14.6.19

Ritual Pemberian Nama “Moi Tu Ta'i Singi” Dalam Masyarakat Adat Tugasoki-Ratewati


VOXRATEWATI.Com. By Wara Cypriano


Foto insert: Ritual "Su Mboko Nio"  anak Oktavianus Tristan Kota 14 Juni 2019

A.  Gambaran Umum
Budaya erat kaitannya dengan kehidupan yang dijalani manusia. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Melville J.Herskovits dan Bronislaw Malinowski bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri (Cultural-Determination). Dua tokoh ini memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain (superorganic). Budaya yang diwariskan tentu saja memiliki nilai dan etika yang mencerminkan pola laku dari setiap masyarakat yang menjalani budaya itu sendiri (www.wikipediaindonesia.com). 
Pelestarian budaya yang diwariskan juga perlu dilakukan dan dihayati oleh semua generasi sebagai bagian dari budaya itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dijalani oleh masyarakat adat di wilayah tanah persekutuan masyarakat adat “Tanah Siga Rembu Ratewati” (Tugasoki Traditional Village and Cultural Heritage Site) selanjutnya disebut TSRW yang terletak di Dusun Tugasoki Desa Ekoae Kecamatan Wewaria Kabupaten Ende provinsi Nusa Tenggara Timur. Tugasoki-Ratewati merupakan sebuah kampung adat di bagian utara yang berjarak 73 Km dari kota Ende. Masyarakat adat  TSRW sebagai bagian dari etnis Lio. Etnis Lio merupakan salah satu etnis yang mendiami wilayah kabupaten Ende di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Ada dua etnis yang mendiami kabupaten Ende yakni etnis Ende dan etnis Lio. Kedua etnis ini memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda namun memiliki beberapa kesamaan dalam hal adat istiadat, kebiasaan dan bahasa. Dalam artikel ini, diuraikan secara sederhana tentang “Tradisi Pemberian Nama atau “Moi Tu Ta’i Singi” atau juga disebuat ritual "Su Mboko Nio" dalam Tradisi Masyarakat Adat tanah persekutuan “Siga Rembu Ratewati”. Masyarakat adat TSRW memiliki 7 klan atau “Embu Lima Rua” (seven clans) yang terdiri dari “Embu Kaki, Embu Mbonggi, Embu Jobhi, Embu Poke KoreEmbu Wolo, Embu Kengge dan Embu Kana”. Dari ke tujuh klan tersebut tidak semuanya menjalani ritual ini. Salah satu klan yang melaksanakan ritual pemberian nama ini yakni “Embu Kaki”. Para anggota klan “Embu Kaki” menjalani ritual pemberian nama ini bagi anak laki-laki maupun anak perempuan yang terlahir dari keluarga anggota klan tersebut. Proses pemberian nama yang dijalani memiliki beberapa tahapan yang meliputi tahap persiapan, pelaksanaan dan upacara penutup. Dari uraian singkat di atas dapat dipahami terlebih dahulu secara etimologis arti dan makna kata dari ritual “Moi Tu Ta’i Singi” itu sendiri.
Secara etimologis frase “Moi Tu Ta’i Singi” terdiri dari beberapa kata dalam bahasa Lio (etnis di kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur) yakni dari kata “Moi” artinya meletakan atau menyimpan, “Tu” artinya mengantar, “ Tai Singi” atau “funi” sebutan untuk ari- ari atau plasenta. Maka secara sederhana diartikan ritual “Moi Tu Ta’i Singi” sebuah upacara inisiasi bagi seorang anak yang dilahirkan sebagai anggota klan yang baru. Sekaligus pemberian nama pada anak pasca kelahiran. Ritual ini tidak dibatasi berapa usia anak namun dalam prakteknya biasanya usia anak di bawah satu tahun. Jadi inti dari upacara ini adalah pemberian nama dan pengukuhan anak menjadi anggota klan atau disebut sebagai upacara inisiasi anggota klan. 
Ritual “Moi Tu Ta’i Singi biasanya dihadiri oleh keluarga dari kedua belah pihak baik keluarga inti (nuclear family) atau keluarga besar (extended family) yakni dari garis keturunan ayah atau anggota klan “Embu Kaki” maupun dari garis keturunan ibu dari anak yang akan diritualkan. Dalam upacara ini, seorang anak diberi nama melalui penyembelian hewan kurban berupa seekor babi atau dalam bahasa Lio disebut “Wawi” dan juga seekor ayam atau “manu”. Upacara ini juga sebagai upacara memulihkan seorang ibu dari pantangnya atau (pire). yakni daging ayam dan kelapa (nio), di mana sejak seorang ibu melahirkan seorang anak, maka dari hari itulah ibu tersebut tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi daging ayam (nake manu) dan kelapa baik berupa santan atau pun bentuk olahan lainnya yang mengandung kelapa. Maka dalam ritual ini, seorang ibu sudah diperbolehkan mengkonsumsi kembali makanan yang dipantangkan kepada diri dan juga anaknya. Dari hasil olahan daging ayam dan babi tersebut dijadikan sesajen bagi wujud tertinggi dalam sebutan etnis Lio “Dua Gheta Lulu Wula, Ngga’e Ghale Wena Tana” Tuhan yang bertahta sebagai penguasa langit tertinggi dan Allah yang berbijak pada bumi terdalam dan juga para arwah leluhur (embu mamo) baik yang berasal dari klan tersebut atau juga dari klan lain bahkan para leluhur keseluruhan yang mendiami wilayah persekutuan tanah TSRW. Selanjutnya, makanan yang sudah dipersiapan dapat dikonsumsi oleh semua anggota klan dan keluarga yang hadir.


B.  Tahapan –Tahapan Ritual “Moi Tu Tai Singi”.

1.      Tahap Persiapan (Preparing)
Dalam Tahap persiapan, orang tua dari anak yang akan diritualkan mempersiapkan segala perlengkapan baik alat maupun bahan yang menjadi bagian dari ritual tersebut. Ada pun hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh keluarga sebagai berikut:

a   Alat – alat
· Parang (topo) yaitu semacam badik yang digunakan untuk memotong bamboo berupa sebatang bulu.
·      Pisau (piso) digunakan untuk menggorok leher ayam.
b.      Bahan – bahan
  Perlengkapan untuk orang tua: Ibu; pakaian adat Lio untuk wanita (Lawo no’o lambu) dan Ayah, Pakaian adat Lio untuk pria (Ragi mite no’o lambu bara)

    Perlengkapan  untuk anak yang akan    diiritualkan:
   -jika anak laki – laki maka pakaian adat pria yang harus disiapkan berupa sebuah kain (Ragi mite). Jika anak peremuan maka pakaian adat wanita yang harus disiapkan berupa sebuah kain (Lawo). Selain itu, sehelai kain pembukus bayi.
  -Plasenta atau tembuni atau lebih dikenal dengan sebutan ari-ari yang sudah disimpan dalam sebuah wadah berupa kendi. Plasenta biasanya dimasukan abu dapur agar dapat mengering sehingga tidak terasa bau atau membusuk sehingga bisa disimpan lama.  
     -Batu yang berukuran kecil atau bentuk             agregar sebanyak 10 buah jika anak laki-laki dan 9 buah batu jika anak perempuan.Jumlah batu ini menandakan masa kehamilan ibu.
  - Kelapa muda disertai tangkainya.Kelapa muda sebagai simbol kesuburan dan kesegaran.

   -Satu batang bulu yang terdiri dari 9 atau 10 ruas sesuai jenis kelamin anak (laki-laki 10 ruas, perempuan 9 ruas) sebatang bulu atau bambu ini digunakan sebagai tempat jemuran pakaian anak yang diritualkan.



Perlengkapan upacara berupa: ari-ari, kelapa, dan kain adat (ragi mite) ritual bagi anak laki-laki

2.      Tahap Pelaksanaan (Acting)

Pada tahap pelaksanaan terdiri dari beberapa tahap yang meliputi ritual mengantar ari- ari atau (tu ta’i singi), ritual menyebut nama anak atau pemberian nama (weta naja); “Weta” artinya menyebut dan “naja” artinya nama. “Weta naja” artinya ritual pemberian nama anak. Masyarakat adat Tugasoki Ratewati memandang ari-ari sebagai kembaran si bayi sehingga harus diperlakukan secara baik dan di letakan pada tempat khusus yang disakralkan oleh seluruh masyarakat adat.

a.       Tahap mengantar  ari- ari atau (tu ta’i singi)
Upacara ini dilaksanakan di rumah adat (sa’o nggua) di kampung adat Tugasoki Ratewati (tidak bisa dilakukan tempat lain) artinya jika ada anggota klan yang merantau atau berada di daerah lain harus kembali melakukan ritual ini di kampung adat dan harus di rumah adatnya. Pada saat upacara ini, ayah dari anak yang diupacarakan dan didampingi oleh salah seorang laki-laki dari anggota keluarga sebagai penunjuk jalan menuju tempat penyimpanan ari – ari. Tempat penyimpanan ari – ari tidak sembarang tempat selain tempat yang telah dikhususkan. Ritual ini diawali dengan penyembelian Seekor ayam dan darahnya diambil, dilanjutkan dengan "Su Mboko Nio" yakni upacara pembelahan kelapa dengan cara mengerek pada bagian tangkainya agar bisa air kelapa bisa dituangkan dalam sebuah wadah. Setelah upacara ini, dilanjutkan penganyaran ari-ari ke tempat yang telah ditentukan. Sementara ibu dan anak yang diritualkan tetap berada di rumah adat menanti ayah pulang dari tempat penyimpan ari – ari. Ada pun tata caranya; ayah dari anak memegang kendi ari- ari yang dilapisi dengan kain adat berupa “ragi” atau “lawo”  (tergantung dari jenis kelamin anak) menuju tempat penyimpanan ari –ari. Sesampai di tempatnya maka ari – ari diletakan tanpa ada hal yang didoakan dan kembali ke rumah adat. 

b.      Pemberian nama anak (weta naja).
Upacara selanjutnya yakni  pemberian nama anak (weta naja ana), ini dilakukan sekembali dari tempat penyimpanan ari –ari. Hal ini dimulai ketika tiba di depan tangga rumah adat maka ayah dari anak melempar batu sampai tiga kali sesuai dengan jumlah batu yang sudah disiapkan dengan menanyakan dalam bahasa Lio “ ebe gheta one ana gharu naja sai”?  “Hai kamu pemilik anak, anak itu namanya siapa?. Maka ibu dari anak dan semua anggota keluarga serentak menjawab “ an agha naja kai….” Artinya anak ini namanya…. (sesuai dengan nama anak yang sudah ditentukan bersama sebelumnya). Dalam pemberian nama anak, biasanya semua daftar nama leluhur disebutkan di depan bayi tersebut sampai sang bayi bersin. Ketika sesudah sebuah nama disebut dan disusul dengan bersinan bayi, maka nama tersebut akan menjadi namanya karena bersin bagi masyarakat adat Tugasoki-Ratewati berarti tanda kesepakatan dari bayi dan restu dari para arwah leluhur teristimewa nama arwah yang disematkan kepada anak tersebut.  Pemberian nama melalui cara ini penting dilakukan. Jika tidak, maka anak tersebut tidak akan bertumbuh dengan normal dan sehat. Di sini, kecocokan antara nama anak dan nama arwah leluhur amat menentukan masa depan anak itu sendiri.

C. Upacara "Mberu Nio"
Upacara ini dilaksanakan setelah pengantaran ari-ari. Di mana dahi dan bagian punggung ibu dan anaknya dioleskan dengan darah ayam serta minyak kelapa murni sebagai tanda pemulihan terhadap pantangan (pire) dan dilanjutkan dengan "mberu nio" atau memakan kelapa yang sudah tua. Setelah melewati itu, dilanjutkan dengan penyiraman air di kepala ibu dari anak yang diritualkan di depan rumah adat sambil mengijak kain bayi sebagai pertanda pembersihan pada saat persalinan sehingga semua rasa sakit dan pengorbanan seorang ibu kini dipulihkan dan bayi yang diupacarakan tumbuh sehat baik jasmani maupun rohani.

Pemotongan kelapa (Su mboko nio) 


Penyiraman air (liga ae)

3. Upacara penutup (closing)
Pada ritual ini ditandai dengan momen perjamuan bersama (ka are pesa nake) artinya daging babi dan ayam yang sudah dikurbankan sebagai sesajen baik bagi Sang Kuasa (Du'a Gheta Lulu Wula, Ngga'e Ghale wena Tana) dan juga arwah para leluhur yang telah merestui pelaksanaan ritual pemberian nama anak sehingga diakui oleh semua anggota keluarga. Momen makan bersama inilah sebagai pertanda bahwa ritual ini telah berakhir.



Makan bersama
Suasana makan bersama

Note:
Artikel ini belum sempurnah dan masih banyak kekurangan. Maka dari itu segala atensi dan kritikan yang membangun saya terima dengan lapang hati sebagai bahan pelengkap artikel ini selanjutnya. Semoga bermanfaat.Foto dalam artikel ini yakni ritual "Moi Tu Tai Singi" anak Octavianus Tristan Kota pada tanggal 19 Juni 2019 di Kampung adat Tugasoki-Ratewati.

Oleh Siprianus Wara

Bagian 2: 24 Juni 2024
Upacara "Su Mboko Nio-Moi tu ta'i singi" anak Arnoldus Janssen Ragu (Jessen Ragu) 











No comments: