A. Gambaran Umum
Budaya erat kaitannya dengan kehidupan yang dijalani manusia. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Melville
J.Herskovits dan Bronislaw Malinowski bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri
(Cultural-Determination). Dua tokoh
ini memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun diwariskan dari
satu generasi ke generasi yang lain (superorganic).
Budaya yang diwariskan tentu saja memiliki nilai dan etika yang mencerminkan
pola laku dari setiap masyarakat yang menjalani budaya itu sendiri (www.wikipediaindonesia.com).
Pelestarian budaya yang diwariskan juga perlu dilakukan
dan dihayati oleh semua generasi sebagai bagian dari budaya itu sendiri. Hal
ini sejalan dengan apa yang dijalani oleh masyarakat adat di wilayah tanah
persekutuan masyarakat adat “Tanah Siga Rembu
Ratewati” (Tugasoki
Traditional Village and Cultural Heritage Site) selanjutnya disebut TSRW yang terletak
di Dusun Tugasoki Desa Ekoae Kecamatan Wewaria Kabupaten Ende provinsi Nusa
Tenggara Timur. Tugasoki-Ratewati merupakan sebuah kampung adat di bagian utara
yang berjarak 73 Km dari kota Ende. Masyarakat adat
TSRW sebagai bagian dari etnis Lio. Etnis Lio merupakan salah satu etnis yang mendiami wilayah
kabupaten Ende di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Ada dua etnis yang
mendiami kabupaten Ende yakni etnis Ende dan etnis Lio. Kedua etnis ini memiliki latar belakang sosial budaya
yang berbeda namun memiliki beberapa kesamaan dalam hal adat istiadat, kebiasaan
dan bahasa. Dalam artikel ini, diuraikan secara sederhana tentang “Tradisi
Pemberian Nama atau “Moi Tu Ta’i Singi” atau juga disebuat ritual "Su Mboko Nio" dalam Tradisi Masyarakat Adat tanah persekutuan “Siga Rembu Ratewati”. Masyarakat adat TSRW memiliki 7 klan atau “Embu Lima Rua” (seven clans) yang terdiri
dari “Embu Kaki, Embu Mbonggi, Embu Jobhi,
Embu Poke Kore” Embu Wolo, Embu Kengge dan
Embu Kana”. Dari ke tujuh klan
tersebut tidak semuanya menjalani ritual ini. Salah satu klan yang melaksanakan
ritual pemberian nama ini yakni “Embu
Kaki”. Para anggota klan “Embu Kaki” menjalani ritual pemberian nama ini bagi anak laki-laki maupun anak
perempuan yang terlahir dari keluarga anggota klan tersebut. Proses pemberian
nama yang dijalani memiliki beberapa tahapan yang meliputi tahap persiapan,
pelaksanaan dan upacara penutup. Dari uraian singkat di atas dapat dipahami
terlebih dahulu secara etimologis arti dan makna kata dari ritual “Moi Tu Ta’i Singi” itu sendiri.
Secara
etimologis frase “Moi Tu Ta’i Singi” terdiri
dari beberapa kata dalam bahasa Lio (etnis di kabupaten Ende, Nusa
Tenggara Timur) yakni dari kata “Moi” artinya
meletakan atau menyimpan, “Tu”
artinya mengantar, “ Tai Singi” atau “funi” sebutan untuk ari- ari atau
plasenta. Maka secara sederhana diartikan ritual “Moi Tu Ta’i Singi” sebuah upacara inisiasi bagi seorang anak yang
dilahirkan sebagai anggota klan yang baru. Sekaligus pemberian nama pada anak pasca kelahiran. Ritual ini tidak dibatasi berapa
usia anak namun dalam prakteknya biasanya usia anak di bawah satu tahun. Jadi
inti dari upacara ini adalah pemberian nama dan pengukuhan anak menjadi anggota
klan atau disebut sebagai upacara inisiasi anggota klan.
Ritual
“Moi Tu Ta’i Singi biasanya dihadiri oleh
keluarga dari kedua belah pihak baik keluarga inti (nuclear family) atau
keluarga besar (extended family) yakni dari garis keturunan ayah atau anggota
klan “Embu Kaki” maupun dari garis keturunan ibu dari anak yang akan
diritualkan. Dalam upacara ini, seorang anak diberi nama melalui penyembelian
hewan kurban berupa seekor babi atau dalam bahasa Lio disebut “Wawi” dan juga seekor ayam atau “manu”. Upacara ini juga sebagai upacara
memulihkan seorang ibu dari pantangnya atau (pire). yakni daging ayam dan kelapa (nio), di mana sejak seorang ibu melahirkan seorang anak, maka dari
hari itulah ibu tersebut tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi daging ayam (nake manu) dan kelapa baik berupa santan
atau pun bentuk olahan lainnya yang mengandung kelapa. Maka dalam ritual ini,
seorang ibu sudah diperbolehkan mengkonsumsi kembali makanan yang dipantangkan
kepada diri dan juga anaknya. Dari hasil olahan daging ayam dan babi tersebut
dijadikan sesajen bagi wujud tertinggi dalam sebutan etnis Lio “Dua Gheta Lulu Wula, Ngga’e Ghale Wena Tana”
Tuhan yang bertahta sebagai penguasa langit tertinggi dan Allah yang berbijak
pada bumi terdalam dan juga para arwah leluhur (embu mamo) baik yang berasal dari klan tersebut atau juga dari klan
lain bahkan para leluhur keseluruhan yang mendiami wilayah persekutuan tanah TSRW.
Selanjutnya, makanan yang sudah dipersiapan dapat dikonsumsi oleh semua anggota
klan dan keluarga yang hadir.
B. Tahapan –Tahapan Ritual “Moi Tu Tai
Singi”.
1. Tahap Persiapan (Preparing)
Dalam
Tahap persiapan, orang tua dari anak yang akan diritualkan mempersiapkan segala
perlengkapan baik alat maupun bahan yang menjadi bagian dari ritual tersebut. Ada
pun hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh keluarga sebagai berikut:
a Alat
– alat
· Parang
(topo) yaitu semacam badik yang
digunakan untuk memotong bamboo berupa sebatang bulu.
· Pisau
(piso) digunakan untuk menggorok
leher ayam.
b. Bahan
– bahan
Perlengkapan
untuk orang tua: Ibu; pakaian adat Lio untuk wanita (Lawo no’o lambu) dan Ayah, Pakaian adat Lio untuk pria (Ragi mite no’o lambu bara)
Perlengkapan untuk anak yang akan diiritualkan:
-jika anak laki – laki maka pakaian adat pria yang harus disiapkan berupa sebuah
kain (Ragi mite). Jika anak peremuan maka pakaian adat wanita yang harus disiapkan berupa sebuah
kain (Lawo). Selain itu, sehelai kain pembukus bayi.
-Plasenta atau tembuni atau lebih dikenal dengan sebutan ari-ari yang sudah disimpan dalam sebuah wadah berupa kendi. Plasenta biasanya dimasukan abu dapur agar dapat mengering sehingga tidak terasa bau atau membusuk sehingga bisa disimpan lama.
-Plasenta atau tembuni atau lebih dikenal dengan sebutan ari-ari yang sudah disimpan dalam sebuah wadah berupa kendi. Plasenta biasanya dimasukan abu dapur agar dapat mengering sehingga tidak terasa bau atau membusuk sehingga bisa disimpan lama.
-Batu yang berukuran kecil atau bentuk agregar sebanyak 10 buah jika anak laki-laki dan 9 buah batu jika anak perempuan.Jumlah batu ini menandakan masa kehamilan ibu.
- Kelapa muda disertai tangkainya.Kelapa muda sebagai simbol kesuburan dan kesegaran.
- Kelapa muda disertai tangkainya.Kelapa muda sebagai simbol kesuburan dan kesegaran.
-Satu
batang bulu yang terdiri dari 9 atau 10 ruas sesuai jenis kelamin anak (laki-laki 10 ruas, perempuan 9 ruas) sebatang bulu atau bambu ini digunakan sebagai tempat jemuran pakaian anak yang diritualkan.
Perlengkapan upacara berupa: ari-ari, kelapa, dan kain adat (ragi mite) ritual bagi anak laki-laki |
2.
Tahap
Pelaksanaan (Acting)
Pada tahap pelaksanaan
terdiri dari beberapa tahap yang meliputi ritual mengantar ari- ari atau (tu ta’i singi), ritual menyebut nama
anak atau pemberian nama (weta naja);
“Weta” artinya menyebut dan “naja” artinya nama. “Weta naja” artinya ritual pemberian nama
anak. Masyarakat adat
Tugasoki Ratewati memandang ari-ari sebagai kembaran si bayi sehingga harus
diperlakukan secara baik dan di letakan pada tempat khusus yang disakralkan
oleh seluruh masyarakat adat.
a. Tahap
mengantar ari- ari atau (tu ta’i singi)
Upacara ini
dilaksanakan di rumah adat (sa’o nggua)
di kampung adat Tugasoki Ratewati (tidak bisa dilakukan tempat lain) artinya
jika ada anggota klan yang merantau atau berada di daerah lain harus kembali
melakukan ritual ini di kampung adat dan harus di rumah adatnya. Pada saat
upacara ini, ayah dari anak yang diupacarakan dan didampingi oleh salah seorang
laki-laki dari anggota keluarga sebagai penunjuk jalan menuju tempat
penyimpanan ari – ari. Tempat penyimpanan ari – ari tidak sembarang tempat
selain tempat yang telah dikhususkan. Ritual ini diawali dengan penyembelian Seekor ayam dan darahnya diambil, dilanjutkan dengan "Su Mboko Nio" yakni upacara pembelahan kelapa dengan cara mengerek pada bagian tangkainya agar bisa air kelapa bisa dituangkan dalam sebuah wadah. Setelah upacara ini, dilanjutkan penganyaran ari-ari ke tempat yang telah ditentukan. Sementara ibu dan anak yang diritualkan
tetap berada di rumah adat menanti ayah pulang dari tempat penyimpan ari – ari.
Ada pun tata caranya; ayah dari anak memegang kendi ari- ari yang dilapisi
dengan kain adat berupa “ragi” atau “lawo” (tergantung dari jenis kelamin anak) menuju
tempat penyimpanan ari –ari. Sesampai di tempatnya maka ari – ari diletakan
tanpa ada hal yang didoakan dan kembali ke rumah adat.
b. Pemberian
nama anak (weta naja).
Upacara selanjutnya
yakni pemberian nama anak (weta naja ana), ini dilakukan sekembali
dari tempat penyimpanan ari –ari. Hal ini dimulai ketika tiba di depan tangga
rumah adat maka ayah dari anak melempar batu sampai tiga kali sesuai dengan
jumlah batu yang sudah disiapkan dengan menanyakan dalam bahasa Lio “ ebe gheta one ana gharu naja sai”? “Hai kamu pemilik anak, anak itu namanya
siapa?. Maka ibu dari anak dan semua anggota keluarga serentak menjawab “ an
agha naja kai….” Artinya anak ini namanya…. (sesuai dengan nama anak yang sudah
ditentukan bersama sebelumnya). Dalam pemberian nama anak, biasanya semua daftar
nama leluhur disebutkan di depan bayi tersebut sampai sang bayi bersin. Ketika
sesudah sebuah nama disebut dan disusul dengan bersinan bayi, maka nama
tersebut akan menjadi namanya karena bersin bagi masyarakat adat
Tugasoki-Ratewati berarti tanda kesepakatan dari bayi dan restu dari para arwah
leluhur teristimewa nama arwah yang disematkan kepada anak tersebut. Pemberian nama melalui cara ini penting
dilakukan. Jika tidak, maka anak tersebut tidak akan bertumbuh dengan normal
dan sehat. Di sini, kecocokan antara nama anak dan nama arwah leluhur amat
menentukan masa depan anak itu sendiri.
C. Upacara "Mberu Nio"
Upacara ini dilaksanakan setelah pengantaran ari-ari. Di mana dahi dan bagian punggung ibu dan anaknya dioleskan dengan darah ayam serta minyak kelapa murni sebagai tanda pemulihan terhadap pantangan (pire) dan dilanjutkan dengan "mberu nio" atau memakan kelapa yang sudah tua. Setelah melewati itu, dilanjutkan dengan penyiraman air di kepala ibu dari anak yang diritualkan di depan rumah adat sambil mengijak kain bayi sebagai pertanda pembersihan pada saat persalinan sehingga semua rasa sakit dan pengorbanan seorang ibu kini dipulihkan dan bayi yang diupacarakan tumbuh sehat baik jasmani maupun rohani.
C. Upacara "Mberu Nio"
Upacara ini dilaksanakan setelah pengantaran ari-ari. Di mana dahi dan bagian punggung ibu dan anaknya dioleskan dengan darah ayam serta minyak kelapa murni sebagai tanda pemulihan terhadap pantangan (pire) dan dilanjutkan dengan "mberu nio" atau memakan kelapa yang sudah tua. Setelah melewati itu, dilanjutkan dengan penyiraman air di kepala ibu dari anak yang diritualkan di depan rumah adat sambil mengijak kain bayi sebagai pertanda pembersihan pada saat persalinan sehingga semua rasa sakit dan pengorbanan seorang ibu kini dipulihkan dan bayi yang diupacarakan tumbuh sehat baik jasmani maupun rohani.
Pemotongan kelapa (Su mboko nio) |
Penyiraman air (liga ae) |
3. Upacara penutup (closing)
Pada ritual ini ditandai dengan momen perjamuan bersama (ka are pesa nake) artinya daging babi dan ayam yang sudah dikurbankan sebagai sesajen baik bagi Sang Kuasa (Du'a Gheta Lulu Wula, Ngga'e Ghale wena Tana) dan juga arwah para leluhur yang telah merestui pelaksanaan ritual pemberian nama anak sehingga diakui oleh semua anggota keluarga. Momen makan bersama inilah sebagai pertanda bahwa ritual ini telah berakhir.
Makan bersama |
Suasana makan bersama |
Note:
Artikel ini belum sempurnah dan masih banyak kekurangan. Maka dari itu segala atensi dan kritikan yang membangun saya terima dengan lapang hati sebagai bahan pelengkap artikel ini selanjutnya. Semoga bermanfaat.Foto dalam artikel ini yakni ritual "Moi Tu Tai Singi" anak Octavianus Tristan Kota pada tanggal 19 Juni 2019 di Kampung adat Tugasoki-Ratewati.
Oleh Siprianus Wara
Bagian 2: 24 Juni 2024
Upacara "Su Mboko Nio-Moi tu ta'i singi" anak Arnoldus Janssen Ragu (Jessen Ragu)
No comments:
Post a Comment