31.10.25

Pola ABCD Dalam Perencanaan Pembelajaran

Oleh Yuni Kharisma

Dalam proses perencanaan pembelajaran, salah satu langkah penting yang tidak boleh dilewatkan adalah menyusun tujuan pembelajaran. 

Tujuan pembelajaran menjadi arah bagi guru dan peserta didik tentang apa yang harus dicapai setelah kegiatan belajar selesai. Namun, masih banyak guru yang menulis tujuan pembelajaran secara umum dan belum menggambarkan hasil belajar yang terukur.

Salah satu cara efektif untuk membuat tujuan pembelajaran yang spesifik, terukur, dan mudah dipahami adalah dengan menggunakan pola ABCD.

---

📍Apa Itu Pola ABCD?

Pola ABCD merupakan singkatan dari empat unsur utama dalam perumusan tujuan pembelajaran, yaitu:

1. A (Audience) → Siapa yang belajar
Menunjukkan siapa yang menjadi sasaran pembelajaran. Biasanya adalah peserta didik.

2. B (Behavior) → Perilaku atau kemampuan yang diharapkan
Menggambarkan kemampuan atau keterampilan yang dapat diamati dan diukur setelah pembelajaran. 

Biasanya menggunakan kata kerja operasional seperti menjelaskan, mengidentifikasi, menghitung, menyebutkan, menganalisis, dan sebagainya. ==> (Cek Taksonomi Bloom)

3. C (Condition) → Kondisi atau situasi belajar
Menjelaskan kondisi atau alat bantu yang digunakan ketika peserta didik menunjukkan kemampuan tersebut, misalnya “melalui video pembelajaran”, “dengan menggunakan mikroskop”, atau “setelah membaca teks”.

4. D (Degree) → Tingkat keberhasilan
Menunjukkan kriteria pencapaian yang diharapkan, seperti ketepatan, kecepatan, atau tingkat keberhasilan tertentu (misalnya “dengan benar”, “minimal 80%”, atau “tanpa kesalahan”).

---

📍Langkah-Langkah Menyusun Tujuan Pembelajaran dengan Pola ABCD

1. Tentukan peserta didik yang menjadi sasaran (A).
Misalnya: Peserta didik kelas V SD.

2. Tentukan perilaku yang diharapkan (B).
Pilih kata kerja operasional yang bisa diukur, seperti menjelaskan, menulis, mengidentifikasi, atau membedakan.

3. Rumuskan kondisi pelaksanaan (C).
Misalnya: melalui kegiatan eksperimen atau setelah menonton video pembelajaran.

4. Tambahkan derajat keberhasilan (D).
Misalnya: dengan benar, minimal 80%, atau tanpa bantuan.

---

📍Contoh Tujuan Pembelajaran dengan Pola ABCD

1. Setelah menonton video tentang daur air (C), peserta didik kelas V (A) dapat menjelaskan proses daur air (B) dengan benar (D).

2. Melalui kegiatan percobaan menggunakan pegas (C), peserta didik kelas VIII (A) dapat menghitung frekuensi getaran (B) dengan ketepatan minimal 80% (D).

3. Setelah membaca teks laporan observasi (C), peserta didik (A) dapat mengidentifikasi ciri-ciri teks laporan (B) dengan benar (D).

---

📍Mengapa Pola ABCD Penting?

Pola ABCD membantu guru:

✨Menulis tujuan pembelajaran yang spesifik dan terukur.
✨Memudahkan dalam menyusun asesmen yang sesuai.
✨Membantu siswa memahami apa yang diharapkan dari mereka.
✨Menjadi dasar kuat untuk menentukan kegiatan dan media pembelajaran yang relevan.

---

Dengan menerapkan pola ABCD, guru tidak hanya menulis tujuan pembelajaran sebagai formalitas, tetapi benar-benar menyusunnya secara terarah dan bermakna.

Tujuan yang jelas akan membuat proses belajar lebih fokus, penilaian lebih objektif, dan hasil belajar lebih optimal.

> Ingat: Tujuan pembelajaran yang baik adalah yang menggambarkan apa yang dapat dilakukan peserta didik setelah belajar, bukan apa yang dilakukan guru selama mengajar.

#sumberkeluargaguru #infopendidik #guruindonesia

30.10.25

Cara Menghitung Pekan dan Jam Efektif

Oleh Yuni Karisma

Kalender pendidikan bukan hanya daftar tanggal libur dan hari belajar. Di dalamnya terdapat rencana waktu belajar yang menjadi dasar bagi guru dalam menyusun program tahunan, program semester, dan jadwal pelajaran. 

Salah satu hal penting yang perlu dihitung adalah jumlah jam efektif dan tidak efektif dalam satu tahun pelajaran.

---

📅 1. Pengertian Jam Efektif dan Jam Tidak Efektif

📍Jam efektif adalah waktu belajar yang benar-benar digunakan untuk kegiatan pembelajaran di kelas sesuai jadwal.

📍Jam tidak efektif adalah waktu yang tidak digunakan untuk kegiatan belajar, misalnya karena libur nasional, cuti bersama, jeda semester, ujian sekolah, atau kegiatan sekolah lainnya.

Dengan menghitung jam efektif, guru bisa mengetahui seberapa banyak waktu yang benar-benar tersedia untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan capaian pembelajaran.

---

🧮 2. Langkah-langkah Menghitung Jam Efektif

✅Langkah 1
Hitung total minggu dalam satu tahun pelajaran.
Biasanya tahun pelajaran berlangsung dari Juli hingga Juni, sehingga totalnya sekitar 52 minggu.

✅Langkah 2
Kurangi dengan minggu tidak efektif.
Beberapa minggu tidak digunakan untuk pembelajaran karena berbagai alasan, misalnya dua minggu libur semester, dua minggu libur Idul Fitri, satu minggu libur akhir tahun, dua minggu untuk hari libur nasional dan cuti bersama, serta dua minggu untuk kegiatan sekolah seperti ujian dan class meeting. Total minggu tidak efektif umumnya sekitar 10 minggu.

✅Langkah 3
Hitung minggu efektif.
Dari total 52 minggu dikurangi 10 minggu libur, maka tersisa 42 minggu efektif untuk kegiatan pembelajaran.

✅Langkah 4
Kalikan dengan jumlah jam pelajaran per minggu.
Misalnya di jenjang SD, total jam pelajaran dalam satu minggu adalah 34 jam. 

Maka perhitungannya:
> 42 minggu × 34 jam = 1.428 jam pelajaran efektif dalam satu tahun pelajaran.

---

📘 3. Menghitung Jam Efektif per Mata Pelajaran

Setelah mengetahui total jam efektif dalam satu tahun, langkah selanjutnya adalah menghitung berapa jam yang dialokasikan untuk setiap mata pelajaran.

Caranya mudah. Cukup kalikan jumlah jam pelajaran tiap mapel per minggu dengan jumlah minggu efektif. 

Misalnya, jika Bahasa Indonesia memiliki 6 jam pelajaran per minggu, maka:
> 6 × 42 = 252 jam dalam setahun.

Contoh lain:

✨PPKn: 3 jam × 42 minggu = 126 jam
✨Matematika: 5 jam × 42 minggu = 210 jam
✨IPAS: 4 jam × 42 minggu = 168 jam
✨PJOK: 4 jam × 42 minggu = 168 jam
✨Seni Budaya: 3 jam × 42 minggu = 126 jam
✨Muatan Lokal: 2 jam × 42 minggu = 84 jam

Jika dijumlahkan, hasil totalnya akan kembali ke angka 1.428 jam pelajaran efektif dalam satu tahun.

Dengan cara ini, guru dapat mengetahui berapa jam tersedia untuk tiap mata pelajaran agar perencanaan pembelajaran lebih tepat sasaran.

---

🚫 4. Menghitung Jam Tidak Efektif

Jam tidak efektif bisa diketahui dengan rumus sederhana:

> Jam Tidak Efektif = Total jam setahun – Jam efektif

Contohnya:

✨Total jam (52 minggu × 34 jam) = 1.768 jam
✨Jam efektif (42 minggu × 34 jam) = 1.428 jam

Maka:
> Jam tidak efektif = 1.768 – 1.428 = 340 jam.

---

🧭 5. Manfaat Mengetahui Jam Efektif

Mengetahui jumlah jam efektif membantu guru dalam:
👉Menyusun program tahunan dan program semester dengan lebih realistis.
👉Mengatur waktu agar semua capaian pembelajaran bisa diselesaikan tepat waktu.
👉Menyesuaikan jadwal proyek, asesmen, dan remedial.
👉Menghindari penumpukan materi di akhir semester.

---

Menghitung jam efektif dan tidak efektif adalah langkah awal penting dalam perencanaan pembelajaran. Dengan mengetahui berapa banyak waktu yang benar-benar tersedia, guru dapat mengatur strategi belajar dengan lebih terukur dan efisien.

Setiap jam belajar di kelas menjadi kesempatan berharga untuk menumbuhkan pengetahuan, karakter, dan semangat belajar peserta didik.

#sumberkeluargaguru #infopendidikan #infoguru

21.10.25

Delapan Pendekatan Pembelajaran

Repost akun Yuni Karisma

📘 8 Macam Pendekatan Pembelajaran yang Dapat Diterapkan pada Kegiatan Belajar Mengajar

Guru masa kini dituntut untuk tidak hanya menyampaikan materi,
tetapi juga menciptakan pengalaman belajar yang bermakna dan sesuai karakter siswa.
Berbagai pendekatan pembelajaran bisa membantu guru mencapai tujuan tersebut.
Berikut 8 pendekatan yang dapat diterapkan di kelas 👇

---

1. Pendekatan Saintifik (Scientific Approach)

Mengajarkan siswa berpikir ilmiah melalui proses mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan.
🎯 Cocok untuk: mata pelajaran sains dan eksperimen.

---

2. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)

Mengaitkan pelajaran dengan kehidupan nyata agar siswa memahami manfaat ilmu.
🎯 Cocok untuk: semua jenjang dan pelajaran berbasis pengalaman.

---

3. Pendekatan Humanistik

Menekankan pada pembentukan karakter dan nilai kemanusiaan siswa.
🎯 Cocok untuk: guru yang ingin menumbuhkan empati dan kepekaan sosial.

---

4. Pendekatan Konstruktivistik

Siswa membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman belajar.
🎯 Cocok untuk: diskusi, proyek, dan pembelajaran berbasis penemuan.

---

5. Pendekatan Deduktif dan Induktif

Deduktif: dari teori ke contoh.

Induktif: dari contoh ke teori.
🎯 Guru bisa mengombinasikannya agar siswa lebih mudah memahami konsep abstrak.

---

6. Pendekatan Tematik

Menggabungkan berbagai mata pelajaran dalam satu tema besar.
🎯 Cocok untuk: SD dan pembelajaran lintas bidang.

---

7. Pendekatan Inquiry (Penemuan)

Mendorong siswa aktif bertanya dan mencari jawaban melalui proses eksplorasi.
🎯 Cocok untuk: melatih rasa ingin tahu dan berpikir kritis.

---

8. Pendekatan Cooperative Learning

Menekankan kerja sama antar siswa dalam kelompok kecil.
🎯 Cocok untuk: menumbuhkan tanggung jawab dan kemampuan sosial.

---

💬 Kesimpulan:
Tidak ada satu pendekatan yang paling sempurna.
Guru yang hebat tahu kapan harus menjadi fasilitator, kapan harus jadi motivator.
Karena setiap anak belajar dengan cara yang berbeda, namun semua ingin dimengerti dengan cara yang sama — dengan hati. ❤️

#InformasiPendidikanIndonesia #GuruHebat #PendekatanPembelajaran #BelajarBermakna

Sanksi Guru Dan Siswa Merokok di Sekolah


              Gambar:www.google.com



Repost dari akun @informasi pendidikan

🚭 Sanksi Tegas bagi Guru dan Murid yang Merokok di Lingkungan Sekolah

Jakarta — Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menegaskan kembali larangan keras terhadap aktivitas merokok di lingkungan sekolah, baik oleh murid maupun tenaga pendidik. Larangan ini diatur dalam berbagai regulasi yang menegaskan bahwa sekolah adalah zona tanpa rokok demi menjaga kesehatan dan keteladanan lingkungan pendidikan.

Kebijakan ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau. Selain itu, Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 juga memperkuat aturan tentang pelaksanaan kawasan tanpa rokok di sekolah.

🎓 Sanksi untuk Murid

Bagi peserta didik yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah, pihak sekolah dapat memberikan sanksi pembinaan bertahap, seperti:

Teguran langsung dan pembinaan oleh wali kelas atau guru BK,

Pemanggilan orang tua untuk pembinaan bersama,

Pemberian tugas sosial atau kegiatan positif sebagai bentuk tanggung jawab,

Hingga sanksi administratif sesuai tata tertib sekolah jika pelanggaran diulang.

Langkah ini dilakukan bukan untuk menghukum, melainkan mendidik murid agar memahami bahaya rokok dan pentingnya menjaga lingkungan sehat.

👨‍🏫 Sanksi untuk Guru dan Tenaga Kependidikan

Tidak hanya siswa, guru dan tenaga pendidik juga terikat dengan aturan yang sama. Jika guru kedapatan merokok di lingkungan sekolah, dapat dikenakan teguran lisan hingga tertulis, dan dalam kasus berulang dapat diberikan pembinaan kedisiplinan pegawai sesuai peraturan ASN atau aturan kepegawaian daerah.

Guru diharapkan menjadi teladan utama dalam menjaga kesehatan dan perilaku di depan siswa.
Perilaku merokok di lingkungan sekolah bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga memberi contoh negatif bagi peserta didik.

🌿 Tujuan Utama: Mewujudkan Sekolah Sehat dan Berkarakter

Program Sekolah Sehat yang digalakkan pemerintah tidak hanya berfokus pada kebersihan fisik, tetapi juga pembentukan lingkungan bebas asap rokok, bebas narkoba, dan bebas kekerasan.

Dengan penerapan sanksi yang jelas, diharapkan sekolah dapat menjadi tempat belajar yang benar-benar sehat, nyaman, dan menjadi ruang tumbuh bagi generasi yang kuat secara fisik maupun moral.

🗣️ Pesan Edukatif:
“Menjadi panutan bukan soal jabatan, tapi soal kebiasaan baik yang dilakukan setiap hari — mulai dari menolak sebatang rokok di sekolah.”

#InformasiPendidikanIndonesia #SekolahSehat #ZonaTanpaRokok #DisiplinGuru #PendidikanBerkarakter

19.10.25

Rapat Pleno Dewan Pastoral Paroki Salib Suci Soa 2025



Paroki Salib Suci Soa melaksanakan rapat pleno Dewan Pastoral Paroki pada 18-19 Oktober 2025 di aula Paroki.l Salib Suci Soa. Kegiatan pleno berkaitan dengan evaluasi program kerja pelayanan pastoral tahun 2024/2025 dan pembahasan rancangan program tahun pelayanan 2025/2026. Masing -masing Bidang, komisi serta Divisi menyampaikan evaluasi program tahun palayanan 2024/2025 dan membahas rancangan program tahun prlayanan 2025/2026 dihadapan pastor paroki RD Siprianus Wona, Pastor Vikaris: RD Paskalis Baba dan RD Oris serta para undangan peserta pleno dari unsur funsionaris pastoral, unsur pemerintah; camat Soa, para kepala desa, para tokoh pembina penasehat Paroki Salib Suci Soa.

Kegiatan pleno tahun 2025 dilaksanakan selama 2 hari yang dimulai hari Sabtu, 18-Minggu, 19 Oktober 2025. Pada kegiatan pleno pada hari pertama pada 18 Oktober 2025 meliputi evaluasi program dari para ketua bidang, komisi serta divisi. Evaluasi ini disampaikan masing-masinh ketua bidang yakni Bidang Pewartaan meliputi komisi Kitab Suci dan Kateketik, komisi liturgi, komisi pengembangan spiritualitas, Paroki (KPSK), komisi sound system. Selanjutnya Bidang Kemasyarakatan meliputi: komisi PSE, komisi Keadilan Perdamaian/JPIC, komisi kesehatan, komisi komsos, komisi pembangunan, dan juga komisi migran dan perantauan. Selain itu, dari Bidang Pembinaan meliputi komisi kerawam, komisi paskel, komisi kepemudaan, komisi pendidikan: divisi Pastoral remaja, komisi KKI divisi sekami yunior, divisi JPA,  Divisi Misdinar. Lebih lanjut dari Bidang Keuangan: komisi aset dan penggalangan dana. Kegiatan berjalan secara baik dan lancar dengan berbagai dinamika dalam pembahasan.  Evaluasi program diterima forum pleno  dengan beberapa catatan yang menjadi perhatian pada rancangan program dan mekanisme pelaporan pada tahun pelayanan 2025/2026. 

Kegiatan pleno pada hari Ke 2 pada hari Minggu, 19 Oktober 2025 berkaitan dengan pembahasan rancangan program tahun pelayanan 2025/2026 oleh masing - masing Bidang, komisi serta divisi. Dari hasil pembahasan maka diputuskan bersama seluruh peserta pleno berkaitan dengan program kerja untuk dijalankan pada tahun pelayanan 2025/2026.

Hasil evaluasi panitia pleno oleh Bapak Paskalis Wale Bai selaku ketua panitia "bahwa pelaksanaan kegiatan pleno paroki Salib Suci Soa (PS3) dilaksanakan di tengah kesibukan masyarakat adat Soa melaksanakan ritual adat berburu adat (rori witu) namun kita sangat bersyukur antusias dan kehadiran para peserta pleno sangat tinggi sehingga kegiatan pleno boleh berjalan sesuai dengan apa yanag telah direncanakan".

Pastor Paroki Salib Suci Soa (PS3) RD Siprianus Wona memberikan apreasiasi atas kinerja DPP paroki dan juga kehadiran para fungaionaris pastoral dan para undangan lain dari berbagai unsur yang mengambil bagian secara aktif dan konstruktif dalam mendukung semua program kerja DPP di tahun pelayanan pastoral 2025. Selain itu, di akhir arahannya RD Sipri menegaskan berkaitan dengan pola kebijakan paroki untuk pelayanan paroki tahun 2025. Selanjutnya semua rangkaian kegiatan pleno paroki dengan penandatanganan berita acara sebagai bukti bahwa evaluasi dan rancangan program yang telah  ditetapkan dapat dijalankan pada pelayanan pastoral di tahun 2026.

Di akhir kegiatan pleno Bapak Camat Kecamatan Soa Bapak Wempi Gili memberikan beberapa catatan kristis berkaitan dengan pelaksanaan pleno agar semua program kerja perlu memahami kondisi umat kita dengan berbagai situasi kehidupan. Selain itu, Dewan Pastoral Paroki perlu memberdayakan momen pleno tingkat stasi agar kegiatan pleno di tingkat paroki menghasilkan keputusan-keputusan yang dapat menjawabi kebutuhan hidup menggereja umat.

Ebu Pu,u, 19 Oktober 2025

Catatan 
Peserta Rapat Pleno
Oleh Siprianus Wara




10.10.25

Mendidik Generasi "Ampibi"


Repost dari akun Aya Bain laman NTT Pride


Kita hidup di zaman di mana banyak anak tumbuh dengan konsep “instan” dalam pikirannya. Sekali gagal, langsung menyerah. Sekali sulit, langsung minta bantuan. Padahal, penelitian dari University of Pennsylvania menunjukkan bahwa ketangguhan mental anak, atau grit, lebih berpengaruh terhadap kesuksesan jangka panjang daripada kecerdasan IQ. Artinya, anak yang tidak mudah menyerah justru memiliki peluang lebih besar untuk berhasil dalam hidupnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat ini dengan jelas. Anak yang belajar bersepeda akan berhenti mencoba setelah jatuh satu kali, sementara anak lain yang gigih akan terus mencoba sampai seimbang. Bukan karena yang pertama bodoh, tetapi karena tidak terbiasa menghadapi kesulitan tanpa diselamatkan. Banyak orang tua tanpa sadar membuat anak “rapuh” dengan terlalu cepat menolong. Padahal, di balik setiap kesulitan kecil, tersimpan peluang besar untuk menumbuhkan karakter tangguh.

Melatih anak agar tidak mudah menyerah bukan soal memberi motivasi atau ceramah tentang “harus kuat.” Ini tentang membangun sistem berpikir, pola emosi, dan lingkungan yang mendukung ketekunan. Tujuh prinsip berikut menjelaskan bagaimana caranya.

1. Ajari bahwa kegagalan bukan musuh, tapi guru terbaik

Banyak anak takut gagal karena orang tuanya terlalu reaktif terhadap kegagalan. Ketika nilai ujian turun, reaksi pertama yang muncul adalah marah, bukan diskusi. Anak akhirnya belajar bahwa gagal berarti buruk, bukan kesempatan untuk belajar. Padahal, psikologi pendidikan menegaskan bahwa anak yang terbiasa gagal dan merefleksikan penyebabnya akan jauh lebih kuat secara emosional.

Misalnya, anak yang kalah dalam lomba menggambar cenderung ingin berhenti menggambar sama sekali. Tetapi jika orang tua menekankan proses daripada hasil—dengan menanyakan “apa yang kamu pelajari dari lomba itu?”—maka anak belajar bahwa gagal bukan akhir, tapi bagian dari perjalanan.

Kegagalan adalah bahasa kehidupan yang mengajarkan realitas. Anak yang mampu berbicara dalam bahasa ini akan lebih siap menghadapi dunia yang tidak selalu ramah. Di sinilah pentingnya melatih nalar emosional, salah satu tema yang dibahas mendalam dalam konten eksklusif LogikaFilsuf untuk orang tua yang ingin mendidik dengan kesadaran logis dan penuh refleksi.

2. Biarkan anak menyelesaikan masalahnya sendiri terlebih dahulu

Kebiasaan paling umum yang membuat anak cepat menyerah adalah intervensi orang tua yang terlalu dini. Setiap kali anak kesulitan, orang tua langsung turun tangan. Akibatnya, anak tidak belajar bagaimana mencari solusi. Ia terbiasa berpikir bahwa ketika sesuatu sulit, seseorang akan datang menyelamatkan.

Contohnya sederhana. Anak tidak bisa memasang tali sepatunya, lalu orang tua segera membantu. Padahal, dengan membiarkannya mencoba sedikit lebih lama, anak belajar mengatur emosi, fokus, dan mencari strategi baru. Inilah proses yang membangun mental endurance.

Memberi ruang untuk gagal dalam hal kecil adalah latihan menghadapi tekanan dalam hal besar. Dunia tidak akan selalu menyiapkan jalan yang mudah, maka rumah sebaiknya menjadi tempat pertama di mana anak belajar bertahan menghadapi kesulitan tanpa menyerah.

3. Tumbuhkan rasa ingin tahu, bukan rasa takut salah

Anak yang terlalu takut salah akan cenderung cepat menyerah. Rasa ingin tahu memudar ketika yang ia khawatirkan hanya penilaian dari orang lain. Maka tugas orang tua bukan hanya menuntut hasil, tetapi menumbuhkan keingintahuan.

Ketika anak bertanya hal-hal sederhana seperti “kenapa langit biru?” atau “kenapa aku harus belajar matematika?”, jangan buru-buru menjawab atau memotong dengan kalimat “nanti juga tahu sendiri.” Diskusi kecil seperti ini membuat anak merasa dihargai, dan merasa bahwa berpikir adalah sesuatu yang menyenangkan.

Rasa ingin tahu adalah bahan bakar untuk ketekunan. Anak yang penasaran tidak akan berhenti hanya karena kesulitan; ia akan terus mencari tahu. Maka, pendidikan sejati dimulai bukan dari buku teks, melainkan dari keinginan untuk memahami dunia dengan caranya sendiri.

4. Latih kemampuan menunda kepuasan

Anak yang terbiasa mendapatkan apa pun dengan cepat cenderung tidak tahan menghadapi proses. Dalam eksperimen terkenal Marshmallow Test oleh Walter Mischel, anak-anak yang mampu menunda makan permen demi hadiah lebih besar di kemudian hari terbukti lebih sukses secara akademik dan sosial ketika dewasa.

Latihan kecil seperti ini bisa diterapkan di rumah. Misalnya, minta anak menyelesaikan tugas sebelum menonton video kesukaannya. Atau ajarkan menabung untuk membeli mainan sendiri daripada langsung dibelikan.

Dari latihan sederhana itu, anak belajar satu hal penting: tidak semua hal bisa didapat sekarang juga. Kesabaran dan konsistensi adalah bagian dari keberhasilan. Anak yang memahami hal ini akan lebih tahan menghadapi kegagalan dan tidak cepat menyerah di tengah jalan.

5. Jadilah contoh dalam menghadapi kesulitan

Anak belajar ketekunan bukan dari nasihat, tapi dari apa yang ia lihat setiap hari. Jika orang tua mudah stres, sering mengeluh, atau cepat menyerah ketika masalah datang, anak akan meniru pola yang sama.

Sebaliknya, ketika ia melihat orang tuanya tetap tenang dan berpikir jernih di tengah tekanan, ia belajar cara menghadapi kesulitan dengan kepala dingin. Anda tidak perlu menyembunyikan perjuangan di depan anak; justru bicarakan prosesnya. Katakan misalnya, “Mama lagi pusing kerjaan, tapi Mama pelan-pelan cari solusinya.”

Ketika anak melihat bahwa orang dewasa pun berjuang, tapi tidak menyerah, itu menjadi pelajaran hidup yang jauh lebih kuat daripada seribu nasihat.

6. Ajarkan pentingnya proses dibanding hasil

Banyak anak tumbuh dalam lingkungan yang hanya menghargai hasil akhir: nilai, piala, ranking. Padahal, yang membuat anak bertahan bukanlah hasil, melainkan keyakinan bahwa setiap proses punya makna.

Saat anak berusaha belajar menggambar tapi belum rapi, puji usahanya, bukan hasilnya. Katakan, “Kamu serius banget ya ngerjain ini.” Kalimat itu sederhana tapi berdampak besar bagi pembentukan growth mindset. Anak jadi belajar bahwa kerja keras lebih penting daripada kesempurnaan.

Dengan menghargai proses, anak merasa setiap usaha layak dilakukan, bahkan kalau belum menghasilkan apa-apa. Inilah cara halus menanamkan filosofi ketekunan: bahwa hasil hanyalah efek samping dari proses panjang yang dijalani dengan sabar.

7. Dorong anak mengenali emosinya ketika gagal

Saat anak gagal, jangan langsung menasihati. Biarkan ia merasakan kecewa, marah, atau sedih. Emosi adalah bagian dari proses belajar. Anak yang terbiasa memproses emosinya akan lebih kuat menghadapi situasi sulit tanpa meledak atau menyerah.

Setelah emosi mereda, baru ajak berbicara: “Kamu kecewa ya karena kalah?” Dari situ anak belajar mengenali perasaannya dan menyalurkannya secara sehat. Ia belajar bahwa tidak apa-apa merasa sedih, tapi yang penting adalah bagaimana bangkit setelahnya.

Anak yang mampu mengelola emosi tidak akan takut menghadapi kegagalan, karena ia tahu cara menenangkan diri. Di titik ini, Anda tidak hanya membentuk anak yang kuat secara mental, tetapi juga bijak secara emosional.

Menumbuhkan ketekunan pada anak bukan proses cepat, tapi investasi jangka panjang. Dunia yang mudah membuat kita lupa bahwa daya tahan justru lahir dari ketidaknyamanan. Maka, biarkan anak berjuang, biarkan ia mencoba, biarkan ia gagal—karena dari sanalah ia akan belajar menjadi manusia yang tidak mudah patah oleh kesulitan.

Kalau tulisan ini terasa membuka cara pandang baru, bagikan agar lebih banyak orang tua memahami bahwa daya juang bukan bakat, tapi hasil dari pola asuh yang sadar dan penuh kesabaran. Tulis pandanganmu di kolom komentar, karena setiap sudut pandang bisa memperkaya cara kita mendidik generasi yang tangguh.