin "retirare" serta dalam bahasa Indonesia kata retret yang berarti mundur, menyendiri, menyepi dari setiap kesibukan atau rutinitas diri untuk mencapai ketenangan batin baik secara individu atau kelompok (Dari berbagai sumber).

Dalam perkembangannya dewasa ini, kegiatan retret tidak hanya berkaitan dengan kegiatan rohani namun sebagai momen yang dimanfaatkan oleh setiap individu atau kelompok untuk relaksasi dan pemulihan diri agar seseorang lebih memaknai keberadaan diri dan masa depan serta bagaimana peran dirinya di tengah kehidupan sosial lainnya.

Dalam konteks retret bagi para pelajar biasa dilakukan pada penghujung masa formasi pada satu jenjang pendidikan yakni di kelas 6, 9 atau kelas 12. Maka pada tanggal 14 -22 Januari 2025, para siswa kelas 12 SMAS Regina Pacis Bajawa angkatan Astera 43 " Per aspera ad astra, mencapai bintang melalui perjuangan,. Sebanyak 373 siswa kelas 12 dibagi dalam 4 gelombang mengadakan kegiatan retret di rumah doa di komunitas biara Carmel St. Yoseph OCD Bogenga Bajawa. Tema  kegiatan retret kali ini "Melangkah dengan Pasti". Para siswa diberi waktu untuk melihat kedalaman dirinya untuk menata hidup ke jenjang pendidikan selanjutnya dan juga memantapkan cita-cita hidupnya masing-masing.

Kegiatan siswa meliputi perayaan ekaristi, doa dan refleksi dari berbagai perikop dalam injil agar menghayati secara mendalam tentang diri, kehidupan pribadi serta masa depannya.  Melalui sesi berbagi terkait pengalaman hidup sebagai siswa sejak awal masuk SMA Regina Pacis Bajawa hingga saat ini. SMA Regina merupakan s lembaga pendidikan Katolik di wilayah keuskupan Agung Ende dimana para siswa merefleksikan kisahnya dalam sharing di penghujung masa formasi di kelas 12 ini. Kegiatan retret dilaksanakan selama 3 hari 2 malam. Berbagai kegiatan pendanpingan dijalani  para siswa dengan penuh antusias dan bermakna dengan silentium magnum pada setiap akhir sesi sehingga para siswa mampu menggali dan memperkuat potensi dirinya melalui berbagai kegiatan baik secara individu maupun kelompok. Setiap sesi kegiatan dipandu oleh Para Imam dan frater OCD, serta Bapak/Ibu guru wali kelas sebagai pendamping baik kegiatan indoor maupun outdoor.  

Semua kegiatan ini dalam upaya pengembangan nilai-nilai diri siswa secara universal dan penguatan karakter para meliputi 5 nilai  utama komunitas SMAS Regina Pacis Bajawa yakni jujur, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, kerja sama dengan visi "Mewujudkan komunitas bemutu dan humanis dalam pelayanan" sehingga nilai-nilai ini menjadi spirit dan fondasi dalam menggapai cita-citanya.

Selamat berproses dalam masa formasi  melalui kegiatan retret, demi mencapai transformasi diri agar menjadi lulusan yang berkompeten, berkarakter, serta berwawasan global dan mampu berdaya guna baik bagi diri dan orang lain serta menjadi pribadi yang mandiri dan dapat mewujudkan pemimpin yang integral holistik di masa mendatang.***