30.3.17

Traditional Hunting In Soa - Sub District (As A Local Tradition)



Illustration Picture:Courtesy from www. Google.com

The traditional hunting or (Rori Witu) in the local culture of Ngada Regency especially in Soa sub – district still came down to this day. The traditional hunting activities were usually placed in the calendar cycles based on the local culture of local agriculture. This tradition was closely related to people’s beliefs ritual existence being ability wild animal like board (Hui) or Deer (Kogha) that can be damaging for all plants that venture into the local communities to fulfillment their daily needs. This ceremony will be held every year as an annual ceremony. The indigenous hunting tradition in Soa includes several villages namely Mengeruda (Witu Menge), Lo’a (Witu Lo’a) Seso (Witu Welu) and also Libunio village (Witu Nio). This traditional hunting carried out in accordance with the local – based of the lunar calendar. It was usually carried out from June to October in the year. The traditional hunting was held of each village with have the different time. The traditional hunting activity was determined by the traditional leaders (Mori Raghu/Rawu Witu) in accordance with the lunar calendar customs. The traditional hunting had some equipment such as spear (Tuba), barbed spear (Bhou).The barbed spear shaped like a fishhook. The hunters came from all communities of Soa would do hunting and were not restricted to either children or adults. They   usually hunt by using horses (Zara) or on foot. In its effort to obtain the bluish animals the dogs were always accompanying the hunters. All the dogs were deployed to search the boars or deer (Hui no’o Kogha). The hunters were always scrambling by each other, so that no one is getting a whole body of an animal but they had partly such as the head, feet, or hands etc. The hunters scrambled the animals to show their knight stronger. Not all the hunters got the animals if they did not strength to scramble to the other hunters. But, it was always do in hospitality and the spirit of brotherhood.
In every villages, the stages of the traditional hunting (Rori Witu) as general were common. The different thing was the stages of the ritual at night that the next day will do the hunting. One village conducted the traditional hunting was in Libunio. In Libunio village had two main traditional ceremonies such traditional boxing (Sagi Adha) and also traditional hunting as known (Rori Witu Nio). There were several stages that became a series of major ritual that must be held before the implementation of the indigenous hunting. The implementation of the Rori Witu Nio started with cooking rice beans (Ka Nika Lebha). Lebha was a kind of bean as cooked with rice as an opening meal before the traditional hunting day. The next day was continued with the ritual of Pau. Pau ceremony was a ritual in which was of Nio tribal communities (Suku Nio). It was the time that forbidden to carry out agricultural activities such as cutting the trees, or burning of the garden. The people who were trespassed the rule will be penalized by the local leader. A few days later, all adults male go looking the shrimps (Ko Kuza) as the Heza ritual. After that, the next day was followed by the Bato ritual. It was the ritual of eating shrimps. A further ceremony was Sina Oro as the ritual to prepare a segment of bamboo that had been cleaned to be dipped in the river. 
If everything was prepared well, then continued with Bhore Tua. At the night, where the next day will do the hunting, the local leader (Mori Raghu Witu) held the ritual of Pepu. The Pepu ritual was conducted as last preparation of the traditional hunting day. The local leaders asked the rice of bamboo (Mama Toke), and collected the ginger (Pai Lea). The ginger was used to treat that hunters got wound as the traditional medicines. All the things were distributed to the girls who was who completed the ceremony of initiation into adulthood customary (Kiki Ngi’i/Bu’e Muzi) who participated in the day of traditional hunting.  The girls will redeem the existing bush meat on the hunters. In Pepu ritual was also the Mori Raghu prayed and pleaded to the ancestors and the forest watchman in order to collect the deer or boars (Pai Nitu Kogha no’o Hui) in the places that the hunters conducted the traditional hunting. The Pepu ritual was also to prohibit to all the tribal community were not to wash their face, or oiling their hair especially on the first day of hunting.    
When all phases as the series of the indigenous ritual before hunting has been carried out, finally the time of the hunting has come. The Mori Raghu and members gather in the center of village (Kisa Nua) doing the hunt commencement ceremony and marching toward the firebox place (Saka Api) by the traditional singing.  Arriving the Saka Api place, the fire arose by swiped (Pake Zoze) of the dried bamboo (Bheto Rogho) and alang – alang (Keri). This ignited a fire that has been used as a source of fire that used to burn the forest as the place to hunt. The traditional hunting conducted for three days. The hunters did not return to their village but lived in resting area (Loka) during the hunting took place. Returning from the hunting areas, the hunters sang the traditional singing. The meat as their hunting’s got to eat together with the family members of Nio tribal community and its blood smeared on Beso or the point of Mori Raghu (Basa Beso Mori Raghu).  


By Wara Cypriano

Note: This article was adapted from: An interview result conducted by Wara Cypriano with Bapak Adrianus Rato as the local leader of Libunio village)  
 

27.3.17

Merajut Keberagaman Di Negeri 1000 Pura (Sebuah Refleksi Kemajemukan)


Foto Insert: Arakan Ogoh - Ogoh Di Singaraja Bali 27 Maret 2017

   
       SELAMAT MERAYAKAN HARI RAYA NYEPI 2017
                                          1 SAKA 1939
Refleksi Pribadi Mengalami Hari Raya Nyepi di Bali

Hari raya Nyepi merupakan upacara keagamaan bagi sesama saudara kita yang beragama Hindu. Kekhasan upacara ini jelas terlihat dari berbagai rangkaian upacara, baik sebelum maupun sesudah perayaan Nyepi itu sendiri. Bagi umat beragama lain tentu hal ini tidak dipahami namun sangatlah perlu kita saling membangun sikap solidaritas dan toleransi kepada sesama saudara kita yang merayakannya. 

Hari raya Nyepi di Bali terasa sangat istimewa. Upacara keagamaan ini dikenal dengan "Silent Day", artinya  satu hari penuh tidak adanya aktivitas baik oleh umat Hindu maupun umat beragama lain. Sehingga semua aktivitas perkantoran atau unit usaha apapun baik instansi pemerintah, swasta, perbankan, dan juga penerbangan semuanya tutup. Hal inilah menjadi satu - satunya upacara keagamaan di dunia yang dilaksanakan dalam suasana keheningan tanpa terkecuali. Dengan demikian seluruh umatnya senantiasa khusuk dalam doa.

Dalam rangkaian upacara Nyepi tahun ini yang jatuhnya pada 28 Maret 2017 yakni 1 Saka 1939, tentunya memiliki harapan besar akan kedamaian, keamanan dan kemakmuran bagi penganutnya. Hal ini pula senantiasa menjadi refleksi mendalam juga bagi kondisi warga bangsa ini yang dari waktu ke waktu semakin mengalami kemerosotan akan sikap solidaritas dan toleransi antara para pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya. Misalnya adanya kekerasan yang bertopeng agama, masalah ter up date yakni kekisruhan pendirian Gereja St.Clara di Bekasi, kasus penistaan agama yang dicampuradukan dengan politik dalam perhelatan pemilukada Di DKI dan masih banyak persoalan lain di negeri ini.

Semua persoalan itu selalu mengedepankan ketidakseimbangn dan saling sikut antara kaum minoritas dan mayoritas. Pertanyaannya, sampai kapan negeri ini mempersoalkan perbedaan? Bukankah kemajemukan itu suatu kekayaan bersama? Benar apa yang dikatakan oleh Kiai Adurahman Wahid sang tokoh pluralisme itu " jika anda Hindu jangan menjadi seperti orang India, Kristen jangan menjadi Yahudi, Islam jangan menjadi orang Arab".Itu semua mengingatkan kita, betapa kayanya bangsa ini dengan keberagaman yang dimiliki. Jika semuanya berada dalam solidaritas dan hidup yang rukun antara satu dengan yang lain tanpa mempersoalkan agama, suku, ras dan antaar golongan, Maka hal ini menunjukan kekuatan besar sebagai negara yang mengedepankan sikap toleransi antar warganya.

Oleh karenanya sebagai masyarakat yang menghargai perbedaan, maka solidaritas di Bali secara langsung menunjukan bahwa Bali menjunjung tinggi perbedaan dan kemajemukan antar warga masyarakat yang mendiami negeri 1000 pura ini. Kebersamaan yang dibangun atas landasan keberagaman terasa bermakna di hari perayaan Nyepi.

Maka dari itu, dalam nuansa keberagaman, pada kesempatan bernilai, salah satu bentuk sederhana merajut keberagaman dan kemajemukan yaitu adanya keterlibatan para penganut agama lain yakni kaum biarawati dari komunitas SSPS dan CIJ Singaraja Kabupaten Buleleng yang turut mengambil bagian dalam perarakan Ogoh - Ogoh. Tentu saja, tidak hanya para biarawati tapi juga para penganut agama lain yang turun ambil bagian dalam acara ini. Hal ini menunjukan bahwa untuk membangun solidaritas dan sikap saling menghormati antar umat beragama tidak mesti dengan hal - hal yang besar. Inilah sesungguhnya wujud solidaritas nyata seperti yang dilakukan para biarawati Katholik  (Foto insert). Dengan caranya Sendiri, mereka mau menunjukan sikap toleransi yang kerap diabaikan oleh kaum beragama di negeri ini. Seringkali kita hanya memaknai sikap toleransi yang sempit dan selalu mengarah pada perpecahan. 

Kita perlu berbangga sebagai bagian dari hari raya Nyepi. Walaupun kita tidak merayakannya namun turut mengalami suasana hening dan lengang dari hiruk pikuk duniawi yang seakan membuat kita lupa akan Sang Kuasa. Maka dalam keanekaragaman baik budaya, suku, ras dan agama, kita senantiasa merajut kebersamaan dalam perbedaan. Dari Negeri 1000 pura ini, kita wujudkan solidaritas antara umat beragama dalam bingkai keberagaman. Satu prinsip bahwa agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku namun Indonesia adalah satu yakni kita satu dalam keberagaman. Mudah  - mudahan ini semua menjadi contoh dan juga sikap toleransi yang perlu dibangun di antara umat beragama di seluruh pelosok negeri NKRI tercinta ini. Selamat merayakan hari raya Nyepi bagi sesama saudara yang merayakannya, berkat dan cinta dari Sang Kuasa menyertai anda sekalian.

Foto Insert: Biarawati Katholik berpose bersama Bupati dan Wakil Bupati  Kabupaten Buleleng Singaraja Bali (Dari kanan Wakil Bupati, Bupati dan ibu)


Happy Silence Day 1 Saka 1939

By Wara Cypriano


LAGU ENDE LIO "LANDO" By SIPRI SEA


25.3.17

Mengenal Sejarah Nyepi Dalam Ajaran Hindu



Silent Day (Nyepi)  In Bali

Sejarah Asal Mula Hari Raya Nyepi
Nyepi berasal dari kata sepi yang artinya sunyi, senyap, lenggang, tidak ada kegiatan. kemudian Hari Raya Nyepi adalah Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi (tiap 1 januari), Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi dan melaksanakan catur brata penyepian. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandara Internasional Ngurah Rai pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit. Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sanghyang Widhi Wasa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta).

Sejarah Nyepi
Kita semua tahu bahwa agama Hindu berasal dari India d engan kitab sucinya Weda. Di awal abad masehi bahkan sebelumnya, Negeri India dan wilayah sekitarnya digambarkan selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan. Pertikaian antar suku-suku bangsa, al. (Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya) menang dan kalah silih berganti. 

Gelombang perebutan kekuasaan antar suku menyebabkan terombang-ambingnya kehidupan beragama itu. Pola pembinaan kehidupan beragama menjadi beragam, baik karena kepengikutan umat terhadap kelompok-kelompok suku bangsa, maupun karena adanya penafsiran yang saling berbeda terhadap ajaran yang diyakini.

Dan pertikaian yang panjang pada akhirnya suku Saka menjadi pemenang dibawah pimpinan Raja Kaniskha I yang dinobatkan menjadi Raja dan turunan Saka tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi.

Dari sini dapat diketahui bahwa peringatan pergantian tarikh saka adalah hari keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda.
Sejak tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun Saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tarikh Masehi dan Sasih Kesanga dalam tarikh Jawa dan Bali di Indonesia. Sejak itu pula kehidupan bernegara,
bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang.

Oleh karena itu peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan keseluruh daratan India dan Asia lainnya bahkan sampai ke Indonesia.
Aji Saka

Kehadiran Sang Pendeta Saka bergelar Aji Saka tiba di Jawa di Desa Waru Rembang Jawa Tengah tahun 456 Masehi, dimana pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah berumur 4,5 abad. Dinyatakan Sang Aji Saka disamping telah berhasil mensosialisasikan peringatan pergantian tahun saka ini, juga dan peristiwa yang dialami dua orang punakawan, pengiring atau caraka beliau diriwayatkan lahirnya aksara Jawa onocoroko doto sowolo mogobongo padojoyonyo. Karena Aji Saka diiringi dua orang punakawan yang sama-sama setia, samasama sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam mempertahankan kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.

Rangkaian peringatan Pergantian Tahun Saka
Peringatan tahun Saka di Bali dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :

1. Upacara melasti, mekiyis dan melis
Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan).

2. Menghaturkan bhakti/pemujaan
Di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.

3. Tawur Agung/mecaru
Di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit).

Dilanjutkan pula dengan acara ngerupuk/mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan lingkungan dari pengaruh bhutakala. Belakangan acara ngerupuk disertai juga dengan ogoh-ogoh (symbol bhutakala) sebagai kreativitas seni dan gelar budaya serta simbolisasi bhutakala yang akan disomyakan. (Namun terkadang sifat bhutanya masih tersisa pada orangnya).

4. Nyepi (Sipeng)
Dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan).

5. Ngembak Geni.
Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini. Yadnya dilaksanakan karena kita ingin mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan : Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam apyate.Artinya : Melalui pengabdian/yadnya kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat kemuliaan. Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita memperoleh kebenaran.

http://kb.alitmd.com/sejarah-asal-mula-hari-raya-nyepi/

Note: Artikel ini di ambil dari http://kb.alitmd.com/sejarah-asal-mula-hari-raya-nyepu/ tanpa menambahkan atau mengurangi isi artikel dan tujuannya sebagai referensi bacaan dalam blog ini.

22.3.17

Perlukah Kata "Rakat" Menjadi Kata Baku Dalam Bahasa Indonesia?


Hanya sebagai hiburan...
Komentar bebas dari aplikasi permainan testony.com dalam medsos FB..Apa nama Rakat sesuai kepribadianmu? Dan saya pun mencoba aplikasi permaina ini dengan hasil Wara nama Rakatnya Mose...hehhee..

RAKAT....Moses menjadi Mose..Oh Rakat ganteng maksimal..kata Valentino..
Pasti pakar ITnya orang Timur...Alias Masyarakat Kat.. Kat...

Namun hal ini bagiku menarik dan perlu dikomentari secara bebas seperti di bawah ini:

"Rakat" Merupakan sebuah kata dalam bahasa Indonesia yakni dari kata "Masyarakat". Walaupun saat ini bukan sebuah kata baku dalam bahasa Indonesia bisa saja suatu saat akan dibakukan bahwa kata "Rakat" memiliki arti sebutan untuk orang Timur bukan untuk orang Timor saja heheee..Maklum cucu Goris Keraf bukan Kera Gori ya hehheh

Kata "Rakat" kian populer di kalangan para mahasiswa atau pun para perantau dari wilayah Timur Indonesia. Kata ini selalu dipakai sebagai sebutan bagi sesama saudara yang berasal dari Timur. 

Sebutan "Rakat" akan digunakan misalnya ketika orang Timur  yang berada di sebuah tempat di Jawa, ketika melihat seseorang atau sekelompok orang dari Timur lagi duduk atau sedang jalan - jalan namun mereka tidak saling kenal, maka hal yang paling pertama dibicarakan yakni "Itu Rakat" artinya sama - sama orang dari Timur.

Sebenarnya secara kewilayaan bahwa wilayah Timur Indonesia mencakupi Maluku dan Irian (Papua) sedangkan NTT dan Makasar berada di wilayah Indonesia bagian tengah.

Namun bagi sesama saudara kita yang berasal dari suku Jawa, Bali, Sumatera sangat sulit untuk membedakan letak wilayah antara NTT dan Makasar atau Papua sehingga sama - sama menyebutnya dengan sebutan "Orang Timur" maka dari itu... ya..kita ikhlaskan sajalah...karena bagi mereka "hitam kulit, keriting rambut itu identik orang timur. 

Akan tetapi dari semuanya itu benar juga bahwa sebutan itu ditujukan pada ciri fisik baik warna kulit dan tipe rambut yang memiliki kesamaan walaupun ada yang putih, hitam eksotis, hitam pekat, hitam manis, demikian juga ada yang berambut lurus, ombak, kribo, kerinting pekok, dan sebagainya, sehingga sebutan orang Timur atas dasar ciri fisik bukan secara kewilayaan.

Kita kembali ke kata "Rakat". Jadi bagi sesama masyarakat dari Timur menyebut sesama saudaranya dengan sebutan "Rakat" Itu hal yang biasa dan tidak merasa terusik atau tersinggung. Entah kapan dan siapa serta dimana awal mula penggunaan kata "rakat" untuk saat ini belum kita ketahui. Jelasnya kata "rakat" identik dan menjadi julukan bagi orang Timur.

Sapaan atau sebutan "Rakat" sering kita dengar ketika para mahasiswa atau para perantau yang berada di Jawa, Bali namun di daerah asalnya kata tersebut jarang  digunakan. Ini sesungguhnya hanya sebagai sapaan akrab di antara orang atau mahasiswa yang berasal dari Timur.

Entah apa alasannya, yang jelas untuk membangun suatu keakraban dan kesadaran pribadi dan kelompok bahwa kita satu, dan sama yakni "Masyarakat atau Rakat" atau orang yang berasal dari Timur.

Sesungguhnya sebutan "Rakat" bukan bermaksud mengarah pada suatu tindakan rasis atau merendahkan terhadap suku atau ras tertentu. Akan tetapi hanya menunjukan keakraban, sehingga tidak saling mencederai antara satu dengan yang lain oleh karena menggunakan kata Rakat tersebut.

Ada alasan lain hingga terciptanya sebuah kat "Rakat", mungkin saja dari kebiasaan orang Timur yang selalu berbicara cepat dan menghilangkan huruf terakhir dalam menyebutkan sebuah kata, baik kata kerja, benda ataupun kata sifat.Misalanya nama orang Nus hanya disapa Nu maka huruf 'S' hilang jadinya Nu..atau kata Kudus maka diucapkan menjadi 'kudu'.

Atau juga mengucapkan kata bahasa Indinesia dipengaruhi bahasa daerah seperti "Kamu pergi ke mana jadinya kamu pi mana? Saya sudah makan jadinya saya su makan. Kebiasaan seprti inilah  Sehingga kata "Masyarakat"Jadinya "Rakat". 

Ya mungkin saja begitu..atau ada kemungkinan lainnya..tergantung para Rakat menafsir sesuai dengan pemahamannya.Maka dengan kebiasaan semacam inilah maka trend kata rakat sudah mewabah hingga seantero nusantara bahkan dunia karena "ada rakat-rakat jenius yang membawanya ke sana...hahahha..asyik juga..bisa jadi sebuah artikel..

Sehingga fenomena ini dimanfaatkan oleh para penggila IT dengan menciptakan aplikasi berbasis web yang ramai digunakan di jejaringan sosial Facebook..maka aplikasi permainan seperti  nametes atau id testony.com memasukan kata "Rakat"..Maka akan muncul nama - nama  orang Timur yang menjadi ciri sebutan "Rakat".

By Wara Cypriano

Selamat mencoba para rakatsku yang budiman...hahahhhhaa..
#effectrevisianthesis

Note: Maaf tulisan ini hanya bersifat menghibur

17.3.17

Bedhu Sesi (Penyamun)


Gambar ilustrasi 'Loka Tua' diambil dari buku Punu Nange ceritera dari Soa Flores.


Bedhu Sesi adalah sebuah ceritera fiksi ( ceritera rakyat) yang berasal dari daerah Soa kabupaten Ngada.Ceritera ini mengisahkan warga masyarakat yang kehidupan kesehariannya hanya menghabiskan waktu di 'loka tua' dan akhirnya menjadi penyamun.

Pada suatu petang, bertepatan dengan waktu mereka akan menjadi penyamun, semua 'ana loka' hendak pergi minum tuak di 'loka'sebagai markas berkumpul keseharian mereka.

Kemudian, sesampainya di 'loka', mereka memanggang segala jenis makanan yang dijadikan sebgai makanan mereka. Ketika semuanya sudah tersedia, mereka mengambil tuak, untuk dituangkan, supaya mulai makan dan minum. 

Waktu tuak itu dituangkan, air tuak itu tidak bisa keluar, tetapi kalau diangkat terasa masih ada tuaknya yang ada dalam 'lego moke' tersebut. Sekali lagi salah seorang dari mereka menuangkannya namun air tuak tetap tidak bisa keluar.

Pada ketiga kalinya, tuak itu dituangkan akbirnya 'lego moke' itu meletus. Ketika meletus, lalu keluarlah darah yang menyiram semuanya yang ada dalam 'loka' tersebut.

Ketika mereka melihat bahwa darah sudah tersiram diseluruh tempat, mereka semua langsung membubarkan diri dan kembali ke rumah mereka masing - masing.

Sesampainya di rumah, waktu isteri mereka memasak makanan, di dalam periuk hanyalah darah.

Karena semuanya begitu, semua isteri dan anak - anak pergi mengurung diri di dalam lumbung. Semua laki  -laki dalam kampung itu pergi menjadi penyamun. Mereka bersama  - sama perfi ke hutan dengan membawa parang, tombak dan juga pedang.

Di jalan - jalan, di 'loka - loka', di hutan, kebun, mereka mengintai semua mungkin ada orang yang berjalan sendirian.

Semua mereka yang menjadi penyamun hanya memakan makanan mentah (ka ngeta). Mereka juga membawa makanan mentah kepada isteri dan anak mereka yang masih mengurung diri di lumbung.

Makanan hanyalah mentimun, jagung muda, da untuk mendapat air minum mereka hanya mengisap tebu.

Jika mereka melihat ada orang di jalan, di hutan, atau di kebun sendirian maka mereka terus mengejar dan membunuhnya. 

Setelah membunuh, mereka hanya memotong bagian dahi, dan ujung hidung serta telinga.

Semua bagian tubuh yang telah dipotong, mereka membawanya sampai di rumah, serta memanggil isteri dan anak  - anaknya untuk bersama - sama pergi ke 'loka' mau membunuh babi, dan memasak nasi.

Sesudah itu mereka melakukan upacara sorak sorai disertai dengan telinga, ujung hidung, dan dahi dari orang - orang yang mereka bunuh.

Sesudah itu mereka kembali ke kampung, dan memasuki rumah mereka masing - masing dan menjadi pulih seperti semula.

Ceritera ini di ambil dari buku Punu Nange Ceritera dari Soa Flores. Editor Andrian Mommersteeg SVD dkk (1999 hlm 50) 

12.3.17

Pelajaran Hidup (Kutipan)



Seorang pria menikahi seorang gadis cantik. Dia sangat mencintainya. Suatu hari istrinya mendapat penyakit kulit. Perlahan-lahan dia mulai kehilangan kecantikannya. Kebetulan suatu hari suaminya pergi ke luar kota.
Ketika kembali ia mengalami kecelakaan dan kehilangan penglihatannya. Namun kehidupan pernikahan mereka terus berjalan seperti biasa. hari-hari berlalu istrinya kehilangan kecantikannya secara bertahap. Suami buta tidak tahu dan tidak ada perbedaan dalam kehidupan pernikahan mereka. Dia terus mencintainya dan istrinya juga sangat mencintainya.

Suatu hari istrinya meninggal. Kematian istrinya  membuat ia sangat sedih. Dia menyelsaikan semua ritual terakhir dan ingin meninggalkan kota itu. Seorang pria dari belakang memanggilnya dan mengatakan, sekarang bagaimana Anda akan dapat berjalan sendirian? Selama ini istri Anda selalu membantu Anda. Dia menjawab, saya tidak buta. Saya bersandiwara karena jika dia tahu aku bisa melihat keburukan dirinya itu akan menyakiti dirinya lebih dari penyakitnya. Jadi saya pura-pura buta. Dia adalah seorang istri yang baik. Aku hanya ingin membuatnya bahagia.

Pesan Moral: - kadangkala baik untuk kita untuk berpura-pura buta dalam melihat keburukan/kekurangan orang lain agar mereka bahagia meskipun mempunyai kekurangan.

* Tidak peduli berapa kali gigi menggigit lidah, mereka masih tinggal bersama dalam satu mulut. Itulah semangat MENGAMPUNI. Meskipun mata tidak melihat satu sama lain, mereka melihat hal-hal bersama-sama, berkedip secara bersamaan dan menangis bersama-sama. Itulah kesatuan.

 1.Alone I can ''say" but together we can "talk"
 2. Alone I can 'Enjoy' but together we can celebrate
 3. Alone I can 'Smile' but together we can 'Laugh'

  Itulah keindahan Hubungan Manusia. Kami tidak bisa tanpa satu sama lain, TETAP TERHUBUNG

            *KUTIPAN HARI INI*
 Silet memang tajam tetapi tidak dapat memotong pohon, kapak kuat tetapi tidak dapat memotong rambut.

Have a nice day😊

5.3.17

Tradisi Berburu Adat Atau Rori Witu Bagi Masyarakat Adat Soa

        Tradisi berburu adat (traditional hunting) dalam budaya lokal di Kabupaten Ngada khususnya di wilayah kecamatan Soa tetap diwariskan hingga saat ini. Kegiatan berburu adat biasanya ditempatkan dalam siklus kalender berbasis budaya pertanian lokal setempat. Tradisi ini erat kaitannya dengan ritual keyakinan masyarakat akan keberadaan makhluk pengganggu tanaman padi, jagung, kacang-kacangan atau tanaman lainnya seperti babi hutan, atau rusa yang dapat merusak bagi semua tanaman yang menjadi usaha masyakat lokal sebagai bahan pangan dalam pemenuhan kebituhan hidup sehari - hari. Maka upacara ini dilaksanakan setiap tahun sebagai upacara tahunan (annual ritual). Tradisi berburu adat di Soa meliputi beberapa kampung yakni Kampung Mengeruda (Witu Menge), Kampung Lo'a (Witu Loa), Kampung Seso (Witu Welu) serta kampung Libunio (Witu Nio). Berburu adat dilaksanakan sesuai dengan kalender lokal berbasis peredaran bulan. Upacara berburu biasanya dilaksanakan dari bulan Juni sampai Oktober dalam tahun.

             Pelaksanaan upacara adat berburu  pada masing - masing kampung memiliki waktu yang berbeda - beda. Sehingga tidak ada kampung yang melaksanakan kegiatan berburu secara bersamaan . Kegiatan Rori Witu dilaksanakan berdasarkan penetapan kalender adat yakni para tokoh adat (Mori Raghu/Rawu Witu) sesuai dengan peredaran bulan. Perlengkapan berburu yakni tombak (tuba), tombak berkait (Bhou) bentuknya seperti mata kail. Para pemburu biasanya berasal dari semua masyarakat Soa tidak dibatasi baik anak - anak maupun orang dewasa. Mereka biasanya berburu dengan menggunakan kuda (zara) atau dengan berjalan kaki. Para berburu biasanya membentuk kelompok berburu sesuai daerah seasal atau gabungan anggota dari kampung lain yang disebut loka. Setiap loka secara bersama- sama memperebutkan buruan atau pun mempertahankan hasil buruan dari aksi penjarahan yang dilakukan oleh kelompok atau loka yang lain. Dalam usahanya untuk mendapat binatang buruan, para pemburu menyertainya dengan anjing dalam jumlah yang besar. Semua anjing yang dibawa dikerahkan untuk mencari babi hutan (hui) dan juga rusa (kogha). Binatang buruan yang diperoleh biasanya saling berebutan sehingga tidak seorang pun yang mendapatkan satu bagian tubuh secara utuh dari binatang buruan tersebut namun hanya sebagian misalnya ada yang mendapatkan bagian kepala, kaki, atau tangan dan juga bagian yang lainnya.Perebutan ini menunjukan kegigihan dan jiwa kesatria seorang laki-laki. Bagi yang lebih kuat akan mendapatkan bagian binatang buruan sedangkan yang lemah dan putus asa tidak mendapatkan apa - apa.Namun perebutan hanya terjadi pada saat berburu tidak menimbulkan dendam atau permusuhan antara satu dengan yang lain dan semangat persaudaraan  tetap terjaga. 

       Tahapan berburu adat di setiap kampung secara umum memiliki kesamaan. Hal yang berbeda hanyalah terdapat pada tahapan ritual pada malam hari di mana keesokan harinya akan melakukan kegiatan berburu. Salah satu kampung yang melaksanakan upacara berburu adat (Rori Witu/Rori Lako) yakni kampung Libunio. Kampung ini selain melaksanakan ritual berburu adat juga melaksanakan upacara tinju adat (Sagi Adha) atau (traditional boxing). Ada beberapa tahapan yang menjadi rangkaian ritual utama yang harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan berburu adat.

      Pelaksanaan berburu adat (Rori Witu Nio) di kampung Libunio dimulai dengan masak nasi kacang (Ka Nika Lebha). Lebha adalah sejenis kacang yang dimasak sebagai nasi yang dicampur dengan beras sebagai makanan pembuka sebelum upacara berburu. Keesokan harinya dilanjutkan dengan ritual Pau. Upacara Pau merupakan suatu upacara di mana masyarakat atau komunitas adat suku Nio dilarang untuk melaksanakan kegiatan pertanian apa pun seperti menebang pohon atau membakar ladang. Apabila ada yang melanggar maka akan dikenakan sanksi adat dari para dari tokoh adat atau mendapat musibah.Beberapa hari kemudian, Semua lelaki dewasa pergi mencari udang atau (Heza/Ko Kuza).Setelah itu, dilanjutkan dengan upacara bato yaitu mengkonsumsi udang. Upacara lanjutannya adalah ritual Sina Oro. Upacara ini yakni para tokoh adat mempersiapkan seruas bambu yang sudah dibersihkan sebgai persiapan untuk dicelupkan di sungai. Sesudah semuanya dipersiapkan, maka dilanjutkan dengan ritual Bhore Tua.Pada malam harinya di mana keesokan harinya akan dilaksanakan kegiatan  berburu maka diadakan upacara Pepu. Upacara ini dilakukan sebagai persiapan di mana Mori Raghu/Rawu (Tokoh adat yang melaksanakan ritual berburu adat) mulai meminta nasi bambu (Mama Toke), halia (Pai Lea) yang dibagikan kepada para gadis yang baru menyelesaikan upacara inisiasi menjadi dewasa secara adat  dalam upacara (Kiki Ngi'i/Bu,e Muzi) yang ikut serta dalam berburu.Para gadis ini akan menukarkan dengan daging hasil buruan yang ada pada para pemburu. Pada upacara pepu juga para Mori Raghu/Rawu memanjatkan doa dan memohon kepada leluhur dan penunggu hutan agar mengumpulkan rusa, babi hutan (Pai Nitu Kogha, Hui) di tempat untuk berburu agar para pemburu bisa mendapatkan hasil buruan. Dalam upacara pepu juga diadakan sumpah agar para pemburu dan semua orang yang melakukan kegiatan berburu untuk menaati pantangan atau larangan untuk tidak melakukan basuh muka, meminyaki kepala terutama pada hari pertama berburu.Hal ini tidak hanya orang yang ikut berburu melainkan juga semua masyarakat komunitas suku Nio.
       
       Ketika semua tahapan adat yang menjadi rangkaian ritual sebelum berburu telah dilaksanakan, maka tibalah saatnya pada hari berburu.Pada hari itu semua Mori Raghu dan anggotanya berkumpul di tengah kampung (Kisa Nata/Nua) melakukan upacara dimulainya berburu dengan berarakan menuju tempat pemasangan api (Saka Api) sambil diiringi nyanyian adat. Sesampainya di tempat Saka Api, Mori Raghu/Rawu menyalakan api secara tradisional dengan digesek (Pake Zoze) sebilah bambu kering (Bheto Rogho) dan alang - alang kering (Keri). Api yang sudah dinyalakan ini dijadikan sumber api yang digunakan untuk membakar pada atau hutan yang merupakan tempat untuk berburu. Pelaksanaan kegiatan berburu selama tiga hari berturut - turut. Para pemburu tidak pulang ke kampung selama masa berburu berlangsung dan mereka bertahan di kemah (Loka) masing - masing sebagai tempat peristirahatan sementara selama kegiatan berburu. Sepulang dari arena berburu, para pemburu menyanyikan yel- yel adat sebagai pertanda mereka mendapatkan hasil buruan. Daging binatang buruan dimakan secara bersama - sama dengan anggota keluarga dan masyarakat komunitas suku Nio dan darahnya dioleskan pada tombak atau panah yang disebut Beso atau tempat Mori Raghu/Rawu ( Basa Beso Mori Witu). Demikian  gambaran umum tradisi berburu adat pada masyarat adat Soa di kabupaten Ngada propinsi Nusa Tenggara Timur. 

Oleh Siprianus Wara

(Diadaptasi dari hasil wawancara dengan seorang tokoh adat (Mori Raghu/Rawu Witu) dari Suku Nio Kampung Libunio yakni Bapak Adrianus Rato pada tanggal 15 pebruari 2017).

Catatan: Artilel ini belum sempurnah.Mohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam urutan dan bahasa adat yang tertulis.Semua atensi dan masukan dari para pembaca terutama putra/i dari Soa atau Libunio saya menerima dengan lapang hati demi penyempurnaan artikel ini selanjutnya.Semoga tulisan ini bermanfaat. Salam literasi budaya.